PARTE 5

2561 Words
Harusnya Namira tahu diri sejak awal. Dia sendiri yang salah kenapa malah ingin menyalahkan Shawn sekarang. Namira memejamkan mata sebentar untuk menenangkan segala gundah gulana di dalam hatinya. Yang ia lakukan sejak tadi hanyalah berguling-guling di kasur tercintanya dengan kepala dipenuhi oleh Shawn.  "Ya harusnya kamu mikir, Namira. Mana ada orang sempurna kayak gitu yang baik karena suka sama kamu. Kamu sih ngelunjak. Dibaikin dikit baper. Dasar nggak tau diri." Namira mencebikkan bibir sendiri seolah sedang diomeli seseorang.  "Kampungan banget sih aku ya Allah." Namira menghela napasnya. Ketukan pada pintu kamar menyentak Namira dari kegalauan. Ia bergegas bangkit. Ternyata tetangga kamar sebelah datang mengantarkan makanan. Katanya dia baru saja dari kampung dan membawa makanan lebih. Namira jadi teringat pada neneknya. Namira rindu pada neneknya. Rindu pada makanan buatan sang nenek.  ...  "Mira.." Putri memanggil Namira dengan sedikit berbisik.  "Kenapa?"  "Kamu pergi kan besok ke ulang tahunnya Mas Krisna?"  Namira hampir lupa pada acara itu. Selama beberapa hari ini mereka benar-benar sibuk karena kasus kemarin yang belum juga selesai. Kemarin Shawn kabarnya mengamuk. Namira tak melihatnya langsung. Tapi dia yakin itu pemandangan yang menakutkan.  "Emang jadi?"  "Loh kenapa nggak jadi?"  "Ya kan ini belum selesai.."  "Oh. Aku denger-denger sih udah ketahuan salahnya di mana. Katanya di bagian pengiriman sama gudang ada miskomunikasi."  "Denger dari mana?"  "Senior ngobrol di pantry. Aku nggak sengaja denger tadi. Kemaren Pak Shawn ngamuk-ngamuk ke staf gudang soalnya kan kebanyakan dari staf di gudang itu udah senior dan kesalahan kayak gini harusnya nggak terjadi. Katanya sih gitu."  Namira manggut-manggut. Meski Namira tak begitu yakin. Belum ada informasi yang jelas dari supervisor jadi Namira tak mau senang-senang dulu.  "Pergi lah, Mir. Lagian kamu selama di Jakarta belum pernah kan ke pesta gitu? Kapan lagi. Tenang aja deh, ntar semua makanan dibayarin sama Mas Kris kok. Kita cuma perlu datang, makan, nikmatin pesta, terus pulang. Gampang kan?"  "Duh tapi aku nggak punya baju apa-apa, Put. Kamu tahu kan gaya pakaian aku biasanya gimana? Nanti aku malah malu-maluin di sana."  "Duh santai aja kali, Mir. Atau kamu mau pinjam baju aku? Badan kita nggak jauh beda kan?"  "Eh, nggak usah, Put. Ih nggak enak aku."  "Sans aja kali, Mir."  Namira akhirnya hanya bisa mengangguk pasrah. Memang pada dasarnya dia orangnya tak enakan. Susah sekali menolak orang.  ...  Kantin penuh seperti biasa. Khusus hari ini Namira tak membawa bekal. Bahan masakannya habis dan Namira belum sempat membelinya. Kemarin dia pulang malam karena lembur dan tak sempat singgah ke mana-mana untuk membeli kebutuhan. Membeli beras di minimarket jelas bukan pilihan Namira. Di sana harganya lebih mahal. Jadi hari ini Namira makan nasi goreng di kantin. Lumayan 10 ribu sudah kenyang. Kalau perutnya baik itu sudah cukup sampai malam.  "Kalian denger nggak gosipnya?"  "Hah?"  Namira ikut mengalihkan perhatian dari nasi gorengnya. Sebenarnya dia tak suka bergosip. Tapi sesekali mendengarkan tak apalah.  "Katanya kemarin ada cewek di kantor Pak Shawn.."  Uhuk.. Namira tersedak nasi goreng yang hendak ditelannya.  "Hah? Siapa? Kapan?" begitu nama Shawn disebutkan maka semua mata dan telinga akan siap sedia.  "Di kantornya gimana?"  "Iya. Natali kali.."  "Bukan.." si pemberi berita langsung membantah. Dia mendapatkan berita yang amat sangat hot. Tak mungkin ia membiarkan siapapun merusak kevalidan informasi yang ia terima. Namira sudah berdebar sendiri padahal ini tak ada hubungan apapun dengannya. Tapi kenapa pipinya terasa panas?  "Pada inget nggak yang hari waktu Pak Shawn meeting sama kita?"  "Inget.."  "Nah, katanya hari itu Pak Shawn sama cewek di kantornya. Nggak cuma itu aja. Pak Shawn bahkan pergi lunch bareng sama cewek itu."  "APA?!"  "WHAT?!"  "Ih kok aku nggak tau sih?"  "Kok aku bisa nggak tau sih ada berita seheboh ini? Aku ke mana sih?"  "Aku lagi di mana?"  "Masa nggak ada satupun dari kita yang lihat?"  "Kamu tau wajahnya nggak? Siapa woy cewek beruntung itu?"  "Siapa?"  "Siapa?"  "Aku butuh nama.."  "Pak Shawn bukannya sama Naomi ya?"  Berbagai pertanyaan terdengar dilemparkan bertubi-tubi. Namira jadi sakit kepala sendiri mendengar pertanyaan sebanyak itu.  "Sabar sabar.. aku jawab satu-satu dulu.." si pemberi berita menenangkan situasi dengan satu kalimat. Semua langsung terdiam.  "Pada nanya kan kenapa nggak ada yang tau? Pada lupa ya kalian kalau Pak Shawn punya lift nya sendiri? Jadi kemungkinan besar Pak Shawn sama cewek itu lewat lift itu makanya nggak ada yang lihat waktu dia masuk ke ruangan Pak Shawn dan juga waktu mereka keluar."  Namira sudah menciut. Mengerdil sendiri di kursinya dengan sendok tertancap di mulut. Bagaimana Namira tak terdiam membisu jika yang sedang dibicarakan adalah dirinya? Perut Namira rasanya seperti diremas-remas. Sekilas rasanya seperti ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam perutnya melewati mulut. Oke, Namira mual sekarang.  "Dan karena itu, jadi nggak ada yang ngeliat wajahnya dan nggak ada yang tau cewek itu siapa."  "Lah terus tau dari mana kalau Pak Shawn hari itu sama cewek di kantornya dan pergi makan berdua kalau nggak ada yang lihat langsung?"  "Nah, jadi gini, hari itu kan kantor agak hectic karena masalah salah pengiriman kan? Nah, jadi hari itu tuh anak-anak dari beberapa divisi tuh bolak-balik ke ruangan Pak Shawn buat ngasih laporan. Tapi, anehnya hari itu Pak Shawn nggak ngijinin siapapun masuk ke dalam ruangannya. Mereka semua ketemu sama Pak Shawn kalau nggak di luar ruangan ya di ruangannya Mas Theo. Pokoknya hari itu nggak ada yang masuk ruangan Pak Shawn sampai makan siang selesai. Waktu makan siang selesai, mereka udah bisa masuk ruangan. Maksudnya Pak Shawn udah terima laporan di ruangannya gitu. Berarti cewek itu udah nggak ada di sana kan?"  Semuanya tampak berpikir. Hanya Namira yang sibuk sendiri dengan nasi gorengnya.  "Ya bisa aja kan hari itu Pak Shawn males keluar masuk ruangannya.."  Si pemberi berita menghela napas. "Tapi hari itu ada yang lihat Natali keluar terus balik bawa paper bag salah satu brand pakaian ternama. FYI aja nih, Natali nggak ganti baju sampai pulang. Aku ketemu Natali waktu pulang. Berarti Natali beli baju itu bukan buat dia."  "Tunggu deh, aku mikir dulu sebentar.."  "Tapi mungkin aja itu temennya. Kan kita tau sendiri Pak Shawn sama Naomi udah lama.."  "Ya siapa yang tau kan? Aku denger-denger sih katanya Pak Shawn sama Naomi udah mulai renggang."  "Eh aku juga pernah denger, katanya Pak Shawn sama Naomi tuh sebenarnya nggak pacaran.."  "Hah?"  "Iya. Mereka kayak berkomitmen aja gitu, nggak ada ikatan apapun."  Namira ingin segera menghabiskan nasi gorengnya dan pergi dari sana. Namira tak ingin lagi mendengar apa-apa. Putri pun terlihat berpikir keras. Memang pada dasarnya tak akan ada yang curiga pada Namira. Padahal sebenarnya hari itu Putri adalah saksi bagaimana Namira tiba-tiba hilang lalu kembali satu jam setelah jam makan siang habis. Artinya Namira datang terlambat dan dia kembali dengan pakaian berbeda. Anehnya Namira tak dapat peringatan dari supervisornya hari itu. Tapi pikiran Putri tak sampai ke sana. Logikanya tak mungkin Namira pergi makan berdua dengan Shawn.  ...  "Shawn.."  "Iya, Bun.." Shawn menghampiri sang Bunda. Dua hari ini Shawn pulang ke rumah orang tuanya.  "Ini jas Shawn kan?"  Shawn mengangguk. Dia memang meninggalkan jasnya kemarin. "Kenapa, Bun?"  Risa menatap putranya itu. "Ini apa?" tanya Risa dengan ekspresi penuh keterkejutan. Shawn menyipitkan matanya kemudian terlihat berpikir.  "Ini darah loh," Risa menambahi, membantu agar Shawn segera ingat apa yang terjadi. Risa tentu saja khawatir saat menemukan noda darah di jas putranya. Ada beberapa kemungkinan dan semua kemungkinan itu membuat Risa khawatir.  "Shawn nggak luka kan? Nggak terjadi sesuatu yang buruk kan di kantor?" Risa memeriksa seluruh badan anaknya.  "Bunda, Bun, Shawn nggak apa-apa," ujar Shawn cepat untuk meredakan rasa khawatir Bundanya. Shawn kemudian tersenyum tipis setelah mengingat dari mana asalnya noda darah di jasnya itu.  "Oh itu darahnya Namira, Bun," jawab Shan kemudian.  Risa melotot. Bagaimana bisa wajah putranya terlihat begitu santai saat mengatakan itu? Jujur saja, pikiran Risa sudah melayang ke mana-mana. Bukannya Risa tidak percaya pada putranya, tapi khilafnya manusia siapa yang tahu, kan?  "Namira siapa?"  "Ada, pegawai di kantor."  "Hah?"  Shawn tiba-tiba malah senyum-senyum.  "Shawn.." Risa menggoyang lengan sang putra. Shawn terlihat aneh. Tidak seperti biasanya. "Kenapa ini bisa ada darah Namira di jas kamu? Jangan bilang--"  "Ih Bunda.." Shawn melotot. "Hayo pikiran Bunda ke mana?"  Risa masih menatap sang putra lurus meminta penjelasan.  "Bunda jangan aneh-aneh deh. Dikira anaknya nggak punya iman apa? Dosa lain Shawn mungkin masih sering lakuin. Tapi kalau yang begini Shawn masih takut, Bun.."  Risa langsung mengelus d**a lega membuat Shawn geleng-geleng dan langsung memeluk Bundanya itu.  "Shawn masih sholat lima kali sehari. Masih sholat Jum'at juga. Kalau ada kesempatan juga puasa senin kamis. Nggak mungkin Shawn bisa khilaf kayak gitu.." Shawn gemas sendiri pada sang Bunda. Risa tersenyum.  "Siapa yang tahu kan?"  Shawn mencibir.  "Jadi Namira siapa dan kenapa bisa ada darah dia di jas kamu?"  "Dia pegawai bagian adm, Bun. Kemarin dia mens terus Shawn pinjamin jas ke dia soalnya tembus ke celananya."  Kini kening Risa mengerut sempurna. Jelas dia terkejut. "Kamu pinjamin jas ini ke Namira karena dia tembus darah mens?" Risa mengulang kalimat Shawn menjadi sebuah pertanyaan.  Shawn mengangguk enteng. Risa melongo tak percaya. Setahunya, selain Jalen, Shawn adalah orang yang paling pelit pada barangnya. Selain adik dan kakaknya tak ada yang bisa memakai barang miliknya. Ya ada orang lain, sahabat-sahabatnya. Intinya benar-benar hanya orang terdekat saja yang bisa memakai barangnya. Kalau Jalen jangan ditanya. Hanya ada dua orang yang bisa memakai barangnya di rumah ini yaitu Bunda dan Papa. Pada Yasmine saja kadang dia masih pilih-pilih. Intinya barangnya tak boleh disentuh oleh orang selain Bunda dan Papa.  "Tumben banget kamu.." Risa menatap sang putra penuh selidik.  "Apa?" Shawn menatap sang Bunda.  "Biasanya pelit banget sama barang, kamu. Kenapa kayaknya enteng banget ngasih pinjem Namira.."  Shawn mengerutkan keningnya. Entah apa yang sedang ada di dalam kepalanya. "Masa sih aneh? Biasa aja ah. Bunda aja yang aneh. Shawn juga pinjemin kemeja ke dia sebelumnya soalnya bajunya kena tumpahan s**u coklat. Tau tuh anak ceroboh banget."  Risa sempurna melongo mendengar penuturan anak ke tiga nya itu. Ini benar-benar sudah diluar nalar. Ini sudah bukan hal yang wajar lagi.  "Kok bisa?" Risa mulai mengubah pertanyaannya. Risa mulai penasaran pada siapa si Namira ini sebenarnya dan kenapa anaknya bisa begitu perhatian pada pegawainya itu. Meski Shawn adalah pimpinan tapi bukan berarti dia punya tanggung jawab pada seluruh karyawannya. Apalagi untuk masalah di luar masalah pekerjaan dalam kata lain masalah pribadi.  Oke. Pertama tadi Shawn bilang darah mens Namira bocor. Lalu kini baju Namira kotor terkena tumpahan s**u coklat.  "Shawn nggak sengaja ngagetin Namira waktu dia lagi di taman balkon. Ternyata dia lagi minum s**u coklat. Terus ketumpahan. Yaudah gitu."  Risa manggut-manggut. "Jadi?"  "Jadi apa? Ya Shawn merasa bersalah sama dia. Makanya Shawn pinjemin kemeja. Nggak pinjemin juga sih. Kalau dia nggak balikin juga nggak masalah."  Risa tersenyum tanpa alasan.  "Jadi karena itu? Terus yang jas? Emang ketemu Namira di mana?" setahu Risa, Shawn punya akses pribadi untuk keluar dari perusahaan yang mana dia tak perlu melewati semua lantai gedung untuk sampai di basement.  "Hmmm.." Shawn ceritakan apa yang terjadi hari itu. Bagaimana ia bisa bertemu Namira yang dalam keadaan kurang sehat. Shawn tak melewatkan satupun kejadian hari itu. Ia ceritakan semuanya pada Risa.  "Namira pingsan?"  "Iya. Emang gitu ya Bun kalau cewek lagi datang bulan? Kayaknya Yasmine nggak pernah sampai pingsan deh. Quin malah nggak sakit sama sekali kalau lagi datang bulan.."  Risa tersenyum hangat. "Ya kondisi yang dialami setiap perempuan kan beda-beda. Mungkin Namira emang gitu atau kebetulan dia lagi dalam kondisi fisik dan pikiran yang kurang sehat."  "Oh iya sih Natali kemarin juga jelasin kayak gitu. Bahaya nggak sih Bun?"  "Tergantung kondisinya. Kalau Namira emang selalu pingsan setiap datang bulan ya harusnya periksa ke dokter. Bisa aja itu jadi berbahaya. Tapi kalau cuma kebetulan karena dia emang lagi banyak pikiran sih menurut Bunda nggak apa-apa. Namiranya emang sering gitu atau baru kali itu?"  Shawn terdiam. Ia kemudian mengendikkan bahu. "Shawn nggak tau. Nggak nanya juga kemarin ke Namira."  Risa tertawa pelan. "Yaudah. Kalau gitu Bunda cuci dulu jasnya. Lain kali kalau ketemu Namira bilang Bunda titip salam ya.." Risa kemudian berlalu meninggalkan sang putra yang tampak bingung.  ...  Besok sudah sabtu yang mana itu artinya hari H pesta ulang tahun Krisna. Namira sudah pusing sejak kemarin karena dia sebenarnya ragu untuk pergi. Tapi Putri sudah meminjamkannya baju. Namira jadi tak enak.  "Namira.."  "Eh iya, Mas.." Namira tersentak dari lamunan. Untung saja air dalam gelasnya tak tumpah karena Namira lupa mematikan keran. Krisna untuk pertama kalinya bicara langsung pada Namira. Meski tahu nama dan mereka satu divisi, tapi Krisna tak pernah benar-benar bicara langsung dengan Namira.  "Besok datang kan? Udah dikasih tau kan sama anak-anak?"  "Oh iya, udah.."  Krisna tersenyum. "Ditunggu loh kehadirannya. Jangan sampai nggak datang ya."  Namira tersenyum tipis. Semakin tak enak lah Namira.  "Oh iya, Mira.."  "Iya?"  "Hmm, Mas boleh minta nomor kamu nggak?"  "Nomor? Oh boleh Mas.." Namira kemudian menyebutkan nomornya dan Krisna mengetiknya di ponsel dengan rona bahagia di wajah.  "Makasih ya Mira. Jangan lupa ya, besok. Sampai ketemu besok.."  Namira mengangguk. Begitu Krisna pergi, Namira menghela napasnya. Sebenarnya hari ini Namira ingin ke taman balkon. Tapi Namira mengurungkan niatnya karena takut bertemu lagi dengan Shawn di sana. Beberapa hari ini Namira tak bertemu atau melihat Shawn. Terakhir mereka bertemu adalah saat Namira pingsan dan mereka berakhir makan siang berdua di restoran. Namira masih belum berani bertemu dengan Shawn lagi. Ya awalnya Namira merasa baik-baik saja. Tapi saat dipikirkan lagi, Namira memang sedikit kecewa.  "Udah jelek, miskin, nggak tau diri lagi. Dasar kamu Namira." Itulah kalimat yang Namira ucapkan pada dirinya sejak kemarin. Kalimat untuk menjaga dirinya tetap sadar. Lagipula kenapa berani sekali dirinya menyukai Shawn. Astaghfirullah.  "Namira.."  "Hah? Astaghfirullah.." Namira terlonjak kaget saat orang yang sedang ada di dalam kepalanya itu tiba-tiba sudah berada di belakangnya. Namira benar-benar terkejut hingga ingin menangis. Kenapa Shawn tiba-tiba muncul?  "Ya Allah, Pak. Bapak ngagetin saya. Kalau saya punya penyakit jantung gimana?"  Shawn menaikkan satu alisnya. Ia kemudian pindah berdiri ke depan Namira. "Lagian kamu ngapain ngelamun di pantry? Kayak nggak ada kerjaan aja kamu."  "Ada, Pak, banyak. Saya mau ambil minum." Namira menunjukkan gelasnya.  "Tadi saya lihat kamu ngobrol, bukan ambil minum."  "Hah? Oh, Mas Krisna. Kebetulan aja ketemu. Bapak butuh sesuatu? Oh kemeja ya, Pak? Maaf, Pak. Kan saya udah minta keringanan waktu ke Bapak."  "Kamu nih kalau udah ngomong nyerocos aja. Saya nggak nanya kemeja."  "Oh. Terus?"  "Tumben kamu nggak ke balkon.."  Namira mengerjap beberapa kali. "Bapak nyariin saya?" wow, pede sekali kamu Namira.  "Nggak lah. Ngapain saya nyariin kamu?" jawab Shawn enteng membuat Namira langsung memasang wajah datar. Kurang ajar memang anaknya Pak Javier dan Buk Risa ini.  "Tau dari mana saya nggak ke sana?"  "Nebak aja."  Oke. Shawn mulai menyebalkan. Namira kemudian memilih diam. Sepertinya tak akan menang dan tak ada untungnya berdebat dengan Shawn.  "Jangan marah, saya cuma becanda. Oh iya, Bunda saya titip salam."  Namira melebarkan bola matanya. "Hah?"  Shawn refleks menggaruk keningnya. "Kamu mulai lagi hah hih huh. Bunda saya titip salam bukannya hah.."  "Ng-ngapain Buk Risa titip salam sama saya?"  "Kamu tau Bunda saya?"  "Satu perusahaan juga tau, Pak."  "Oh.." Shawn mengangguk kecil.  Sabar Namira.  "Buk Risa kok tau saya?"  "Jas yang kemarin itu, Bunda yang cuci. Jadi Bunda lihat darah di sana terus tanya ke saya darah apa. Saya jawab..."  Namira tak mendengarkan lagi penjelasan Shawn. Telinganya berdengung. Namira mencerna dengan cepat semua penjelasan Shawn kemudian otaknya otomatis me-reka semua kemungkinan yang terjadi saat Shawn berbagi cerita dengan Bundanya itu. Dan apapun yang Shawn ceritakan pada Risa, kesimpulannya adalah Namira malu setengah mati. Itu kejadian memalukan dan Shawn ceritakan kejadian itu pada Bundanya. Mau ditaruh di mana muka Namira sekarang?  "Bapak cerita ke Buk Risa?" tanya Namira dengan bibir bergetar.  "Iya. Bunda nanya ya saya jawab. Oh iya, Bunda juga tanya, kamu emang biasanya suka pingsan gitu atau cuma hari itu aja?"  Shawn ini memang tidak menganggap Namira perempuan atau sebenarnya dia tidak peka? Apa Shawn tidak melihat bagaimana pucat pasinya wajah Namira saat ini?  "Namira.." Shawn jentikkan jarinya di depan wajah Namira.  "I-iya, Pak?"  "Nggak denger pertanyaan saya?"  "D-denger, Pak. Saya.." Namira menelan ludah. Untung ponsel Shawn berbunyi jadi Namira tak perlu lagi melanjutkan pembahasan memalukan ini dengan Shawn. Pria itu melihat layar ponselnya kemudian menghela napas. Ia mengetik di benda pipih itu kemudian kembali menyimpannya ke dalam kantong jas.  "Oh iya, kamu besok mau ke mana?"  "Saya? Ngg- saya ada ac--"  "Kamu batalin aja acara kamu. Kamu ikut saya."  Namira melotot. "Hah?"  "Bukan hah. Besok jam 3 saya jemput kamu di kos kamu." Setelah mengatakan itu, Shawn meninggalkan pantry. Meninggalkan Namira dalam kebingungan yang tak bisa diselamatkan.  "Apa ini ya Allah?" Namira berseru bingung.  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD