Mataku membelalak dengan mulut terbuka membentuk huruf o besar. Amarahku naik ke atas kepala seakan ada bom yang akan meledak dalam otakku. Dengan begitu santai seakan kehadiranku bukan hal yang mengejutkan atau hal yang penting untuknya, Louis hanya menatapku beberapa detik dan kemudian kembali fokus dengan apa yang dia lakukan. Seorang wanita berpakaian kerja yang sekarang sudah terbuka di segala sisi sedang duduk di atas meja Louis dengan beberapa barang-barang yang telah jatuh karna keberadaan wanita itu. Louis melanjutkan apa yang dia lakukan. Meletakan tangannya pada paha wanita itu sambil menyingkap rok yang dia kenakan dan mencium leher wanita itu. Aku tidak tahan melihatnya dan merincikan apa yang sedang mereka lakukan. Sudah jelas melihat bagaimana kemeja Louis yang juga tidak lagi terkancing sama seperti wanita itu.
Melihat tidak ada reaksi salah satu dari mereka tentang keberadaanku saat ini, membuatku geram. Seakan aku adalah penonton apa yang dia lakukan. Aku langsung menarik baju Louis agar menjauh dari wanita itu. Wanita itu seakan baru menyadari keberadaanku dan kaget. Sementara Louis sekarang sudah berada di sofa karna aku menggeratnya. Aku memandang Louis dengan geram dan mengintimidasi.
"Kau-" Rasanya begitu sulit mengeluarkan kalimat karna aku begitu marah. Pun aku menatap wanita itu yang aku ingat adalah salah satu karyawan sini. "Keluar kau sekarang! Dan jangan lupa mengancing semua pakaianmu itu!" Pekikku. Dia terlihat takut menatapku. "Dan jangan mau dipaksa oleh bos m***m mu ini," ujarku sambil menunjuk Louis.
Louis memutar bola matanya mendengar apa yang aku katyakan. Kemudian dia mengedikan bahunya dan menganggkat kedua tangannya. "Oh ayolah, anak kesayanganku. Kau pikir dia dipaksa oleh Daddymu yang sangat sexy ini?" Ujarnya memberi pertanyaan yang lebih mirip seperti pernyataan.
Aku memutar bola mataku kesal. Entah karna muak karna dia yang memuji dirinya sendiri atau dengan kalimat 'anak kesayangan' dan 'Daddy'. "I don't give a f**k! Sekarang kau keluar sebelum aku memecatmu!" Makiku pada wanita itu. Dengan pakaian yang masih berantakan dia keluar begitu tergesa-gesa juga panik. Sekarang masalahku kembali pada seorang pria yang sedang mengancing kemejanya sambil duduk dengan santainya di sofa seperti tidak pernah terjadi apapun. "Apa yang barusan kau lakukan?!" Pekikku.
"Having s*x," jawabnya santai.
"Aku harus memecatnya," ujarku.
"Tidak bisa. Dia punya kerja yang bagus di sini," ujar Louis.
"Kerja apa? Melayanimu? Aku harus memecatnya! Dia tidur dengan suami Ibuku!"
"Kau juga tidur dengan suami ibumu, Als."
"What the hell! Aku tidak mengerti kenapa banyak sekali wanita bodoh yang mau tidur denganmu!" Louis seakan tidak mempedulikan amarahku. Dia mengambil satu batang rokok dan membakarnya. Lalu dia menghirup dan menghembuskannya dengan santai. "Aku akan bilang kepada Mom tentang ini," ancam mengambil keputusan. Aku tidak bisa membiarkan Mom disakiti.
Mendengar ancamanku yang tentu akan aku lakukan, membuat Louis mengalihkan seluruh perhatiannya padaku. Dia meletakan rokoknya di asbak dan sekarang menatapku dengan begitu serius. Louis yang tadi sama sekali tidak mendengarkanku hilang seketika. Aku tersenyum licik penuh kemenangan, menerima respon darinya yang terlihat sangat peduli dengan yang aku katakana. Dia bangkit dari sofa dan mendekatiku perlahan. Dia berdiri di depanku dan menatapku mengintimidasi. Aku akui itu cukup menakutkan. Tapi aku berusaha terlihat tidak terintimidasi sama sekali dan tegar. "Kau tidak dapat melakukannya," ujarnya dengan suara yang kelewat tenang namun dalam. Seakan memang aku tidak dapat melakukan itu.
Aku menaikan kedua alisku dengan tatapan sombong dan mengancam. "Mengapa? Kau takut Mom tahu? Menceraikanmu? Oh Ayolah, kau bisa mencari wanita lain."
Dia tertawa sinis mendengar sarkasku. Seperti tidak ada rasa takut sama sekali. "Kalau kau mengatakannya, aku akan mengatakan juga tentang kita."
"Kita? Maksudmu tentang kau yang awalnya memperkosaku saat mabuk?" Sarkasku.
Senyumnya semakin lebar. Louis menyeringai dengan licik. "Awalnya, dan kemudian kau melakukannya dengan senang hati. Oh ayolah, kita sama-sama menikmatinya. Bagaimana kalau ibumu tahu tentang itu?"
Mendengarnya membuatku terpaku membisu. Aku menelan ludahku karna tidak dapat berbicara apa-apa. Jelas dia mengancamku dan dia menang telak saat ini. Aku tidak bisa apa-apa. Tidak pernah terbayangkan jika Mom mengetahui apa yang pernah kami lakukan. Aku merasa seperti orang bodoh sekarag.
Louis tertawa sinis sambil membelai wajahku dengan punggung tangannya. "Kenapa Alana? Kau menyadari bahwa kau ternyata adalah salah satu dari wanita bodoh yang mau tidur denganku?"
Kalimatnya tepat menusuk jauh ke dalam hatiku.
"Tenang saja, aku tidak pernah akan mengatakannya. Jika kau tetap menikmati apa yang kita lakukan. Lagi, lagi dan lagi."
Kalimatnya jelas mengancamku dan menegaskan bahwa aku tidak bisa lepas darinya. Bahwa selamanya aku akan jadi wanita yang bercinta dengannya kapanpun dia mau. Dan yang aku benci adalah saat ini aku tidak bisa melawannya sama sekali. Bahkan tidak dapat sama sekali membuka mulut untuk bersuara. Aku tidak mau Mom tahu.
"Anak pintar. Seperti itu, bagus!" Katanya dengan manis. Kemudian wajahnya mendekat kepadaku dan berakhir di leher jenjangku. Bibirnya menyentuh permukaan kulitku dan kemudian dia menciumnya. Tangannya memegang kedua bahuku agar tidak bergerak. Dia mencium leherku dengan penuh nafsu. Membuatku meringis dan gemetar. Rasanya ingin lari tapi aku tidak dapat melakukan itu. "Tenang, sayang. Sebelumnya kita pernah melakukan itu dan kau menikmatinya."
Kemudian dia mendorongku dengan lembut ke sofa dengan masih mencium leherku. Aku dapat merasakan harum samponya. Aku terduduk di sofa dan dia berada di atasku. Perlahan dia membuka kausku dan mulai menciumi tubuhku. Bibirnya menyusuri permukaan kulitku. Tangannya menyingkap rok ku dan naik ke atas pahaku. Aku tahu dia tidak akan menghentikannya dan aku harus menerimanya seperti yang sudah-sudah.
Louis menyisakan sedikit ruang untuknya membuka kemeja. Setelahnya melepas sabuk yang melilit celananya dan kemudian meloloskan itu. Dia membuka kausku dengan perlahan lalu kembali menciumi permukaan kulitku. Menyentuh perutku dengan jemarinya untuk menumpu bibirnya yang makin lama turun ke bawah. Aku menggeliat karna itu.
"Please stop Louis," pintaku meohon.
"Sttt, nikmati saja seperti biasanya." Dia kembali ke atas dan mencium bibirku. Kemudian dalam satu hentakan miliknya mendesak masuk ke milikku. Aku mengerang karna itu dan Louis tersenyum menikmatinya.
"Aku selalu menikmati bagaimana kau mengerang," ujar Louis. Dan sejurus kemudian dia kembali memompanya.
Entah kenapa segalanya seperti berubah. Dulu mungkin aku akan membiarkannya dan sangat menikmati. Tapi kali ini aku seakan tidak ingin mengalami ini.
Dan muncul satu sosok bayangan di kepalaku. Zach.
***
Bawah mataku menghitam karna kurang tidur. Aku berada di kantor sampai malam menemani Louis. Belum lagi apa yang kami lakukan ketika sampai rumah. Dia memaksa untuk tidur di kamarku dan tentunya akan selalu terjadi hal-hal yang dia inginkan. Mengingatnya membuatku sangat kesal terhadap diriku sendiri. Sekarang aku merasa seperti seorang slave untuk Louis. Dan itu akan sangat buruk mengingat Mom masih berada cukup lama di luar kota. Louis akan dengan bebas menjadikanku pelampiasan nafsunya dimanapun. Dan aku tidak tahu mengapa itu sekarang menjadi sesuatu yang tidak aku suka. Ku keluarkan buku-buku lalu menumpu kepalaku dengan tangan yang berada di meja kampus. Sengaja aku datang pagi hari sebelum Louis membuatku tidak dapat pergi ke kampus.
Marie memasuki pintu ruangan dan menemui sosokku yang sedang kacau. Dia terlihat panik dan langsung mengambil tempat di sampingku. "Alana, Apa yang terjadi padamu? Kau kacau sekali hari ini?" Tanyanya khawatir.
Ayah tiriku yang super sexy itu menjadikanku b***k sexnya.
Aku tidak mungkin mengatakan itu.
Kupaksakan diri untuk tersenyum. "I'm ok."
"Apanya yang ok? Memangnya aku tidak lihat lingkaran matamu itu? Kau terlihat lelah. Sekarang katakan padaku sejujurnya!"
Aku terdiam menatap Marie. Dia adalah sahabat terbaikku. Kutimbang-timbang harus mengatakannya atau tidak. Jika aku mengatakannya, tidak harus menanggung beban ini sendiri. Mungkin Marie akan membantuku. Tapi bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Akhirnya kuputuskan untuk tidak mengatakan apapun. Aku menggelengkan kepala.
Marie menghela nafasnya dan menatapku iba. "Aku tahu! Apa ini tentang Zach? Dia mencampakanmu?"
Mendengar jawaban Marie aku cukup kaget. Mengingat Zach juga belum menghubungiku selama berhari-hari setelah kami bercinta dan dia mengatakan mencintaiku. Hal itu membuatku terdiam. Oke, masalahku bertambah lagi.
"Dengarkan aku, Als. Mereka pria memang seperti itu. Mengatakan cinta, menyukai kita saat bercinta. Mereka akan melakukan apapun yang mereka inginkan. Akan ada Zach yang lain di hidupmu. Lagipula ini masih awal. Kau masih bisa menarik diri sebelum benar-benar mencintainya." Marie menggenggam tanganku berusaha menenangkan.
Aku tersenyum sendu. Setidaknya aku masih punya Marie. Benar-benar seorang sahabat. "Thanks Marie."
"Helo, Zach!" Sapa seorang gadis yang aku dapat kenali dari suara yang dibuat-buat manis dan menggoda itu adalah Melissa.
Mendengar nama itu membuat aku dan Marie jelas menoleh.
"Yo Zach!" Ujar beberapa orang pria menyapanya sambil saling memukul punggung pelan dan saling tertawa.
Si populer.
Zach terlihat segar dengan kaus putihnya dan jeans, juga tas punggung yang dia kenakan. Terlihat berbeda dengan kemeja dan jas yang pernah aku lihat. Tapi aku suka keduanya. Melihatnya tersenyum entah mengapa seperti semua bebanku tadi menghilang dan ingin tersenyum juga. Tetapi mengingat dia yang menghilang dan tidak menghubungiku juga semua nasihat dari Marie membuatku harus tidak berharapp banyak. Bersikap seperti sedia kala lagi. Teman kampus yang tidak mengenal dekat. Toh dia sudah melupakanku.
"Well sayangnya dia tetap tampan." Kata Marie sambil menatap Zach.
Aku terkekeh pelan dan mengedikan bahu. "Memang seperti itu bukan, dia?"
Aku menatap Zach yang masih di depan pintu berbicara dengan beberapa mahasiswa. Aku cukup senang dia tidak lagi terlalu tertutup. Walaupun masih begitu misterius. Tiba-tiba mata kami saling bertemu. Saat itu rasanya dadaku berdebar begitu kencang menatap bola matanya. Aku terpaku harus bereaksi seperti apa mengingat yang terjadi antara kami. Rasa takutpun aku rasakan karna tidak siap dengan raksinya. Dia tersenyum padaku dengan kikuk dan aku membalas senyumnya.
Kemudian saat itu pandanganya beralih ketika tiba-tiba Melissa menarik wajah Zach dan menciumnya. Butuh beberapa detik membuatku mencerna apa yang aku lihat. Kaget dan rasa sakit merasukiku. Marah dan entah apapun bercampur jadi satu. Setelah Melissa melepas terdengar suara berisik dari penjuru ruangan. Siulan dan teriakan atau apapun. Melissa tersenyum dengan wajah malu dan bangga. Aku menelan ludahku karna itu.
"Thats b***h!" Maki Marie pelan.
Akan ada gossip lagi yang menyebar tentang hubungan Melissa dan Zach pastinya. Menyebalkan bahwa kenyataannya aku bukan siapa-siapa. Aku langsung membuang mukaku seakan tidak peduli. Aku masih punya masalah dengan Louis. Zach bukan sesuatu yg harusnya aku pikirkan saat ini. Aku memilih mengambil buku-buku yang ada di tasku. Memungggungi kumpulan orang-orang itu.
"Als, aku turut sedih-"
"Its ok Marie, kau pikir aku selemah itu? Ayolah, kau tahu aku."
Marie tersenyum. "Ya, kau memang si hebat Al-"
Belum sempat Marie melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba sebuah lengan menarikku. Dan sejurus kemudian sebuah bibir sudah mendarat dibibirku. Zach menutup matanya dan menautkan bibirnya. Aku terkejut dengan apa yang terjadi. Bukan hanya aku tetapi juga semua orang yang ada di ruangan ini. Tidak lama sampai bibir kami saling berjauhan. Zach tersenyum kepadaku. Kemudian dia melihat ke sekeliling yang memerhatikan kami.
"Well sepertinya kalian harus tahu siapa kekasihku sebenernya. Alana Mcmine. Kalau kalian ingin menyebar berita, silahkan. Aku sangat senang jika semua orang tahu dia miliku."
Aku menahan nafas dengan apa yang dia katakana. Rasanya seperti lupa akan gravitasi bumi. Kemudian mata Zach menatap Melissa bersama dengan kelompok wanita jalang lainnya.
"Ku harap kau tidak lagi mencoba merayuku, mendekatiku, atau melakukan hal memuakan lainnya. Aku tidak mau jadi alat untuk membuatmu terlihat seperti queen bitch."
Aku dapat melihat wajah Melissa yang memerah karna malu. Sementara Marie yang tersenyum puas. Ruangan kembali bising namun tidak berlangsung lama karna dosen memasuki kelas. Zach langsung memilih duduk di belakangku setelah menyingkirkan orang yang sebelumnya duduk di sana.
"Psst!" Bisik Zach memanggilku.
Dengan hati-hari aku memundurkan tubuhku untuk mendengar apa yang Zach katakan.
"I love you."
Mendengarnya senyum mereka dari bibirku. Semua pikiran burukku seakan hilang. Satu-satunya hal yang dapat membuatku tersenyum saat ini. Zach. Tetapi aku masih mensaksikan beberapa hal dari dirinya yang terlalu abu-abu. Mungkin seiring berjalannya waktu aku akan mengetahuinya. Yang pasti saat ini, senyum seakan tidak dapat hilang dari bibirku.
***