PARTE 4

2202 Words
Shawn mengalihkan fokus dari komputernya ke Namira saat mendengar suara perempuan itu. Namira sudah bangun. Ia memegangi kepalanya kemudian dengan mata menyipit ia terlihat menyisir seluruh ruangan. Namira pasti sedang memikirkan di mana dirinya berada saat ini. "Kamu udah bangun?" suara berat itu memaksa semua kesadaran Namira untuk segera menyatu. Namira langsung duduk kemudian dengan mata membesar menyisir sekali lagi ruangan tempatnya kini berada. Namira ingin memastikan kalau dia tidak salah lihat. Ya Allah. Apa ini arti dari mimpinya tadi? Tadi Namira mimpi dia berada di tempat yang dipenuhi awan. Tempatnya sangat bagus. Namira pikir dia sudah berada di surga. Apa ini surga? Ruangan Shawn. Yang benar saja. Bisakah hidupnya lebih menyedihkan daripada ini? Tak cukup sampai di sana. Kini mata Namira menatap nanar jas Shawn yang ada di pahanya. Jadi tadi dia tidur dengan jas itu? Tangan Namira bergetar. Berapa harga jas ini? 50 juta? 100 juta? Apa Namira harus menjual ginjalnya saja untuk mengganti kemeja dan jas bosnya ini? Oke. Kesialan Namira belum habis. Rasanya seperti disambar petir saat Namira melihat ada noda merah pada jas bosnya itu. Apa itu? Darah? JANGAN BILANG ITU DARAH MENS NYA?! "Pak sa-saya.." Namira bahkan tak punya kekuatan untuk sekedar bicara. Lidahnya kelu. Shawn bangkit dari duduknya kemudian menghampiri Namira. Oke. Namira sepertinya memang harus menjual ginjalnya atau setengah dari hatinya. Lalu dia akan ke dukun untuk minta ingatannya dihilangkan. Namira tak hanya takut tapi juga malu. Apa itu tadi alasan Shawn memberikan jas ini padanya? Namira ingin menjual wajahnya. Apa ada yang ingin membelinya? "Ini minum dulu tehnya. Masih lumayan hangat.." Shawn menyerahkan segelas teh pada Namira. Untuk beberapa detik Namira melongo dulu. "Ini, tadi dibeliin sama Natali.." Tehnya belum masuk ke dalam mulut Namira, tapi Namira sudah tersedak saat melihat apa yang Shawn serahkan padanya. Namira sungguh tak tahu lagi bagaimana bentuk mukanya saat ini. Apa dia bahkan masih punya muka? "Kamu nggak usah malu gitu. Saya biasa sama beginian. Saya punya dua saudara perempuan dan saya biasa beliin buat mereka." Shawn agaknya bisa membaca isi kepala Namira. "Ma-makasih, Pak." Hanya itu yang bisa Namira ucapkan. Untung-untung dia masih bisa bersuara. "Gimana perut kamu? Masih sakit kayak tadi? Apa perlu ke dokter?" Namira menggeleng. "Udah baikan, Pak." "Kamu ganti baju dulu.." Shawn menyerahkan sebuah paper bag pada Namira. Ia kemudian beranjak menuju ke luar ruangan. Entah ke mana dia. Namira langsung menjambak rambutnya begitu Shawn pergi. Tak lupa Namira juga memaki kebodohannya. Bagaimana dia akan menghadapi Shawn setelah ini? Astaghfirullah. Bahkan Natali pun tahu. Namira benar-benar tak punya muka lagi jika nanti bertemu dengan Natali. Apakah ada pintu keluar lain dari ruangan ini hingga dia tak perlu bertemu dengan Natali di depan? "Ya Allah Namira. Kebodohan kamu nggak bisa dimaafkan lagi.." Namira berujar lemah. ... Namira menatap dirinya di depan kaca. Dia sudah mengganti bajunya. Dengan ekspresi loyo Namira menatap noda darah pada jas Shawn. Dia harus apa sekarang? Apa dia mengemis saja pada Shawn. Memohon agar dia bisa mengembalikan kemeja dan jas Shawn tanpa dicuci dulu. Namira tak sanggup membayangkan lembar-lembar rupiah yang harus ia bayarkan pada pihak laundry. Dan baju yang kini dikenakkannya. Namira juga harus mengganti uangnya pada Shawn. Berapa harga baju satu set ini? Namira memandangi lagi dirinya dari atas ke bawah lalu kembali ke atas. Bahkan mengenakkan baju ini saja dirinya tak pantas. Sangat tidak cocok. Mungkin Natali yang membelikan karena model yang ia kenakan persis seperti style yang Natali biasa gunakan. Rok 3/4 dan blouse. Bahannya sangat halus dan lembut. Namira menghela napas sembari menyeka keringat di dahinya. "Ya Allah, ini berapa harganya?" keluh perempuan itu. "Gimana perut kamu, Mira?" Natali ternyata ada di dalam ruangan. Entah sejak kapan dia ada di sana. Tapi Shawn sepertinya belum kembali. "Udah lumayan, Kak. Makasih ya udah nolongin aku." Natali tersenyum. "Pas kan bajunya? Nggak kegedean atau kekecilan?" Namira menggeleng. Badannya memang standar. Tidak besar dan tidak kecil. Tidak terlalu susah mencari baju untuknya. Ukurannya tak jauh beda dengan badan Natali. Meski Natali lebih ramping. Badan Natali sih tak bisa dilawan. Jika bukan sekretaris, Natali pasti sudah menjadi seorang model. "Maaf Kak mau tanya, i-ini harganya berapa?" Natali masih tersenyum. "Saya nggak tau. Tanya Pak Shawn aja ya." Natali kemudian pamit keluar bersamaan dengan Shawn memasuki ruangan. "Kamu udah makan?" tanya Shawn tanpa babibu begitu dia masuk. "Sepertinya belum. Yaudah sekalian. Saya juga belum makan. Kamu ikut saya." "Hah?" "Buruan. Perut saya udah lapar." Namira tak diberi waktu untuk berpikir. Dengan kebingungan disertai ekspresi bodoh, Namira mengejar langkah Shawn. Namira bahkan tak sempat memikirkan semua kecemasannya tadi. ... Namira memperhatikan sekelilingnya. Ia pikir Theo akan ikut makan dengan mereka karena biasanya Shawn selalu dengan Theo ke manapun dia pergi. Namira bahkan pernah berpikir Theo ikut menunggui Shawn di depan pintu kamar mandi. Tapi tidak. Theo tidak ikut. Mereka hanya berdua. "Kenapa? Nggak suka?" Shawn membuyarkan lamunan Namira. Perempuan itu langsung menggeleng. Jelas dia suka. Dari aromanya saja sudah menggugah selera. Masalahnya Namira tak bisa makan dengan pisau apalagi sumpit. Bisa makan dengan sendok dan garpu saja sudah syukur. Biasanya juga pakai tangan. Sepertinya dari semua sejarah yang ada, Namira adalah sosok paling miskin. Hmmm. 'Bicara apa kamu Namira?' "Terus kenapa kamu malah bengong gitu?" "Hmm, Pak, ada sendok sama garpu nggak di sini? Saya nggak bisa makan pakai ini apalagi ini.." Shawn hampir saja menyemburkan tawanya. Namira tahu Shawn ingin menertawakannya. Tapi mau bagaimana lagi? Kalau untuk ini sih Namira tidak malu. Nyatanya dia memang dari kampung. "Sebentar.." Shawn mengendalikan dirinya. Pria itu kemudian menarik sebuah laci tersembunyi yang terletak di bagian samping meja. Di sana ada banyak peralatan makan seperti sendok, garpu, sumpit, pisau dan piring kecil. "Ambil aja kamu butuhnya apa.." "Oh, makasih, Pak.." Namira mengambil sendok dan garpu. "Kenapa lagi?" tanya Shawn karena Namira masih belum menyentuh makanannya. "Ini semua udah bisa dimakan, Pak?" "Ya, bisa. Emang kamu pikir saya dari tadi ngapain?" Namira akhirnya tersenyum. Senyum pertama yang Shawn lihat dari perempuan itu. Ia pikir Namira tak bisa tersenyum karena setiap bertemu dengannya yang Namira tunjukkan hanya wajah datar dan kadang ia menunduk dalam. Padahal Shawn bukan tipe bos yang kejam. Tapi kenapa Namira terlihat sangat takut padanya? "Perut kamu beneran udah nggak sakit?" Namira mengangguk. Dia terlihat menikmati makanannya. Jarang-jarang kan makan enak. "Eh tunggu," Namira baru ingat sesuatu. "Hm, ini nanti Bapak nggak nyuruh saya bayar setengah kan?" Shawn melongo beberapa detik sebelum tawanya pecah. Akhirnya Shawn tak bisa menahan tawanya. "Ya Allah Namira. Kamu pikir saya ini apa? Masa saya suruh kamu bayar setengah. Yang makan saya ngapain kamu yang bayar?" Shawn geleng-geleng. Namira ini memang polos atau bagaimana? "Ya, kan saya ikut makan juga, Pak. Biasanya kalau makan bareng kan bayarnya dibagi.." ya begitulah yang Namira tahu. Tapi kalau makan dengan bos Namira tidak tahu bagaimana sistemnya. Ini pertama kali dia makan dengan Bos. "Emang kamu kalau makan sama Supervisor kamu bayarnya di split juga?" "Hah? Oh, nggak tau, Pak. Saya nggak pernah ikut makan siang sama temen-temen divisi soalnya." "Kenapa?" tanya Shawn refleks. "Hngg.." privasi. Namira memilih untuk tidak menjawab. Tak mungkin dia bilang pada Shawn demi berhemat. Gaji yang dibayar perusahaan sebenarnya lebih dari cukup. Ya, jika Namira punya kehidupan yang normal. Sayangnya Namira harus sisihkan 60 persen dari gajinya untuk mencicil hutang. 20 persen untuk dikirim ke nenek dan sisa 20 lagi adalah untuknya. Untuk bayar uang sewa dan untuk makan selama satu bulan. "Kamu nggak dikucilin kan di divisi kamu?" Namira melotot. Ia langsung menggeleng. "Nggak, Pak. Temen-temen di divisi baik-baik semua sama saya. Baik banget malah." "Terus ngapain kamu selalu menyendiri makan di taman? Ngendap-ngendap kayak maling. Takut banget makanannya dimintai orang?" "Ih Bapak, saya orangnya nggak pelit. Kalau emang ada yang mau ya saya kasih." "Kamu aja makanannya nggak sehat." Namira menatap bosnya itu dengan agak kesal. Mana sempat Namira memikirkan sehat dan tidak sehat. Shawn tak akan pernah mengerti kehidupannya. Jadi Namira tak perlu menjelaskan dia berada dalam kehidupan yang seperti apa. "Boleh saya nanya, Pak?" "Boleh.." "Hmmm, baju kemeja Bapak sama jasnya boleh nggak saya balikinnya dua minggu lagi." "Hah?" Kening Shawn mengerut sempurna. "Kemeja apa?" "Kemeja yang kemarin Bapak pinjamin ke saya. Sama jas yang tadi saya pakai.." Shawn tampak berpikir. "Oh itu. Kenapa emangnya?" Mampus. Masa Namira harus mengatakan kalau dia tidak punya uang untuk bayar laundry. "Yaudah terserah kamu. Nggak dibalikin juga nggak apa-apa. Saya malah udah lupa.." Namira tidak salah dengar kan? Tunggu. Namira kemudian mencubit lengannya dan sakit. Perempuan itu mengernyit. "Ngapain kamu?" tanya Shawn yang melihat kelakuan aneh pegawainya. "Hmm, Pak, jadi gini," Namira menjeda. Shawn sambil mengunyah memandangi Namira. Bukannya menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan, Namira malah salah tingkah karena Shawn memandanginya. Apa Shawn tidak tahu kalau jantung Namira saat ini jumpalitan? Kenapa Shawn harus memandanginya? Namira tak sanggup. Astaga. Ma-mata Shawn terlalu indah. Namira langsung gugup dan menundukkan wajahnya. Wajah Namira memerah seperti kepiting rebus. 'Apa ini semua nyata?' Namira membatin. Namira tak percaya kalau kini yang ada di depannya benar-benar Shawn. Bagaimana jika ternyata dia hanya berhalusinasi? Atau jangan-jangan sebenarnya tadi dia terjatuh dan kepalanya membentur sesuatu hingga ia koma dan sebenarnya kini tubuhnya sedang terbaring di rumah sakit. "Jadi gimana?" tanya Shawn menyentak Namira dari lamunan. Namira menatap bosnya itu. "Bapak asli atau palsu?" "Hah?" Shawn otomatis melongo. "Maksudnya?" "Suaranya sih asli. Atau jangan-jangan emang gini ya kalau orang dalam kondisi koma. Semuanya terasa nyata makanya banyak yang malas kembali ke tubuhnya?" Namira mulai berasumsi sendiri. Shawn yang bingung dengan sikap aneh pegawainya itu lantas mengambil sendok lalu memukul pelan kepala Namira dan perempuan itu mengaduh pelan. "Kok saya dipukul, Pak?" "Ya kamu dari tadi ha hi hu ya saya bingung. Kamu mau tanya apa sebenarnya? Kalau kamu tanya saya asli atau palsu ya asli. Saya nggak ada tiruannya. Susah kalau mau niru saya." Gantian Namira yang bingung. Sepertinya ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Entah mereka terlalu pintar atau mereka berdua sama-sama bodoh saja. Shawn kemudian tertawa. "Saya serius tanya sama kamu, Namira Syarina. Kamu kalau kerja nggak gini juga kan?" "Gimana?" "Lola. Kebanyakan ha hi hu." "Enggaklah." "Syukurlah." Shawn mengurut dadanya. Namira terdiam tiba-tiba. Apa tadi Shawn menyebut nama lengkapnya? Apa Shawn tahu nama lengkapnya? Benarkah? "Ba-Bapak tau nama panjang saya?" "Tau. Kenapa?" tanya Shawn santai. Memang orang ganteng kebanyakan tidak punya perasaan. Bisa-bisanya bertanya sesantai itu padahal kondisi jantung lawan sudah terkewer-kewer. Namira menggeleng. Ia kemudian kembali menunduk dan makan dalam diam. "Kan kamu jadi pendiam lagi. Saya nggak asyik ya buat diajak ngobrol?" "Hah?" Namira otomatis mengangkat wajah. Kenapa Shawn bisa berpikiran begitu? Shawn memandangi perempuan biasa yang duduk di seberangnya itu. Perempuan pertama yang diajaknya makan berdua selain Bunda tercinta, Quin, Yasmine, Alinka dan Naomi tentunya. Bisa dibilang Namira satu-satunya perempuan asing yang Shawn ajak makan. Shawn juga baru sadar. "Kenapa Bapak mikir gitu? Asyik kok, Pak. Tapi saya--" Namira menjeda. Dia harus bilang apa pada Shawn? "Sa-saya nggak enak sama Bapak. Bapak Bos saya. Kayaknya dari tadi saya banyak bicara yang nggak sopan sama Bapak." Kening Shawn mengerut. "Kapan kamu bicara nggak sopan? Kayaknya kita dari tadi ngobrolnya santai aja." Namira menggigit ujung bibir bawahnya. Shawn menghembuskan napas pelan. "Kamu kayaknya salah paham sama saya." Pria itu menumpu dagunya dengan satu tangan. "Saya mencoba untuk baik dan ramah sama kamu." "Kenapa?" Namira beranikan bertanya. Tadi dia memang ingin menanyakan ini. Bagus Shawn sudah bertanya lebih dulu. "Kamu inget nggak pertemuan pertama kita?" Namira agak terkejut. Jadi memang Shawn yang hari itu dia temui. Dan Shawn masih ingat pertemuan pertama mereka. Namira mengangguk. "Saya numpahin kopi ke Bapak." "Bukan." "Hah?" "Itu bukan pertemuan pertama kita. Pertama kali kita ketemu di depan toko roti. Saya turun dari becak motor dan saya nggak punya uang untuk bayar becak motornya. Kamu kasih saya duit buat bayar becak motornya. Kamu nggak ingat?" Namira terdiam membisu. Ia sedang mencoba mengingat. Kapan? Namira perlahan mengingat hari pertama ia sampai di Jakarta. Hari itu Namira keluar untuk melihat-lihat kota Jakarta sekalian membeli beberapa keperluan. Dan Namira memang sempat menolong seseorang yang katanya kecopetan, mengenakkan baju jogging. Namira memang tidak terlalu memperhatikan wajah orang yang ditolongnya. Pertama Namira malu bertatapan dengan lawan jenis. Kedua Namira baru sampai di Jakarta jadi dia takut dihipnotis. Ya meskipun akhirnya dia memberikan uang pada orang itu untuk membayar becak motor yang dinaikinya. Ketiga, Namira juga sedang agak terburu-buru karena gojeknya sudah datang. "Hari itu saya kecopetan. Hape dan dompet saya semuanya dicopet." Mulut Namira terbuka dramatis. Ia tak menyangka bahwa orang yang ditolongnya adalah Shawn. Wow. "Jadi.." "Jadi saya sedang membalas kebaikan kamu hari itu ke saya." Oh jadi karena itu Shawn baik padanya. Shawn ingin balas budi. Hm, untung Namira belum kegeeran. Bayangkan bagaimana sakitnya jika dia sudah salah paham atas sikap Shawn? Rasanya seperti kamu diajak terbang naik helikopter lalu disuruh terjun bebas tanpa parasut. "Saya nggak suka berhutang budi sama orang," tambah Shawn lagi. Namira mengangguk-anggukan kepalanya. Harusnya Shawn bilang dari awal jadi Namira bisa menolak dengan halus. Ia menolong dengan sangat ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sungguh. Meski miskin tapi nenek selalu mengajarkan padanya untuk murah hati dan membantu sesama yang membutuhkan. Namira nyaris salah paham. Untung Shawn menyampaikan semua ini. Namira ingin tertawa rasanya. "Jadi dari awal Bapak udah tau saya? Saya nggak diterima kerja karena Bapak kan?" Namira langsung teringat akan hal ini. "Nggak lah. Saya nggak ada urusan. Itu kan tugas HRD. Kalau masalah pengangkatan manager atau supervisor baru saya ikut andil. Sebenarnya saya ingetnya waktu saya kasih kamu tumpangan hari itu. Itupun saya inget setelah kamu turun. Besoknya saya pastiin muka kamu di kantor dan ternyata bener. Emang kamu." Namira tersenyum tipis. Tak tahu harus mengatakan apa lagi. "Saya belum sempat bilang makasih sama kamu." "Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma nolong saat saya bisa. Sebenarnya Bapak nggak perlu baik sama saya sampai kayak gini." "Jadi saya nggak boleh baik sama pegawai saya?" "Eh, bukan gitu maksudnya.. tapi.. duh.." Namira jadi kikuk sendiri. Shawn tertawa pelan. "Kamu nih ya, lucu.." Oke. Hati Namira benar-benar dalam kondisi yang tidak baik. *** Note. Selamat malam minggu ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD