5

2309 Words
Setelah selesai membilas tubuhku, aku keluar dari bath up dan mematikan shower yang masih mengucur. Aku mengambil handuk yang berada di gantungan dan mengeringkan rambutku. Menoleh ke kanan sedikit ada sebuah jubah mandi yang aku pastikan itu milik Zach. Tidak ada pilihan lain, akhirnya aku memakai itu. Jubah mandi itu terlalu besar untuk tubuhku, membuatnya terlihat aneh. Tetapi aku dapat mencium harum tubuh Zach dalam jubah mandi ini, dan tanpa sadar membuatku tersenyum. Ku langkahkan kakiku keluar kamar mandi dan melihat kasur bahwa Zach sudah tidak ada di sana. Pintu kamar telah terbuka dengan sinar matahari yang sepertinya sudah memenuhi seluruh apartement ini. Ku langkahkan kakiku lagi mencari ke beradaan Zach sambil memperhatikan apartement ini lebih detail. Suasananya benar-benar terasa hangat dan nyaman. Namun aku merasakan kesepian di setiap sisinya. Mungkin karna membayangkan bagaimana Zach harus tinggal di tempat sebesar ini setiap harinya seorang diri. Terdengar suara dari dapur. Pun aku buru-buru menuju tempat itu. Di sana ku temukan Zach sedang memotong bawang atau sayuran atau apapun yang tidak aku ketahui jelas. Kemudian dia memasukan beberapa bahan ke panci dan penggorengan sebelahnya dengan begitu telaten. Aku cukup terkagum dengan hal itu. "Hi, rupanya sudah bangun sleepyhead." Sapanya sambil tetap fokus dengan apa yang dia masak. Well memasak membuatnya semakin terlihat hot. "Apa yang kau lakukan?" Tanyaku sambil berdiri di depannya, namun masih terhalang sebuah meja tempatnya memasak. "Cooking. Kau pasti lapar karna semalam tentu saja," katanya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Aku hanya memutar bola mata melihatnya melakukan itu. "Well aku memasak karna merasa bertanggung jawab dengan perutmu. Kau suka Telur?" Aku mengangguk. "Tentu. Jadi apa kau akan membuat telur rebus? Telur dadar?" "Yak selesai!" Ujar Zach dengan semangat. Lalu melewatiku membawa Teflon yang di alasi ke meja makan. "Shirred eggs with vegetable hash and smoked cheddar." Aku berjalan menuju meja makan dan melihat apa yang dia buat. Mataku membelalak dan huruf o besar terbentuk di bibirku. "Wow, aku bahkan tidak tahu apa yang kau sebutkan tadi. Tapi ini sungguh terlihat lezat," ujarku kagum. Zach tersenyum dengan sangat manis kepadaku. "Kalau begitu, ayo makan nona. Tapi sebelumnya kau bisa mengganti bajumu dengan yang di sofa. Aku sudah menyuruh asistenku melakukannya. Maaf jika tidak sesuai dengan seleramu." Aku segera mengganti baju yang disiapkan. Tidak buruk juga. Kemudian kami segera menyantap makanan yang ternyata memang lezat ini. "Sebuah kejutan lagi. Ternyata kau bisa memasak. Tampan, kaya dan bisa memasak." pujiku. "Apa kau baru saja menyebutku tampan?" Ledeknya tersenyum licik. Aku terkekeh. "Hentikan itu! Ya kau memang sangat hebat dan berhenti menikmati itu." Zach tertawa puas mendengarku yang mengakui hal itu. "Mom dan Dad dulu sangat sibuk dan kami punya semacam koki di rumah. Aku dan kakakku dari kecil sering menghabiskan waktu untuk memperhatikan bagaimana koki itu memasak. Semua anak kecil tertarik dengan makanan lezat. Lama kelamaan kami mengusainya dan seiring berjalannya waktu kami tidak memerlukan koki lagi. Dan itu sangat membantu saat aku tinggal sendiri seperti ini." Aku mengerutkan dahiku. "Wait, kau punya kakak?" Zach terlihat terkejut dengan apa yang aku tanyakan. Wajanya menunjukan bahwa tidak seharusnya dia menceritakan hal itu. Dia mengangguk ragu. "Ya," jawabnya singkat. "Lalu kemana dia? Maksudku,sebelumnya kau mengatakan bahwa kedua orang tua mu telah tiada. Tapi kau tidak mengatakan bahwa kakakmu juga. Dia masih hidup bukan?" Zach terlihat ragu menjawabnya. Sementara itu semakin membuatku penasaran. Zach mengangguk tanpa mengatakan apapun. "Lalu kemana dia? Kenapa dia tidak ada di sini? Kenapa kau tidak membahasnya sebelumnya" Tanyaku lagi. Kali ini Zach benar-benar terdiam cukup lama. Entah apa yang dia pikirkan. Tataspannya kosong. Lalu dia menghela nafasnya. "Kami saling membenci," ujarnya lirih. Kemudian dia menatapku dan tersenyum sendu. "Kami tidak ingin saling bertemu." Aku seperti menemukan jawaban atas kesedihan dan kesepian dari dalam mata Zach selama ini. Tetapi di sisi lain membuatku semakin banyak pertanyaan mengenainya. Semakin banyak teka-teki dalam dirinya yang begitu ingin aku ketahui. Tapi di sisi lain aku merasa sudah keterlaluan mencampuri sejauh ini. "Maaf, seharusnya aku tidak bertanya seperti itu. Maafkan aku," ujarku menyesal. "Its ok, aku menjawabnya. Itu berarti aku tidak apa kau mengetahuinya." Kali ini dahiku berkerut bingung. "Kenapa?" Zach bangkit dari tempat duduknya dan duduk di sampingku. Kemudian dia membelai rambutku lembut sambil menatapku intens. "Might be because I love you." Aku menelan ludahku ketika dia mengatakan itu. "A-are you serious?" Tanyaku terbata-bata dengan kikuk. "Aku tahu ini terlalu cepat. Aku tahu kau pasti tidak merasakannya. Maafkan aku. Tetapi aku hanya ingin kau mengetahui bahwa apa yang kita lakukan semalam bukan hanya karna aku menginginkan tubuhmu. I love you." Tanpa sadar aku tersenyum begitu bahagia. Entah mengapa rasanya beban di hatiku terangkat. Segala pertanyaan yang ada di kepalaku kemarin malam tentang apa yang dia katakan terjawab. Aku menyentuh wajahnya lembut. "I love you too." Dia tersenyum begitu bahagia mendengar apa yang aku katakan. Rasanya debaran di dadaku begitu kencang dan kupu-kupu menari di perutku. Dia menatapku intens dan mendekatkan wajahnya padaku. Aku menutup mataku dan beberapa saat kemudian bibirnya mendarat dibibirku. Dia menautkan bibirnya dengan begitu lembut. Berbeda dengan apa yang biasa Louis lakukan. Tetapi semua itu terhenti begitu cepat ketika handphoneku terus berdering. Aku merasa canggung dan buru-buru mengangkatnya ketika menemukan nama Marie di layar. "Hi, wazzap!" Sapaku. "Oh my God Als! Akhirnya kau mengangkat teleponku. Kau tidak tahu bahwa aku telah menelponmu ribuan kali?" Ujar Marie terdengar begitu panik. "Ok Marrie, sorry. What happen?" "You ask me what happen? Als, Kau harus mengecek handphonemu. Selain panggilan dariku pasti banyak sekali panggilan dari ibumu dan ayah tirimu yang super sexy itu." Mendengarnya aku menepuk pelan kepalaku. "Oh God!" Pekikku tahu sekarang dimana masalahku. Zach duduk di sofa sambil menatapku yang sedang berdiri dengan paniknya. "Aku tidak pulang dan aku tidak memberi tahu mereka. Gawat! Mereka pasti mencariku!" "Ya! Mereka terus menelponku pagi ini. Dan mengirimiku pesan menanyakan dimana dirimu." "Apa kau mengangkatnya?" "Tidak." "Bagus Marie!" Ujarku semangat menemukan titik terang. "Apa maksudmu dengan bagus?" Dari nada suaranya, Marie terdengar bingung. "Alana, Apa aku harus menjelaskan pada kedua orang tuamu?" Tanya Zach terdengar khawatir karna mengetahui masalahku. "Hei Als! Apa itu tadi suara Zach! Aku mendengar suaranya. Oh Tuhan, apa kau benar-benar sedang bersama si hot itu?" Marie terdengar benar-benar antusias. "Yes, it is him!" Jawabku ragu. "Als, jangan bilang kau menginap di tempatnya. Benarkah? Bagaimana bisa? Oh Tuhan ceritakan padaku!" "Dengarkan aku Marie, aku akan menjelaskannya padamu nanti di kampus. Sekarang kau hanya perlu bilang pada orang tuaku bahwa aku menginap di rumahmu dan maaf baru membuka handphone. Ok bye!" Aku segera menutup telepon Marie. Sekarang aku kembali pada Zach yang terlihat begitu khawatir. "Well Zach. Kau tidak perlu mengatakan apapun pada kedua orang tuaku." Aku duduk di sampingnya. "Benarkah? Tidak apa, Als. Aku bertanggung jawab tentang hal ini." Aku menggelengkan kepalaku. "No, everything will be ok." Zach tersenyum mendengarku lalu mengulurkan lengannya dan mendekapku. Aku berada dipelukannya dan dia mengelus lembut rambutku. "Sekarang ayo kita kuliah." "Baiklah, aku akan mengambil jaket dahulu." Zach bangkit mengambil jaket. Pun aku menunggu pria itu kembali. Mataku meliar menatap ruangan ini. Dan tiba-tiba terdengar bunyi pip berkali-kali. Ku teliti itu ternyata dari sebuah laptop. Aku mendekat dan melihat yang tertulis dilayar. Deep web. Aku mengerutkan kening bertanya apa itu Deep web. Lalu mengklik tombol enter muncul sebuah pop up pesan dari layarnya. "Alana, apa yang aku lakukan!" Suara Zach cukup mengagetkanku. "Aku hanya melihat laptop itu. Tadi ada sebuah pesan," ujarku. Dia terlihat panik dan marah. Dia berjalan mendekatiku dan mengambil laptop itu. Dia membuka pesan yang ada. Dan menggemeretakan giginya kesal. Kemudian dia mengetik beberapa hal yang aku perkirakan seperti balasan. Setelahnya dia menatapku. Aku tahu dia sangat marah dan itu cukup membuatku takut. "Jangan lakukan itu lagi." Ujarnya dingin. Dia berusaha menahan amarahnya padaku. Aku hanya mengangguk. Lalu kemudian dia bangkit. "Sekarang ayo, aku akan mengantarmu ke kampus." "Hanya mengantar?" Tanyaku bingung. "Ya, aku tidak dapat masuk kelas hari ini. Aku ada urusan." Setelah mengatakan itu kami keluar menuju lift untuk turun ke tempat dimana Zach memarkirkan mobilnya. Awalnya dia hanya diam membisu begitu juga aku. Namun lama tiba-tiba dia menautkan tangannya padaku dan menggenggam tanganku dengan hangat. Dia mengelus punggung tanganku dengan ibu jarinya. Tapi apa yang tertulis di laptop itu masih teringat jelas di kepalaku. I need a gun - 3Box. And we have to meet. New job. *** Marie berjalan ke arah bangku yang telah kami tepati sambil membawa pesanannya. Cafetaria hari ini cukup ramai mengingat ada sekelompok wanita yang dikelilingi oleh pesuruh-pesuruh atau pria bodoh yang siap melakukan apa saja untuk mereka. Mereka duduk tidak jauh dari kami dengan suara tawa yang disengajakan menggelegar. "Mereka sangat mengganggu," ujarku ketus. Marie mengedikan bahunya. "Aku sependapat. Tetapi bagaimanapun Melissa adalah Queen bee." "Typicall mean girls dalam film-film. Aku masih belum mengerti mengapa dia begitu populer," sarkasku sambil menyuapkan makanan yang telah aku beli. "Well mungkin karna dia selalu memakai semen untuk riasannya dan menggunakan pakaian dalam saat kuliah," sarkas Marie. Aku tertawa mendengarnya. Pengandaian Marie benar-benar ekstrim dan aku akui itu cukup mengambarkan Melissa dan teman-temannya. "Tapi tentu yang paling membuatnya terkenal adalah karna dia adalah piala bergilir. Dapat ditiduri oleh semua pria populer dan tampan di kampus ini. Bahkan kalau perlu dia menawarkan diri lalu menyebarkan dengan bangganya." Aku mengedikan bahuku. "Tapi dia memang sexy," akui ku. Marie memutar bola matanya. "Kau lebih baik dari segala sisi dari pada dia." Aku terkekeh. "Lagipula aku tidak mau dibandingkan dengannya." "Oh ya dan satu lagi! Kau harus tahu mengapa dia semakin terkenal saat ini. Dia mengatakan kepada semua orang bahwa dia telah bercinta dengan si hot Zach. Euw pembual!" Marie berkata dengan sinis menatap wanita itu. Aku semakin terkekeh dibuatnya. "Well sebenarnya dia tidak bohong, Marie. Aku melihatnya di hari pertama Zach masuk ke kampus. Mereka bercinta di kamar mandi," ujarku santai. Mendengarnya mulut Marie membentuk huruf o besar. "Jadi dia tidak berbohong? Oh Tuhan menyebalkan sekali! Lagipula kenapa Zach mau tidur dengan wanita itu." Marie mencak-mencak sambil menatap Melissa dan gerombolannya sinis. "Melissa memaksa Zach. Terus menggoda dan nyaris mempermalukannya. Well dia terus meremas p***s Zach." Kali ini Marie menutup mulutnya kaget. "Oh My God! Its suck!" Aku mengangguk. "Dan Zach menyuruhnya pergi begitu saja setelah selesai bercinta. Mungkin karna aku juga melihat mereka. Entahlah, tetapi sungguh itu begitu lucu." "Rasakan itu b***h!" Marie tertawa puas. Tetapi tiba-tiba dia diam dan menatapku. "Well tunggu dulu! Kau berhutang penjelasan tentang pria yang berbicara saat aku menelponmu. Apa benar itu suara Zach?" Aku mengangguk. "Kau di rumahnya?" Aku mengangguk lagi. "Jangan bilang kau menginap di sana?" Aku mengangguk sekali lagi. "What? Bagaimana bisa? Please katakan kalian bercinta. Itu akan membuat kau mengalakan si b***h Melissa itu!" Kata Marie mengebu-ngebu. Mendengar Marie yang berbicara mengebu-ngebu membuat aku sulit berbicara. Aku cukup bingung harus menceritakannya atau tidak. Tapi mengingat dia adalah sahabat baikku dan dia telah menolongku maka aku harus menceritakannya. "Ya. Kau ingat kami satu kelompok pembuatan makalah? Aku mengerjakannya dan itu terjadi begitu saja." "Yes!" Marie mengepalkan tangannya ke udara. "Jadi kau melakukan cara apa? Sama seperti Melissa atau bagaimana?" Aku menggeleng. "Aku tidak melakukan itu. Semua terjadi begitu saja." "Oh my God! Aku mulai menyukai semua ini. Jelas jalang itu kalah total!" Aku menahan nafas sebelum yakin untuk mengatakan yang berikutnya. "And he told he loves me." Marie terdiam beberapa detik karna kaget dengan apa yang aku katakana. Dia seperti mencerna baik-baik seluruh kalimatku. "More better and better," ujarnya tidak lagi dengan mengebu-ngebu tetapi kali ini bahkan sulit menatakan apapun. *** My sweety Als, mom ada pemotretan selama beberapa hari di luar kota. Jadi tidak pulang ke rumah. Tolong pulang kampus kau antarkan dokumen yang ada di meja samping tv ke kantor Dad. Dia lupa membawanya. Membaca apa yang tertulis di pesan masukku membuatku berteriak kesal sehingga menggema di seisi rumah yang saat itu benar-benar sepi. Aku melemparkan tubuhku ke sofa karna begitu lelah sepulang dari kuliah. Ku lihat layar handphone sama sekali tidak ada chat masuk atau panggilan dari Zach. Terakhir kali kami berhubungan adalah saat aku menginap dan dia mengantarku ke kampus. Sudah sekitar empat hari dia tidak masuk kampus dan juga tidak menghubungiku. Aku jadi berpikir bahwa dia hanyamempermainkanku. Tetapi di sisi lain aku juga cukup mengkhawatirkannya mengingat pesan yang aku lihat saat itu di laptopnya. Tetapi aku berpikir lagi mungkin itu semacam game yang sedang dia mainkan atau aku hanya salah lihat. Yang terpenting sekarang adalah aku harus mengantarkan dokumen ke tempat Louis. Segera aku ambil kunci mobil dan meluncur menuju kantornya. Hari itu cuaca tidak panas karna kebetulan sudah memasuki musim gugur dan itu berarti aka nada musim dingin. Sekitar sejam aku sampai ke sebuah kantor majalah fashion yang cukup terkenal. Semua yang ada di kantor itu telah mengetahui bahwa aku adalah anak tiri dari direktur perusahaan mereka dan juga salah satu model senior di sana. Dan aku juga sudah sering berada di sini dulu sebelum Mom dan Louis menikah. Jadi tidak sulit untukku menemukan dimana ruangan Louis. "Selamat siang Nona Alana," sapa resepsionist yang berada di depan ruangan Louis. "Apa Louis ada di dalam? Aku harus mengantarkan ini." Aku menunjukan amplop coklat yang entah berisi dokumen apa. Resepsionist wanita itu tiba-tiba terlihat panik. "K-kau bisa meninggalkannya di sini Nona. Dan aku akan memberikannya pada Tuan Louis." "Maksudmu dia tidak ada di dalam?" Tanyaku sambil mengerutkan kening bingung. "A-ada," jawab wanita itu terbata-bata. "Aku bisa mengantarnya sendiri," ujarku. "Tapi Nona, Tuan Louis sedang ada pertemuan penting di dalam." Aku terdiam sejenak. "Rapat?" "Tidak. Maksudku iya. Tidak, semacam pertemuan individu." Aku mengangguk. "Oh pertemuan deal bisnis. Baiklah." Aku lalu menyerahkan amplop coklat tersebut. Tetapi ketika baru saja aku mau menyerahkannya, ada bunyi benda terjatuh dari ruangan Louis yang cukup kencang. Aku buru-buru mendekat pintunya dan wanita resepsionist itu terlihat panik. Itu semua semakin membuat keingin tahuanku meningkat. Aku menempelkan kuping baik-baik ke telinga dan mendengar suara-suara aneh. Perlahan aku buka pintu pelan-pelan untuk mengintip.Dan menemukan sesuatu yang cukup mengagetkanku. "Oh s**t!" Makiku kemudian masuk dan menutup pintunya kencang. Aku menaruh tanganku di pinggang dengan tatapan mengintimidasi Louis. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD