BAB 7

582 Words
POV KOKOM Rencanaku sejak dulu untuk menjual rumah peninggalan orang tuaku, sudah terwujud. Aku tidak sudi, rumah itu dihuni oleh Rukmini beserta anaknya yang miskin itu. Hutangku lunas, dan pikiranku pun bahagia. Aku meminta waktu seminggu pada mami Retno, untuk mengambil alih rumah itu. Sebelumnya Aku memutuskan tinggal bersama Veni di kota. Aku tidak sudi, mereka drama meminta bantuanku. Seminggu sudah aku tinggal di rumah Veni, eh mereka tiba-tiba nongol. Aku kira mereka akan menumpang di rumah anakku, oh ternyata mereka menumpang di rumah tetanggaku. Pemilik rumah belum pernah terlihat. Katanya sih seorang pengusaha kaya dan sukses. Paling mereka jadi pembantu semua di rumah sebelah. Masa bodoh, yang penting tidak menumpang di rumah anakku. Aku puas sekali melihat mereka terkatung-katung tidak jelas. Salah sendiri sombong. Tega sekali mereka menagih hutangku yang tidak seberapa itu. Hanya sepuluh juta rupiah. Sama saudara saja perhitungan sekali. Apalagi terlahir aku mau meminjam uang satu juta, untuk membayar arisan, mereka tidak memberikan aku pinjaman. Sekarang, aku tidak salah dong tertawa atas penderitaan mereka? Puas sekali rasanya. Aku perhatian mereka membeli banyak makanan, saat aku meminta, Lestari beralasan, makanan yang mereka beli makanan murah. Ih enggak jadi minta dong aku, takut mulutku enggak cocok, malah gatal nanti. Aku alergi makanan murah. Inisiatif aku masuk langsung ke rumah sebelah, toh yang punya juga enggak ada. Aku meminta makanan mereka. Eh ternyata makanan enak. Aku mengambil satu ikat anggur, bakpia pak Tok, kue lapis, dan satu bungkus nasi gudeg sepertinya, tercium dari aromanya. Masa bodoh, sama muka mereka yang masam. Siapa suruh pelit sama keluarga sendiri? Aku jadi punya ide, sering-sering saja aku meminta makanan sama mereka, jadi uang Veni lumayan hemat untuk di simpan. Gaji menantuku yang bekerja di tambang lumayan besar, namun Veni anakku, termasuk tidak suka foya-foya. Berbeda denganku yang suka sekali belanja. Saat kami sedang asyik mengobrol bareng Agung, mantan kekasih Veni, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kedatangan Rangga—menantuku. Veni kelimpungan mendengar mesin mobil berhenti di garasi. Bukan aku namanya kalau menghadapi masalah sepele seperti ini saja tidak bisa. Aku suruh Agung keluar lewat pintu belakang. Dia bisa memutar ke depan dan memasuki mobilnya dengan aman. Aku bilang saja, kalau itu orang menumpang parkir. Ah lega rasanya, mobil Agung sudah melesat tanpa ketahuan. “Mas, pulang kok enggak bilang-bilang, sih? Aku bisa menyiapkan hidangan istimewa buat kamu,” ucap Veni anakku, saat Rangga sudah duduk di antara kami. “Mendadak sayang, soalnya mas sudah kangen sama kamu dan anak kita. Mas ambil cuti beberapa hari di sini menemani kamu. Ibu tumben di sini?” Pertanyaan menantuku, seakan menjadi batu es untukku. Pertanyaan macam apa ini? Memangnya salah kalau aku tinggal di rumahnya? “Rumah ibu disita bank, Mas. Ibu tinggal sama kita. Lagian Mas juga jarang di rumah. Jadi biar ibu menemani aku di sini.” Penjelasan Veni cukup diterima oleh Rangga. Ia pun pamit untuk tidur siang. Perjalanan pulang, dari Kalimantan Timur ke Yogyakarta dengan mengendarai mobil, sangat melelahkan. Karena rindu dengan suaminya, Veni pun menyusul. Aku kembali ke rumah sebelah untuk sekedar pamer, jika menantuku yang kaya raya telah pulang. Biar Rukmini semakin iri dan panas. Kalau dia, mau membanggakan menantunya, bagian apanya? Orang menantunya saja miskin, enggak punya apa-apa. Wajah juga pas-pasan. Ganteng kalau kere mah percuma. Terlihat, pintu depan tertutup rapat. Para tukang juga sedang istirahat di teras rumah. Malas juga kalau mesti gedor-gedor pintu. Mending, aku menonton televisi saja. Nanti saja, aku pamerkan Rangga pada mereka. Mungkin mereka sedang mengepel, menyapu, atau melakukan pekerjaan pembantu lainnya. Malang sekali nasib mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD