BAB 10

1168 Words
“Kenapa hanya diam saja! Jawab, Ven!” sentak Kokom, karena Veni tak juga memberikan jawaban. Veni justru berkaca-kaca, karena bentakan ibunya. Ternyata orang jahat bisa menangis juga. “Ayo keluar, dan bicara sama mereka. Harga diri kita diinjak-injak Ven.” Kokom menarik tangan anaknya dan berjalan ke arah ruang tamu, di mana Widya dan Kumala duduk santai menunggu Rangga yang masih membersihkan diri di kamar mandi. “Mau apa lagi, kalian?” Baru saja mereka sampai, Widya sudah bertanya demikian membuat Kokom meradang. “Bu Widya yang terhormat, terlepas dari kesalahan Veni anak saya, Ibu tidak bisa berbuat seenaknya seperti ini. Menikahkan Rangga dengan wanita lain, bukanlah solusi yang tepat untuk kalian membalas dendam pada Veni. Setidaknya, lihatlah, Nazira cucu Anda.” “Oh, iya? Kalian itu sudah jahat pada Kumala, masih juga tidak punya malu berbicara begitu. Anak itu, bukan cucu yang saya mau. Saya hanya menginginkan cucu dari Kumala dan Rangga, bukan dari anak kamu yang liar ini.” Widya menunjuk-nunjuk wajah Veni dengan geram. “Mbak Veni, jika keberatan dimadu, Mbak bisa lepas dari mas Rangga kok. Aku hanya mengambil, yang memang menjadi hakku, Mbak. Kamu merebut mas Rangga dengan cara curang, jadi aku akan mengambilnya kembali. Aku sama sekali tidak peduli dengan perasaanmu itu, Mbak.” “Aku hanya memperjuangkan perasaanku, Kumala. Aku tidak rela, jika mas Rangga menikah dengan perempuan lain, karena saat itu, aku sangat mencintainya. Aku hanya mengajaknya mabuk, sampai dosa semalam itu kami lakukan dengan tidak sadar.” “Lalu? Aku harus memakluminya, Mbak? Pernikahan yang seharusnya, aku sebagai mempelai wanitanya, tapi kamu mengubah rencana kami, Mbak. Kamu hamil, dan mas Rangga mau tak mau menikahimu.” Jelas sorot mata Kumala, memperlihatkan kepedihannya selama ini. Mendapat restu sepenuhnya dari ibunya Rangga, membuatnya nekat, dijadikan istri kedua Rangga. seharusnya kamu relakan sana mas Rangga bersamaku! Masih banyak laki-laki di luar sana yang belum punya pasangan. Jangan ambil mas Rangga dariku! Aku tidak sudi berbagi cintanya mas Rangga denganmu.” “Oh, jahat kamu Mbak. Mbak bisa bicara begitu, sedang Mbak sendiri dulu mengambil laki-laki yang sudah memiliki pasangan, bahkan sudah memiliki calon istri.” “Diam kamu wanita jalang! Pernikahan Veni dengan Rangga itu sudah takdir. Kami tidak bisa menyalahkan anakku terus.” Kokom tidak terima karena anaknya kini tersudut. “Diam! Anakmu yang jalang, bukan Kumala. Rangga akan menikah dengan Kumala. Kalian keberatan sekali pun, tidak ada yang peduli. Jika kalian sampai berani mengacaukan acaranya nanti, bersiaplah aku bongkar semua kebusukanmu di depan para tamu undangan, Veni Larasati.” Veni benar-benar merasa sial hari ini. Ia pun masih tidak menyangka jika Kumala dan ibu mertuanya mengetahui kebusukannya selama ini. Pantas saja, sikap Widya terhadapnya tidak pernah membuatnya nyaman. Bahkan Widya tidak mau mengakuinya sebagai menantu. Dulu Rangga sangat mencintai Veni karena dosa semalam itu, namun, setelah mengetahui perempuan yang mengacaukan rencana pernikahannya dengan Kumala, ia pun murka. Malam itu, saat Veni tengah menonton televisi bersama ibunya, Widiya menelepon Rangga, dan menyampaikan semua yang Kumala ceritakan. Rangga sangat murka, namun tidak langsung menanyakan istrinya malam itu juga. Biar bagaimana pun, ia sangat menyesal menikahi Veni, yang ternyata sangat licik, dan jahat. Ia teringat menjelang pernikahan, di malam Minggu, bertemu dengan Veni yang menangis tersedu di taman kota. Veni meminta Rangga menemaninya ke suatu tempat yang ternyata tempat hiburan malam. Rangga yang merasa kasihan akhirnya pun menemani Veni minum hingga mereka mabuk. Di saat mereka mabuk, ada salah satu orang yang mengambil video mereka secara diam-diam. Veni mengakui semuanya, jika dia menangis karena Rangga yang ia cintai akan menikah. Veni tidak mau kehilangan Rangga. Veni rela melakukan apa saja, asal Rangga tidak jadi menikah, hingga akhirnya mereka melakukan dosa semalam, dan Veni pun diketahui hamil dua bulan setelahnya. Pernikahan yang seminggu lagi akan dilaksanakn terpaksa dibatalkan, karena Rangga menghamili wanita lain, yang bukan calon istrinya. ***** “Rangga sudah siap, ayo kita jalan sekarang!” Mereka pun pergi tanpa berpamitan pada Veni atau pun Kokom. Veni merasa cemburu sekaligus marah melihat suaminya jalan dengan wanita lain, yang sebentar lagi akan dinikahi suaminya. ***** “Kenapa mereka, Mak? Lestari dengar dari tadi kok kayak ribut? Terus dengar suara tangisan?” Lestari yang menemani Rukmini menonton televisi, pun menanyakan keadaan sebelah rumahnya. “Jangan kepo sama urusan mereka. Tidak penting, Nduk,” sahut Rukmini membuat Lestari tidak bertanya lagi. Mereka pun menonton televisi sembari memakan camilan yang tersisa. ***** Dari pada bosan, dan kamu ke pikiran terus sama masalah ini, mending kita ke sebelah,” usul Kokom. “Mau apa ke sebelah, Bu? Enggak level kumpul sama pembantu, Bu. Nanti badan kita gatal-gatal sentuhan sama orang miskin.” “Ya, kita maki saja mereka seperti biasanya. Mereka itu, kerja di sebelah, karena enggak bisa jauh dari kita. Mereka ketagihan dengan hinaan yang selalu kita lontarkan.” “Hei, para pembantu, kok enak kalian malah menonton televisi sambil ngemil? Nanti bos tiba-tiba datang, panik.” Kokom selalu saja mengacau. Kali ini Kokom membawa Veni dan juga Nazira ke rumah Lestari. “Siapa yang kalian katai pembantu? Istri dan mamak mertuaku?” tanya Firman yang nongol dari dapur. “Ya iyalah, siapa lagi? Kalian kok bisa melamar jadi pembantu di sini? Sengaja biar dekat dan bisa meminta bantuanku kalau kalian enggak punya uang?” Lagi-lagi Kokom bertanya tanpa berpikir. “Mohon maaf, kami tidak menerima tamu julid. Urusan masing-masing saja, Bude.” Lestari menyela karena kesal dengan Kokom yang sok tahu dan sok kaya itu. “Sudahlah, Buk. Percuma ngomong sama orang susah, enggak akan nyambung. Kita tunggu saja pemilik rumah ini datang, baru kira kesini lagi. Ayo pulang, Bu. Nazira kayaknya juga enggak betah, dekat sama manusia-manusia miskin ini.” “Enggak punya bakat lain ya kalian selain menghina? Dasar sok kaya!” Lestari kelepasan. Perempuan yang tengah hamil muda itu, mudah sekali emosi. Apalagi jika sudah bertemu dengan dua manusia sok kaya itu. “Loh memang kita kaya. Kenapa? Iri, ya? Gaji kalian jadi babu, enggak akan bisa menyaingi kita,” sahut Veni dengan pongahnya. “Kekayaan tidak harus dipamerkan. Kalian menghina orang yang aku cintai. Rumah ini, milik istriku. Restoran yang kemarin mengundang kalian makan-makan, itu juga milik istriku. Lantas, masih pantaskah kalian menghinanya? Ingat, harta hanya titipan.” Firman sudah tidak bisa lagi menunda membuka semuanya pada mereka. Membalas orang sombong dengan kesombongan juga. “Kalian pikir, kita percaya? Yang punya rumah ini dan restoran, itu pengusaha muda kaya raya. Suami Lestari saja enggak jelas asal-usulnya kok.” “Mending urus urusan kalian. Baru juga selesai ribut, sudah mau menghakimi orang saja. Kekurangan orang selalu kalian jadikan bahan untuk menghakimi. Orang lain juga punya mata dan bisa melihat kekurangan kalian. Mau mencela kalian juga bisa. mata masih sembab, sudah saatnya tobat, bukan menambah maksiat,” omel Lestari. “Enggak usah mengurusi urusan orang, Tari. Rumah tanggamu saja enggak jelas kok, enggak mengurusi masalah rumah tanggaku!” “Oh, jadi masalah rumah tangga yang kalian ributkan? Aku tidak menyebutkannya, kamu yang membeberkannya sendiri. Kenapa? Suami kamu selingkuh?” cecar Lestari dengan tangan bersedekap di d**a. ‘Bodoh! Kenapa keceplosan terus,’ batin Veni.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD