BAB 6

1404 Words
Kokom sudah tinggal bersama Veni kurang lebih seminggu. Sedangkan Lestari bersama suami dan kedua urang tuanya, mereka tidak menyangka, Kokom menjual rumah mereka pada rentenir. Ingin membawa kasusnya ke ranah hukum, namun Firman melarang. Mereka terpaksa mengikhlaskan rumah penuh kenangan itu, diambil alih oleh mami Retno, si lintah darat. Hari ini, mereka pun pergi ke Yogyakarta bagian kota, untuk menempati rumah baru mereka yang belum sepenuhnya rampung. Pemasangan pagar dan pembuatan kolam renang, masih dalam tahap pengerjaan. Rumah yang berdiri di pinggir jalan utama itu, lokasinya sangat strategis. Firman berniat membuka butik di samping rumah mereka. Semua sudah ia susun dan rencanakan sejak sebelum menikah dengan Lestari. Baru saja mereka turun dari mobil, tatapan sengit Kokom tak terelakkan. Kokom langsung mendekat ke arah mereka. “Loh, mau apa kalian kesini? Siapa yang mau menampung kalian? Rumah Veni memang luas, tapi kami tak sudi menampung orang miskin seperti kalian,” cemoohnya. Bagio tersenyum getir mendengar penuturan kakak kandungnya itu, namun ia memilih diam. Toh percuma menyahut, yang ada nanti semakin panjang urusan. “Enggak usah terlalu percaya diri ya, Bude? Kami bukan mau menumpang di rumah anakmu,” sahut Lestari ketus. “Ada apa, Buk? Kenapa mereka gerombolan kesini? Mau menumpang hidup sama kita?” ucap Veni yang baru saja nongol dari pintu. Veni pun ikut mendekat, dengan tatapan merendahkan. “Duh, kasihan banget deh kalian. Di usir sama rentenir, dan sekarang enggak punya tempat tinggal. Bakalan jadi gembel. Mobil mahal ini, kalian sewa? Benar-benar enggak tahu malu.” “Jaga bicaramu, Veni! Kami diusir juga karena ulah ibumu. Kalau aku bawa ke meja hijau, ibumu sudah mendekam di penjara,” sahut Lestari berapi-api. Mata Lestari menatap sepupunya tajam. Rasa kesalnya terhadap Veni, sudah mendarah daging. Pundaknya naik turun, karena emosi yang tak terkendali. “Biar adil dong. Rumah ibuku disita bank, rumah kalian diambil rentenir,” sahut Veni dengan santainya, menambah emosi Lestari. “Ayo masuk! Jangan dengarkan lagi ocehan mereka. Orang gila, terlalu banyak bicara,” sela Rukmini berusaha mengakhiri perdebatan. “Eh, enak saja main masuk-masuk. Memangnya siapa yang mengizinkan kalian tinggal di rumahku?” potong Veni sembari menghadang mereka. “Yang mau tinggal di rumah kamu, siapa? Minggir!” Lestari mendorong Veni yang terus menghalangi jalan mereka. Veni terhuyung dan mereka pun mengambil langkah cepat. Mereka memasuki pekarangan rumah mewah dua lantai di sebelah rumah Veni. “Oh, mau menumpang di rumah tetangga kita? Mana mau pengusaha kaya itu menampung kalian? Duh susah kalau orang miskin ini. Bisanya menumpang saja,” teriak Kokom yang tak diindahkan lagi oleh mereka. “Sebentar lagi paling juga diusir!” teriak Veni. “Ada hubungan apa mereka sama tetangga kita itu, Ven? Kita saja belum pernah memasuki rumah mewah itu, eh mereka main menyelonong saja tidak punya malu.” “Sudah enggak punya malu, Buk. Dari dulu mereka semua muka tembok. Iya sudah Buk, enggak penting juga mengurusi mereka. Yang penting mereka enggak menumpang sama mereka. Ayo masuk, Bu!” ***** “Alhamdulillah. Rumah kalian besar sekali. Terima kasih banyak Nak Firman.” “Sama-sama Bapak. Sudah kewajiban saya membahagiakan dek Lestari. Rumah ini saya buat atas namanya. Nanti saya bukakan butik impian dek Lestari, setelah pembangunan rumah ini selesai.” “Masyaallah. Benar-benar pemuda baik dan bertanggung jawab. Beruntung Lestari memilikimu, Nak. Bapak minta kamu menjaga dan menyayangi dia, seperti yang Bapak lakukan selama ini. Semoga kebahagiaan selalu menyertai kalian.” “Aamiin, terima kasih Pak doanya.” Firman memeluk bapak mertuanya penuh haru. “Bapak sama Mamak sebaiknya istirahat saja. Lestari mau keluar sebentar dengan mas Firman, membeli makanan untuk kita dan pak tukang.” “Iya sudah. Hati-hati kalian.” Rupanya Kokom tidak benar-benar masuk. Ia masih memantau di dekat pintu. Dasar kepo. “Nah, nah, diusir ‘kan, kalian? Apa juga kubilang? Enggak akan ada yang menampung kalian manusia miskin.” Mereka tidak mau menyahut. Biarkan saja, Kokom dan Veni jantungan saat peresmian toko dan restoran baru yang dibangun tak jauh dari rumah mereka nanti. Restoran dan toko lebih dulu selesai pengerjaannya. Rencananya acara peresmian diadakan seminggu lagi. Kemarin sebelum mereka pindah, rumah sudah dibacakan doa oleh para tukang, tetangga setempat, dan pak RT, dengan memanggil salah satu pemuka agama di daerah tersebut. “Dasar sombong! Miskin saja sombong, apalagi kaya.” Kokom tetap saja nyerocos walaupun Lestari dan Firman tidak menanggapi. “Diusir? Siapa yang diusir, Bu?” Salah satu tukang merasa emosi mendengar ucapan makian Kokom yang sejak tadi terlontar tanpa jeda. “Tidak usah diladeni, Pak. Bapak lanjutkan saja pekerjaan Bapak. Jangan pernah memberi tahu mereka, siapa kami sebenarnya,” bisik Firman lirih, sehingga Kokom tidak mendengarnya. “Kenapa bisik-bisik? Buang malu, ya?” “Duh, kepo! Ayo Mas kita jalan. Meladeni mak lampir, bikin kita darah tinggi.” “Buk, masuk! Enggak usah ngomong sama orang miskin, nanti menular miskinnya. Mending masuk jagai Nazira, Veni mau mandi dulu,” teriak Veni dari dalam, namun suaranya terdengar sangat keras hingga ke telinga Lestari dan Firman. “Tuh, dipanggil sama nyonya Bude. Cepat jagai cucunya, nyonya besar mau mandi tuh,” ledek Lestari. Kokom pun mencebik, dan membanting pintu rumah Veni dengan keras. Suami Veni bekerja di luar pulau. Enam bulan sekali baru pulang. Mereka hanya tinggal bertiga sekarang, bersama Nazira. Sudah pasti, Kokom akan dijadikan babu oleh anaknya yang manja itu. Lestari sudah hafal dengan kelakuan Veni. “Marah terus. Panas terus. Enggak lama strok.” “Hus, enggak boleh ngomong begitu, Dek. Ayo naik.” Mobil pun melaju menyusuri kota Yogyakarta. Mereka mencari makanan khas Yogyakarta, berupa gudeg dan teman-temannya, dan beberapa camilan lainnya. Tak lupa mereka juga membeli buah-buahan. Tukang yang bekerja merasa sangat senang, karena Firman tidak pernah pelit soal apa pun, terutama soal makanan. Setelah selesai mereka pun gegas pulang. Lagi-lagi, mereka harus berhadapan dengan Kokom. “Wah, beli apa kalian? Bagi-bagi dong!” ucapnya tak tahu malu. “Hanya makanan kalangan biasa, bukan makanan mewah yang biasa kalian makan,” sahut Lestari datar. “Oh, enggak jadi deh. Mulutku gatal makan, makanan murah,” sahut Kokom sembari duduk santai di teras. Mereka pun langsung masuk, mengajak para tukang juga untuk makan siang. “Mobil pinjam, rumah menumpang, hidup kok enggak ada kemajuan,” ucap Kokom yang lupa berkaca. Rumah disita bank, dan sekarang juga menumpang di rumah menantunya, tapi masih saja sombong dan menghina saudaranya. “Dek, minggu depan, kita peresmian restoran dan toko, jangan lupa undang budemu Dek. Mereka harus datang.” “Ah, jangan aku Mas. Suruh orang saja untuk mengundang mereka. Aku malas, Mas.” “Iya sudah kalau begitu Dek. Nanti Mas menyuruh orang saja.” Mereka mengobrol santai setelah selesai makan. Tukang pun melanjutkan pekerjaan mereka kembali. Sementara Bagio dan Rukmini sudah istirahat di kamar. Usia yang tak lagi muda, membuat mereka kelelahan menempuh jarak yang lumayan jauh. Tiba-tiba ada tamu tak diundang berjalan mendekati mereka. “Wah, beli buah kalian,? Ini juga banyak camilan. Bude mau minta dong.” Belum juga mereka menjawab, Kokom sudah mengambil beberapa camilan, dan satu ikat anggur yang masih utuh. “Kalau makanan kayak seperti ini mah, masih masuk di tenggorokan.” Setelah puas mengambil yang diinginkan, Kokom pun langsung pulang tanpa mengucapkan terima kasih, apalagi permisi. Benar-benar usia tua, tapi nol adab. Lestari hanya bisa menggerutu kesal, tanpa bisa berbuat apa-apa. Ia tak mau, hanya perkara makanan, sampai ribut. Kebetulan di tempat tinggal mereka sekarang, tetangga lumayan padat. “Dapat dari mana, Bu?” tanya Veni saat Kokom meletakkan bawaannya di atas piring. “Minta sama orang miskin di sebelah.” “Hah, uang dari mana mereka membeli ini semua? Hutang bank?” tanya Veni dengan wajah meremehkan. “Enggak penting dari mana uangnya, lebih baik kita makan. Mulai sekarang kita harus begini, agar uang kamu bisa dihemat.” “Oh iya, Bu. Temanku Agung, mau datang.” “Agung mantan kamu?” “Iya, Bu. Mumpung mas Rangga enggak di rumah.” “Jangan main gila kami, Ven! Bisa jadi gelandangan kalau Rangga sampai menceraikan kamu.” “Tidak akan Bu. Aku dan Agung hanya teman biasa. Jangan khawatir, Bu.” “Kebetulan banget, banyak camilan, jadi tidak perlu keluar uang untuk menyambut temanmu itu.” “Ibuku memang yang terbaik.” Tak lama, mobil Agung terparkir di teras rumah Rangga. Veni pun menyambut kedatangan mantan kekasihnya itu, dengan senyum bahagia. Saat ketiganya sedang asyik mengobrol, mereka dikagetkan dengan suara mobil yang tak asing, parkir di garasi samping rumah. “Mampus! Kenapa pulang tidak memberi kabar? Mas Rangga, Bu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD