Acara peresmian pembukaan restoran milik Firman, telah selesai sejak lima menit yang lalu. Orang yang mereka tunggu sejak tadi, baru saja sampai.
Kokom terlihat datang bersama Veni. Sepertinya, Nazira ia tinggal di rumah bersama sang ayah. Veni mengenakan dress selutut, berwarna hitam, sementara KokomPOV KOKOM
Rencanaku sejak dulu untuk menjual rumah peninggalan orang tuaku, sudah terwujud. Aku tidak sudi, rumah itu dihuni oleh Rukmini beserta anaknya yang miskin itu. Hutangku lunas, dan pikiranku pun bahagia. Aku meminta waktu seminggu pada mami Retno, untuk mengambil alih rumah itu. Sebelumnya Aku memutuskan tinggal bersama Veni di kota. Aku tidak sudi, mereka drama meminta bantuanku.
Seminggu sudah aku tinggal di rumah Veni, eh mereka tiba-tiba nongol. Aku kira mereka akan menumpang di rumah anakku, oh ternyata mereka menumpang di rumah tetanggaku. Pemilik rumah belum pernah terlihat. Katanya sih seorang pengusaha kaya dan sukses. Paling mereka jadi pembantu semua di rumah sebelah. Masa bodoh, yang penting tidak menumpang di rumah anakku.
Aku puas sekali melihat mereka terkatung-katung tidak jelas. Salah sendiri sombong. Tega sekali mereka menagih hutangku yang tidak seberapa itu. Hanya sepuluh juta rupiah. Sama saudara saja perhitungan sekali. Apalagi terlahir aku mau meminjam uang satu juta, untuk membayar arisan, mereka tidak memberikan aku pinjaman. Sekarang, aku tidak salah dong tertawa atas penderitaan mereka? Puas sekali rasanya.
Aku perhatian mereka membeli banyak makanan, saat aku meminta, Lestari beralasan, makanan yang mereka beli makanan murah. Ih enggak jadi minta dong aku, takut mulutku enggak cocok, malah gatal nanti. Aku alergi makanan murah.
Inisiatif aku masuk langsung ke rumah sebelah, toh yang punya juga enggak ada. Aku meminta makanan mereka. Eh ternyata makanan enak. Aku mengambil satu ikat anggur, bakpia pak Tok, kue lapis, dan satu bungkus nasi gudeg sepertinya, tercium dari aromanya.
Masa bodoh, sama muka mereka yang masam. Siapa suruh pelit sama keluarga sendiri? Aku jadi punya ide, sering-sering saja aku meminta makanan sama mereka, jadi uang Veni lumayan hemat untuk di simpan. Gaji menantuku yang bekerja di tambang lumayan besar, namun Veni anakku, termasuk tidak suka foya-foya. Berbeda denganku yang suka sekali belanja.
Saat kami sedang asyik mengobrol bareng Agung, mantan kekasih Veni, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kedatangan Rangga—menantuku. Veni kelimpungan mendengar mesin mobil berhenti di garasi. Bukan aku namanya kalau menghadapi masalah sepele seperti ini saja tidak bisa. Aku suruh Agung keluar lewat pintu belakang. Dia bisa memutar ke depan dan memasuki mobilnya dengan aman. Aku bilang saja, kalau itu orang menumpang parkir. Ah lega rasanya, mobil Agung sudah melesat tanpa ketahuan.
“Mas, pulang kok enggak bilang-bilang, sih? Aku bisa menyiapkan hidangan istimewa buat kamu,” ucap Veni anakku, saat Rangga sudah duduk di antara kami.
“Mendadak sayang, soalnya mas sudah kangen sama kamu dan anak kita. Mas ambil cuti beberapa hari di sini menemani kamu. Ibu tumben di sini?” Pertanyaan menantuku, seakan menjadi batu es untukku. Pertanyaan macam apa ini? Memangnya salah kalau aku tinggal di rumahnya?
“Rumah ibu disita bank, Mas. Ibu tinggal sama kita. Lagian Mas juga jarang di rumah. Jadi biar ibu menemani aku di sini.” Penjelasan Veni cukup diterima oleh Rangga. Ia pun pamit untuk tidur siang. Perjalanan pulang, dari Kalimantan Timur ke Yogyakarta dengan mengendarai mobil, sangat melelahkan.
Karena rindu dengan suaminya, Veni pun menyusul. Aku kembali ke rumah sebelah untuk sekedar pamer, jika menantuku yang kaya raya telah pulang. Biar Rukmini semakin iri dan panas. Kalau dia, mau membanggakan menantunya, bagian apanya? Orang menantunya saja miskin, enggak punya apa-apa. Wajah juga pas-pasan. Ganteng kalau kere mah percuma.
Terlihat, pintu depan tertutup rapat. Para tukang juga sedang istirahat di teras rumah. Malas juga kalau mesti gedor-gedor pintu. Mending, aku menonton televisi saja. Nanti saja, aku pamerkan Rangga pada mereka. Mungkin mereka sedang mengepel, menyapu, atau melakukan pekerjaan pembantu lainnya. Malang sekali nasib mereka.
mengenakan setelan berwarna merah tua.
“Aduh, rupanya kita terlambat. Tapi kita masih bisa menikmati hidangan yang telah disediakan. Lumayan, makan gratis,” ucap Kokom sembari mengambil piring dan menyendokkan nasi beserta lauk pauk. Kokom tidak melewatkan kesempatan. Ia mengambil beberapa lauk yang pastinya menggugah selera.
Mengambil tempat paling ujung dan makan dengan lahap, tanpa memperhatikan sekitar. Tanpa mereka sadari, Lestari dan Firman tertawa melihat orang yang katanya kaya, namun rakus dengan makanan. Sama sekali tidak mencerminkan orang kaya. Selesai makan, mereka mengambil beberapa kue, dan pindah tempat duduk, yang kebetulan bersebelahan dengan Firman dan Lestari. Entah ke mana larinya nasi satu piring tadi, hingga mereka masih harus melahap satu piring penuh kue basah.
“Loh, kok ada mereka, Ven?” tanya Kokom saat matanya bersitatap dengan Lestari. “Kalian ini memang bermental baja, ya? Ini acara orang kaya, kalian enggak pantas ada di sini,” ucapnya tanpa disaring terlebih dahulu.
“Loh, apa masalahnya kalau kami di sini? Kenapa Bude yang repot? Pemilik Restoran ini saja tidak masalah dengan keberadaan kami di sini.”
“Lebih baik sadar diri, sih. Mereka mau mengusir kalian tidak enak, makanya dibiarkan saja kalian di sini. Lagian, cuman jadi pembantu, belagu amat. Acara besar seperti ini, ada saja kalian muncul,” sambung Veni membuat Lestari terpancing. Namun dengan sigap, Firman menenangkan istrinya itu. Belum saatnya, kedua manusia sombong itu, mengetahui semuanya.
“Kalau sudah selesai sebaiknya langsung pulang saja. Pemilik Restoran ini tidak akan suka melihat sikap buruk kalian,” ucap Lestari sembari menatap tajam kedua manusia sombong itu.
“Oh, iya? Enggak ke balik , tuh? Yang ada mereka yang muak melihat keberadaan kalian di sini. Kalau mereka tahu kalian cuman pembantu, bisa ilfil mereka.” Veni menatap meremehkan pada Lestari dan Firman. Belum tahu saja, jika Lestari dan Firman adakah pemiliknya.
*****
Melihat ponsel suaminya, tiba-tiba saja Veni ingin melihat isinya. Veni mengusap layar, dan pun langsung membuka pesan dari aplikasi berwarna hijau. Awalnya Veni hanya ingin mengganti foto profil wa suaminya, namun matanya tertuju pada satu pesan paling atas. Veni langsung membukanya demi mengetahui isi pesan tersebut.
Kakinya mendadak lemas, dan ia pun sangat marah. Laki-laki yang sangat ia cintai dan paling ia percaya, ternyata main selingkuh di belakang. Veni sama sekali tidak menduga.
Dengan mata berkaca-kaca, Veni membaca pesan suaminya. Rangga berbalas pesan dengan wanita bernama Kumala di aplikasi wa.
[Mas, aku kangen. Malam ini aku menginap di rumah ibumu, besok kami akan ke Yogyakarta menemuimu, Mas.]
[Jangan buru-buru Kemala. Aku belum membicarakan rencana pernikahan kita pada Veni.]
[Iya biar ibu saja besok yang sampaikan sama istrimu itu Mas.]
[Iya Kemala. Kamu satu-satunya perempuan yang mengerti aku. Kamu begitu tulus mencintaiku. Terima kasih sudah mau aku jadikan istri kedua. Kamu tidak seperti Veni dan ibu mertuaku, yang selama ini hanya menjadikan aku sapi perah. Aku merasakan ketulusanmu.]
"Tega sekali kamu, Mas! Kamu berpikiran kami hanya menjadikanmu sapi perah? Bukankah itu memang kewajiban kamu terhadap istri dan mertua? Apa gara-gara ucapan ibunya waktu itu, sehingga Mas Rangga bisa berpikiran seperti itu? Dasar mertua rese!" Veni berucap Lirih namun dadanya penuh amarah. Ia ingat ucapan Ibu mertuanya yang selalu mengatainya matre.
Veni menatap sengit suaminya yang sedang terpejam di ranjang bersama Nazira. Cintanya yang tulus, sirna begitu saja, saya mengetahui suaminya akan menikah lagi dengan wanita lain.
"Veni! Itu mobil mertua kamu kayaknya. Kenapa sih, mereka mesti ke sini? Ibu malas sekali berhadapan dengan mereka." Kokom pun menggerutu kesal. Ia yang merasa tak cocok dengan sang besan, sehingga malas sekali jika bertemu.
“Ya mana Veni tahu, Bu. Mungkin saja mereka mau bertemu dengan mas Rangga? Maklum, Mas Rangga sejak pulang belum menemui ibunya,” ucap Veni beralasan. Padahal ia sudah tahu tujuan mereka kemari untuk membicarakan pernikahan Rangga dengan perempuan yang digandeng Widya itu.
“Pokonya Ibu enggak mau kalau mereka sampai menginap. Ibu malas....malas...malas.” Layaknya anak kecil yang dipaksa tidur siang.
Mereka pun terpaksa membukukan pintu, setelah gedoran demi gedoran mengganggu telinga mereka.
“Lama banget, sih? Buka pintu saja kayak buka gerbang,” omel Widya pada menantunya. Tanpa salam, Widya, Ayu, dan Kemala pun masuk melewati Veni dan Kokom dengan wajah masam.
“Dasar mertua zalim! Aku doakan kena strok!” ucap Veni seraya menyusul mereka masuk. Sementara Kokom pun tampak tak suka dengan kedatangan besannya yang tidak menghormatinya itu.