Aku mengerjapkan mataku berkali-kali sampa pada akhirnya mataku benar-benar siap untuk terbuka. Hal yang pertama aku lihat adalah langit-langit kamar yang berbeda. Sebenarnya tidak terlalu berbeda, tapi langit-langit kamar ini memilik lampu yang tentunya bukan seperti lampu kamarku. Ku lihat sekeliling yang berada di depanku dan mempertanyakan dimana keberadaanku. Semua perabotan yang ada di ruangan ini bukanlah milkku. Terlalu smple dan elegant dengan suasana putih dan hitam yang dominan. Aku memjat kepalaku yang masih terasa pusing, tetapi setidaknya lebh baik dari sebelumnya.
Wait... Sebelumnya?
Itu membawaku ke dalam pencerahan dimana aku sekarang. Karna tentu ini bukan kamarku. Sejujurnya aku masih mengantuk selain pusing di kepalaku ini, sehngga penglihatanku tidak sebagus ketika aku sedang segar. Dan seingatku terakhir aku sedang berada di dalam ruangan kampus.
"Kenapa kau melamun seperti itu?"
Mendengar suara baritone yang menyapaku membuat aku cukup kaget dan yakin dimana diriku sekarang. Aku menoleh dan mendapati pacar tampanku sedang duduk di lantai sambil menumpu wajahnya di sisi kasur. Manis sekali. Seharusnya daritadi aku hanya perlu menoleh ke kanan dan mendapati pria ini di sini.
"Well, it's your bed?"
Dia mengangguk. "Apa kau lupa tempat pertama kali kita bercinta?" Sarkasnya.
Aku hanya terkekeh. "No. Hanya sedikit pusing. Jadi kenapa aku bisa di sini? Ingatanku masih cukup jelas bahwa aku sedang berada di dalam kelas mendengarkan dosen setelah kau menciumku."
"You sleep." Dia tersenyum mengatakannya.
"What?"
"Sebenarnya kau pingsan. Aku memanggil dokter dan kata mereka kau tidur. Kau terlalu lelah."
Aku menghela nafas dan sekarang tahu penyebab aku berada di kamar ini. Cukup memalukan. "Yeah, I understand."
"Kau pingsan di kelas tiba-tiba. Semua panik terutama aku dan Marie. Kemudian Aku membawamu. Well sebenarnya sahabat baikmu itu yang ingin melakukan. Tetapi aku meyakinkannya untuk membiarkanku membawamu."
"Thankyou." Kataku dengan lirih.
Dia lalu membawa jemarinya untuk menyusuri rambutku sambil matanya dengan intens menatapku. "Katakan padaku. Apa yang terjadi?"
Ayah tiriku yang hypersex itu memperdayaku untuk melayani nafsunya.
"Tidak teradi apa-apa. Hanya ibuku sedang pergi jadi ada banyak sekali tugasnya di rumah yang harus aku lakukan." Aku tersenyum berusaha terlihat baik-baik saja mengatakannya.
Ya, melakukan tugas melayani Louis.
"You are good girl."
No. I'm not.
"Well apa yang kau lakukan?"
"Waiting you awake and then hook up with you," ujarnya santai.
Mendengar jawabannya yang jelas sedang meledekku membuat senyumku makin lebar. Aku menggigit bibir bawahku. "Really?"
Dia terkekeh dengan manisnya. "No, I'm kidding. Aku hanya menatapmu sedang tidur."
"Menatapku?"
Dia mengangguk.
"Hanya menatap atau sambil melakukan m********i?" Ledekku.
Dia tertawa sambil menggeleng. "Tidak. Aku tidak melakukan itu. Seriously, I just watching you sleep. You are really beautifull when you sleep." Dia mengatakannya sambil masih membelai rambutku. Apa yang dia katakan cukup membuat wajahku memerah malu.
"So romantic," ujarku.
"Tapi next time mungkin aku bisa melakukan saranmu. m********i sambil melihatmu tidur," ledeknya.
Tawa kami kemudian meledak. "Shut up!" Pekikku di sela tawa sambil melempar bantal ke arahnya. Dia menangkapnya dengan mudah dan kemudian memelukku.
Kami lalu berbaring bersama dengan tangannya melingkar dari belakang memelukku. Aku menikmati saat-saat seperti ini. Bagaimana aku diperlakukan begitu manis. Sebuah lengan yang memelukku karna cinta, bukan hanya untuk mendapatkan apa yang ada di dalam celana dalamku. Rasanya aku ingin terus bersama Zach dan melupakan semua yang terjadi.
"Hei, apa yang kau pikirkan? Kau melamun lagi," ujarnya lembut di belakan kepalaku dan mengecupnya.
"Aku ingin menginap di sini. Bersamamu."
"Kalau begitu menginaplah. Kau tahu bahwa aku akan sangat senang dengan hal itu."
"But I can't," ujarku lirih.
"Why?"
Karna Louis akan melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan jika mengetahui aku punya seseorang yang aku cintai.
"Aku tidak akan membebankan Marie lagi untuk membohongiku," ujarku sambil tertawa pura-pura agar tidak membuat Zach khawatir.
"Kau benar. Sebenarnya aku tidak masalah untuk mengatakannya kepada ibumu. Aku akan jadi pria gentle datang ke rumahmu. Mengatakan kepada kedua orang tuamu. Dan bukankah kau bilang bahwa ibumu sedang tidak ada di rumah?"
Aku mengangguk. "Yeah, but my dad."
"Aku mengerti. Ayah protectif yang tidak ingin kehilangan putri yang dicintainya mendapatkan pria yang salah dan siap menembakan senapannya pada pria itu. Aku dapat meyakinkannya." Zach menaruh nada candaan di dalamnya.
Aku lagi-lagi tertawa dibuatnya. Zach selalu bisa membuatku tertawa dan itu adalah point terpenting.
"Bukan seperti itu. Dia ayah tiriku." Ujarku sambil memutar badan dan kami saling berhadapan sekarang.
Dahinya berkerut bingung. "Wow, aku tidak tahu."
"Kita memang saling tidak mengetahui satu sama lain bukan?"
Kalimat yang keluar dari bibirku itu membuat kami sama-sama terdiam sekarang. Kami sadar bahwa itu memang benar. Kita bersama tetapi seperti orang asing. Di lain pihak walaupun aku begitu ingin mengetahu tentangnya tetapi aku sadar bahwa aku tidak dapat menyalahkannya. Mengingat aku sendiripun tidak memberitahu banyak hal tentang diriku. Mungkin aku harus memulainya dan kemudian dia akan membuka diri juga.
Aku tersenyum menatap Zach dan menyisir rambutnya dengan tanganku. "Aku akan memberi tahu beberapa hal tentangku," ujarku.
Dia mengangguk. "Aku akan sangat senang mendengarkan."
"Well Ibuku adalah seorang model cukup terkenal dan tetap hot di usianya sekarang."
"Aku yakin kau jauh lebih hot darinya."
"Thankyou my hottie. Aku akan melanjutkan maka kuminta diam." Aku mencubit pipinya. "Ayahku adalah pengacara, tetapi dia telah tidak ada. Dan kemudian ibuku menikah dengan direktur perusahaan majalahnya. Dan pria ini hanya berbeda lima tahun dariku."
"Wow," ujar Zach terlihat cukup kaget.
"Yes, wow. Dan aku tidak suka pria ini." Zach tersenyum mendengarnya. "Kenapa kau tersenyum seperti itu?" Tanyaku bingung.
"Karna aku senang kau tidak menyukai pria yang hanya lima tahun lebih tua darimu itu."
"Oh tetapi dia sangat sexy. Aku akui," ledekku.
Alis mata Zach menaik dengan wajah sok tidak peduli. "Bagus. Berkencanlah saja dengannya."
Aku tertawa melihat ekspresinya. "Are you jealous?" Ledek ku.
"No."
"You jealous! I got it!" Aku tertawa.
Zach lalu tersenyum sambil memperhatikan tawaku. "Yah I'm jealous. Karna kau hanya boleh menjadi milikku." ujarnya makin lama makin pelan seiring dengan wajahnya yang mendekatiku dan lalu mencium bibirku.
Kami menautkan bibir kami sampai kemudian Zach memainkan lidahnya dan menyapu bibirku. Mendesak masuk ke lidahku juga. Perlahan tangannya menyusuri tubuhku dan turun meremas payudaraku sekali dari luar kausku. Kemudian tangannya turun kembali masuk melalui kausku dan meremas payudaraku lagi. Dengan satu hentakan dia memindahkan tubuhnya ke atas tubuhku sambil kami masih berciuman. Dia lalu mencoba melepas bajuku. Namun dengan sigap aku menghentikannya.
"Why?" Dia menatapku bingung.
"I have to go."
"Now?"
"Yeah. Ayah tiriku tidak akan senang kalau aku pulang larut apalagi sampai menginap." Aku mengataknnya dengan raut wajah menyesal.
Zach menghela nafas lalu membaringkan tubuhnya di sampingku. "Baiklah, aku akan mengantaru." Ujarnya dengan nada kecewa. "But.."
"But what?"
"Pekan ini ikutlah aku. Kita akan menyewa villa dan aku akan menceritakan beberapa hal tentangku."
Aku tersenyum mendengarnya. "Deal." Aku segera mendaratkan ciuman singkatku dibibirnya.
***
Aku membuka earphone yang menggantung di telingaku ketika memasuki rumah. Suasana rumah begitu hening membuatku bersyukur. Karna saat menuju ke sini aku membayangkan bagaimana Louis akan mengacaukan dengan sebuah pesta s*x. Saat melewati ruang tengah aku melihat sosok Louis terduduk di sofa dari belakang. Dia memakai kaus hitam yang membuat punggungnya terlihat begitu nyaman untuk bersender di sana. Entah apa yang aku pikirkan.
Aku berhenti sejenak untuk memperhatikan Louis dan mendengarkan apa ada desahan di sana. Mengingat apa yang dia lakukan di kantor tentu itu bukan hal yang mustahil. Tapi tidak ada apa-apa. Akhirnya aku memutuskan untuk mendekatinya karna penasaran apa yang dia lakukan kalau begitu. Dia duduk sambil meneguk bourbon dengan botol besar yang sekarang tinggal setengah. Matanya memerah dan aku tahu itu karna mabuk. Tetapi seharusnya minuman dengan julah seperti itu tidak membuat pria ini abuk. Tapi nyatanya wajahnya pucat dan cukup berkeringat. Bahkan dia seperti tidak menyadari keberadaanku dan tenggelam sendiri dalam dunianya. Akhirnya aku memilih untuk duduk di sofa sebrangnya. Aku menatapnya dari atas sampai bawah dan menyadari bahwa kaus hitam itu memperlihatkan abs nya. Dadanya yang bidang dan otot di lengannya. Membuatku menelan ludah tentunya. Tidak diakui Louis sangat attractive untuk seorang wanita. Begitu juga diriku. Tetapi mengingat dia adalah seorang yang b******k, ketampanannya tidak dapat empengaruhiku. Setidaknya aku berusaha untuk itu. Aku mengalihkan pandangananku pada apa yang Louis lakukan. Dia sedang menumbuk sebuah tablet di meja dan beberapa saat kemudian dengan sebuah alat pipa kecil dia menghirup serpihan obat itu. Setelahnya dia mendongak sambil meletakan kepalanya di bahu sofa. Dia memejamkan matanya. Dan aku mengerti apa yang terjadi saat ini. Melihat di meja ada banyak sekali serpihan obat. Dia seperti itu bukan karna mabuk."
"It's drug," ujarku sambil memijit kepala.
Louis menoleh padaku setelah menghirup obat-obatan itu lagi. "Yeah. Its make me high and fly."
"You are badguy," makiku.
Dia tersenyum licik. "I know."
"Aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya kau menutupi semua keburukanmu ini dari Mom." Aku mendengus jijik mengatakannya.
Seketika dia menatapku dengan begitu intens dan mengintiidasi. Dia menautkan tangannya sambil tersenyum dengan begitu licik. Mungkin obat-obatan itu telah mempengaruhinya. "Kau pikir ibu mu tidak mengetahuinya?"
Keningku berkerut bingung. "Apa maksudmu?"
"Poor little Als. Ibu mu tau semuanya Als. Semua yang aku lakukan. Semua keburukanku. Juga semua wanita yang aku tiduri. Tentunya kecuali kau. Jadi sebenarnya kalau kau mengancam untuk mengatakan pada ibumu. Aku rasanya ingin tertawa. Kau tahu, bahkan ibumu tahu tentangku yang kau tidak penah tahu."
Aku menelan ludahku mendengarnya. "Kau bohong."
"Dia juga melakukan hal yang sama sepertiku. Kau pikir pernikahan ini karna cinta? I like your mom, she is hot. But I never love her."
"L-lalu mengapa kau menikahinya?"
"Aku berhutang budi pada ayahmu."
"Hutang budi?" Semua ini jadi membuatku semakin bingung. Ada begitu banyak hal yang tidak aku ketahui. Setidaknya obat-obatan itu membuat Louis dapat mengungkapkan semuanya.
"Kau pernah berpikir kenapa ayahmu mati?"
"Kecelakaan. Aku tahu tentang itu," jawabku sigap.
Dia tertawa sinis. "It's your mother's story. The truth is someone murder him."
Aku menutup mulutku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. "You murder him?" Pekikku dengan begitu marah.
"Easy love. Tentu saja tidak. Dia terbunuh karna membantuku. Dia seorang pengacara yang hebat. Maka itu aku berhutang budi padanya."
"Hutang budi apa? Dia membantumu apa? Kenapa dia harus dibunuh? Sebenarnya kau ini siapa?"
Louis melempar sebuah kertas padaku. Aku membuka kertas tersebut yang ternyata adalah sebuah undangan. "Genevieve's party?" Tanyaku dengan dahi berkerut bingung.
"Besok ikutlah aku kesana dan kau akan tahu segalanya tentangku."
"Who the hell Genevieve?" Tanyaku ketus.
"My Ex Girlfriend."
Aku terdiam cukup lama mencerna semua yang terjadi saat ini. Bahkan aku tidak mengerti mengapa semuanya tiba-tiba jadi seperti ini. Ku tatap Louis yang masih saja menghirup obat-obatan itu setelah dia menghancurkannya menjadi serpihan. Kematian Dad, Mom yang menyimpan rahasia, dan Louis yang entah sebenarnya siapa. Terlalu banyak yang berputar di kepalaku.
"Louis, berikan juga obat-obatan itu padaku," ujarku memandang Louis dengan tatapan lurus.
Louis tersenyum mendengarnya. "Kau yakin little girl?"
"Ya, aku membutuhkannya. Semua ini terlalu membuatku bingung."
"Anything you want," Louis terlihat begitu senang.
(Sound)
Aku berjalan ke sofa tempatnya duduk. Louis meletakan serpihan obat itu di tangannya dan menyerahkan pipa kecil kepadaku. Kemudian aku menghirup obat itu. Rasanya aneh membuatku begitu pusing. Seperti ada sebuah lonceng besar berdengung di kepala sampai telingaku. Syarafku rasanya tertarik terus berkontraksi. Sekelilingku menjadi berputar. Termasuk Louis yang ada di depanku. Rasanya wajahnya lebbih dari satu saat ini. Keudian Louis memberikanku lagi obat itu dan aku menghirupnya berkali-kali. Dia tertawa puas melihatku. Setelahnya aku seperti melayang tinggi dan aku menemukan sebuah sensasi berbeda dari yang pernah aku rasakan. Isi kepalaku seakan pergi. Semua masalah itu seperti tidak lagi penting untukku saat ini.
Louis menyentuh wajahku dan kemudian mendaratkan bibirnya di bibirku. Kami berciuan dan dia memainkan lidahnya di sana. Tangannyanya memegang pinggangku meremasnya lembut. Lalu dengan perlahan dia membaringkanku di sofa. Louis menatapku sambil membuka kaus hitamnya. Aku tertegun menatap tubuhnya yang begitu sempurna di mataku. Entah kenapa saat ini rasanya aku begitu menginginkannya. Kubiarkan tanganku menjalar menyusuri daanya dan turun perlahan ke perutnya. Menyusuri otot-otot yang ada di badannya. Louis menghela nafas berkali-kali ketika aku melakukan itu. Dia menikmati bagaian aku menyentuhnya. Bagaimana aku terlihat menginginkannya saat itu.
Louis lalu mencium bibirku lagi dan turun ke leherku. Menyingkirkan rambutku agar dapat mengesksplor leher jenjangku. Aku mendesah menimatinya. Aku lalu membalik posisi jadi di atasnya dan membuka kausku. Menyisakan braku di sana dan kembali enciu Louis. Perlahan aku turun ke lehernya dan lalu dadanya dan perutnya. Aku menciumnya dengan perlahan. Berhenti di celananya, aku membuka celana itu. Louis lalu menarikku ke atas lagi dan menciumku sambil membuka bra yang tersisa dari ku.
Dalam satu hentakan dia membalik keadaan kembali dan aku yang berada di bawahnya sekarang. Dia melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan. Mengeksplor tubuhku dengan bibirnya. Leher jenjangku dan perlahan ke payudaraku. Dia meremas dengan tangannya dan membiarkan lidahnya bermain di putingku. Membuat apa yang ada di bawah benar-benar basah sekarang. Tidak begitu lama dia kembali menciumi tubuhku melewati perutku sampai ke bagian pinggulku. Dia berhenti sesaat menatapku yang mengerjapkan mata berkali-kali sambil mendesah. Louis tersenyum puas ketika aku terlihat begitu menikmati apa yang dia lakukan. Perlahan dia membuka celana yang masih tersisa dan menciumi apa yang ada di dalamnya.
"Ahh," desahku hebat ketika dia menjilat bagian sana.
Nafas Louis memburu ketika mendengarku seperti itu. Dia menarikku bangkit dan lalu menggendongku dan membawaku ke meja. Dia melempar dengan asal semua yang berada di meja. Dia membaringkanku sementara dia berdiri. Kemudian dala satu hentakan, miliknya sudah menerobos masuk di dalamku. Awalnya perlahan namun lama-lama dia memopanya dengan begitu cepat sambil menciumi leherku. Aku benar-benar merasa ngilu sekaligus nikmat secara bersamaan.
***
(Sound)
Sebuah music terdengar begitu keras dari kamar Genevieve. Genevieve berdiri di depan kaca riasnya, membuka box besar kotak make up berwarna merah muda dengan bling-bling dominan menghiasi. Kemudian dia memoles bibirnya dengan lipkit kylie keluaran terbaru. Dan memberi sentuhan terakhir mascara pada matanya. Sempurna adalah kata yang tepat untuknya saat ini. Dia berputar memerhatikan pakaian yang baru saja dia beli di paris dari designer ternama. Sebuah gaun super minim dengan punggung terbuka. Gadis itu lalu membiarkan rabutnya tergerai begitu saja. Hari ini adalahhari pertamanya kembali ke rumah tercinta setelah lia tahun menghilang begitu saja.
"Ginny, bisa kau kecilkan music itu?" Teriak Ashok dari ruang tengah. Bahkan suara music dari kamar gadis itu terdengar sampai ke ruang tengah padahal rumah itu sangat besar dan kamar gadis itu berada di lantai dua.
Genevieve mendengar suara kakaknya, segera keluar dan menuruni tangga dengan high heelsnya yang mebuat langkah gadis itu terdengar. Beberapa bodyguard berdiri di sisi tangga menunggunya turun. Ashok yang sedang mebaca koran kemudian menoleh ke balik sofa dimana adiknya berada dengan penampilan yang sudah siap akan pergi.
"Mau kemana kau?" Tanyanya santai.
"Club. I'm f*****g bored in here."
Ashok menghela nafasnya dan menggelengkan kepalanya. "Kau bahkan baru di sini sekitar enam jam yang lalu."
"Enam jam untuk diam di rumah itu waktu yang sangat lama, Ashok."
"Jadi kau tidak merindukan kakakmu ini setelah lia tahun kembali."
"Ouh. Kau tahu aku sangat merindukanmu, brother. Tapi tentu kau tidak mau adik kesayanganmu ini akan mati karna bosan." Genevieve memberikan senyuman terbaiknya yang selalu dia gunakan ketika membujuk kakaknya seperti saat ini.
Ashok memutar bola matanya. "Baiklah. Tapi jangan lupa bahwa besok alam ada pesta menyambut kembalinya kau."
"Tentu. Pesta yang dihadiri teman bisnismu?"
"Ya."
"Wow akan ada banyak sekali jutawan penjahat negara," sarkas gadis itu masih dengan tetap wajah tersenyum seperti yang dia katakan bukanlah hal yang buruk. "Aku akan sangat senang sebagai adik dari pemilik pertambangan yang memiliki banyak hal illegal di dalamnya," sarkas Genevieve lagi.
"Setidaknya kau harus ingat bahwa karna itu semua membiayai semua barang mahal yang kau kenakan dari atas sampai bawah. Dan juga pesawat sering kau pakai seenaknya itu."
"Tentu. Maka itu aku suka sekali menjadi diriku. I love my self."
Ashok terkekeh mendengarnya. Typicall khas Genevieve. "Well Salah satu penjahat jutawan yang kau katakan, tentu aka nada mereka di dalamnya." Mendengar itu membuat Genevieve terdiam sesaat. Ashok menoleh menyadari reaksi perubahan adiknya. "Apa kau ingin aku membatalkan undangannya?" Tanya Ashok hati-hati melihat raut wajah adiknya itu.
Genevieve mengerjapkan matanya sekali dan kemudian menyingkirkan wajah termenungnya diganti dengan senyuan percaya diri khas gadis itu. "Tidak perlu. Lima tahun membuat aku merindukan kakak adik itu. I really miss Louis and Zach," ujarnya tersenyum licik.
***