Namira pikir Shawn bercanda. Namira benar-benar mengira Shawn HANYA BERCANDA. Tapi tidak. Shawn tidak bercanda. Kini ada orang di depan kos Namira, menunggu perempuan itu keluar. Namira dengan pakaian seadanya melangkahkan kakinya ragu-ragu.
"Selamat siang, Mbak Namira?"
"I-iya saya.."
"Silahkan masuk Mbak. Saya datang menjemput Mbak Namira sesuai permintaan Pak Shawn."
Namira mengangguk. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Tak lama mobil itu membawa Namira meninggalkan kos.
Namira persis seperti orang bodoh. Ini pertama kalinya Namira menginjakkan kakinya ke dalam salon seumur hidupnya. Bahkan saat wisuda saja Namira hanya didandani oleh temannya. Kini Namira berada di dalam sebuah salon yang sangat mewah. Namira tak tahu bagaimana ia bisa berakhir di dalam salon ini. Tak lama seorang perempuan cantik datang menghampiri. Tanpa babibu dia langsung saja mengeksekusi wajah Namira. Tak ada yang bisa Namira lakukan selain diam membisu seperti batu.
Kurang lebih Namira menghabiskan waktu 40 menit duduk di sana. Setelah selesai dari salon, Namira dibawa ke sebuah butik yang letaknya tak jauh dari salon tadi. Namira benar-benar tidak tahu harus apa dan harus bagaimana. Apa dia hanya harus menerima atau Namira boleh menolak. Jujur saja, Namira tak enak hati. Pasti semua ini harganya mahal. Lagipula sampai saat ini Namira belum tahu ke mana Shawn akan membawanya. Kenapa dia harus didandani begini. Kenapa juga dia dipilihkan gaun seperti ini?
"Ini cobain ya.." Namira diberikan tiga buah dress selutut. Seperti robot Namira menurut saja. Dia akan menganggapnya sebagai sebuah pekerjaan. Mungkin Shawn memang akan membawanya ke sebuah pertemuan bisnis. Kenapa dirinya? Namira tak tahu.
"Kamu suka yang mana?" tanya pegawai toko saat Namira keluar dari fitting room. Tak ada yang Namira benar-benar nyaman kenakan. Hanya satu gaun yang memiliki lengan panjang. Namira memutuskan untuk memilih gaun itu saja. Gaun dengan warna mint green itu terlihat pas di badan Namira. Meski sebenarnya belahan dadanya agak rendah untuk ukuran seorang Namira. Tapi baju ini adalah yang terbaik dari dua baju lainnya.
"Udah?" Shawn seperti Jin Tomang muncul tiba-tiba entah dari mana. Pandangannya bertemu dengan Namira. Ia pandangi perempuan itu dari atas ke bawah.
Rambut panjang Namira yang biasanya selalu dijalin itu dibiarkan tergerai dengan model curly. Dandanan yang tadi dipoles pada wajah Namira juga dandanan yang sederhana dan tidak terlalu berlebihan. Dengan dress yang dikenakkannya, Namira terlihat berbeda. Ia terlihat anggun dan cantik dengan wajah yang khas. Sederhana tapi manis. Tak hanya Shawn, bahkan pegawai di sana terliat terpukau dengan penampilan Namira.
Berbeda dengan orang-orang di sana yang terlihat puas, Namira justru risih sendiri. Dia tidak terbiasa dengan penampilan seperti ini. Apalagi high heels yang ia kenakan cukup tinggi. Untung saja dia sudah membiasakan diri selama beberapa bulan ini bekerja mengenakkan high heels.
"Pak, bagaimana?" panggilan dari pegawai butik membuyarkan lamunan Shawn.
Pria itu berdehem kemudian mengangguk. "Udah kan? Ayo.." Shawn melangkah meninggalkan tempat itu. Namira langsung menyusul dengan terburu-buru karena Shawn tak memberi aba-aba.
"Kita mau ke mana, Pak?" tanya Namira begitu ia sudah ada di dalam mobil Shawn. Sebelumnya Shawn selalu memakai supir. Tapi hari ini Shawn mengendarai sendiri mobilnya.
"Seatbelt kamu.."
"Oh.." Namira langsung memasang seatbeltnya. Shawn menekan pedal gas melaju mobilnya. Dan setelah beberapa menit dalam perjalanan, Shawn masih belum menjawab pertanyaan Namira. Perempuan itu pun memutuskan diam dan tak bertanya lagi. Sepertinya Shawn dalam mood yang kurang baik jadi Namira tak berani merusuh.
...
Memasuki sebuah rumah mewah, Namira dibuat terbengong-bengong. Entah karena desain rumah yang luar biasa mewah dan modern atau karena Namira tak tahu sebenarnya di mana dirinya berada.
"Uncle.." seorang anak kecil berlari ke arah Shawn saat mereka memasuki area taman.
"Halo sayang.." sapa Shawn dan mengangkat bocah laki-laki itu ke dalam gendongan. Namira tersenyum saat bocah itu memandanginya.
"Dari tadi Renz nyariin lo.." Sepasang suami istri itu datang menghampiri Shawn dan Namira.
Kini perhatian mereka tertuju pada sosok asing yang berada di sebelah Shawn. Pane dan Wendy saling pandang selama beberapa detik seolah sedang berkomunikasi. Sosok Namira jelas menjadi sebuah tanya bagi keduanya.
"Oh iya kenalin ini Namira. Namira, kenalin ini sahabat baik saya Pane dan Wendy.." Shawn mengenalkan Namira pada dua orang sahabatnya itu.
"Namira, Pak, Buk.." ujar Namira sopan mengulurkan tangannya.
Wendy dan Pane tersenyum, bergantian menyambut uluran tangan Namira. Setelah mengatakan itu, Shawn malah pergi membawa Renz. Keduanya asyik berbincang entah membahas apa. Namira menyerahkan tentengan yang tadi dibawanya pada Wendy. Pane sudah menyusul Shawn dan Renz. Wendy di belakang menemani Namira.
"Makasih ya kadonya.."
"Itu kado dari Pak Shawn, Buk.." Namira tak ingin ngaku-ngaku. Jelas-jelas dia tak memberikan kontribusi apapun.
Wendy mengangguk dan tersenyum. "Panggil Kak aja, nggak usah Buk. Namira temannya Shawn?"
"Hmm, saya pegawainya Pak Shawn, Buk- eh Kak.."
"Pegawai?" Wendy terkejut. Namira mengangguk. Wendy manggut-manggut. Ia bawa Namira ke tempat Shawn dan Pane. Dua orang itu sibuk mengobrol dengan Renz. Bocah laki-laki itu tampak serius mengobrol dengan paman dan Papinya.
"Askala sama Alin nggak datang?"
"Datang. Bentar lagi. Tadi katanya lagi di jalan.." Wendy menjawab.
"Halo my baby boy.." sebuah suara ceria terdengar. Tak lama seorang perempuan cantik berambut panjang dengan warna gaun hampir sama seperti Namira datang bergabung dengan mereka. Ia langsung memberikan kecupan di pipi Renz. Namira sempat terpesona pada perempuan yang cantiknya benar-benar seperti barbie itu.
"Aunty bawa ini buat Renz.." ia serahkan hadiah itu pada Renz kecil. Bocah itu menerima dengan senang hati.
"Sendiri lagi?" tanya Pane.
"Nggak dong. Tuh sama Aldebaran.."
"Ih tumben banget Aldebaran mau ikut pesta beginian.." celetuk Pane.
"Dipaksa.." kikik perempuan cantik yang sampai saat ini masih membuat Namira terkagum-kagum itu.
Tak lama pria yang bernama Aldebaran itu bergabung. Memang jika dilihat dari raut wajahnya ada semburat ketidakikhlasan di sana.
"Senyum dikit kenapa Bar, anak gue nih takut lihat muka lo," timpal Pane membuat Aldebaran akhirnya menerbitkan senyuman di wajahnya.
Semua orang itu sepertinya sudah saling kenal. Hanya Namira yang planga-plongo seperti orang i***t. Namira tak kenal siapapun kecuali Shawn. Itupun kalau ingin dibilang kenal. Tak cukup sampai di sana, kini ada enam orang lagi yang bergabung. Namira lambat-lambat melangkah mundur. Jika memang bisa, Namira akan menghilang setelah ini. Tidak benar-benar menghilang. Maksudnya mencari tempat untuk bersembunyi sampai acara selesai. Shawn sepertinya juga tidak membutuhkan dirinya.
"Shawn lo sendirian ya?" entah siapa yang bertanya, Namira tak tahu.
"Nggak," jawab Wendy.
"Hah? Terus Naomi mana? Gue nggak lihat Naomi dari tadi.."
Namira mendengar dengan jelas nama Naomi disebutkan. Ya harusnya memang Naomi yang datang mendampingi Shawn ke sini. Sebab sepertinya ini adalah acara keluarga. Namira tersesat di tempat ini.
"Mana tadi si Namira?" Itu suara Shawn. Pria itu kemudian membelah kerumunan teman-temannya. Otomatis saja semua mata tertuju ke arah Shawn melangkah.
"Ngapain kamu di situ?" tanya Shawn tanpa beban membuat Namira langsung menahan napas karena kini mata semua orang tertuju padanya. Namira membeku. Namira tak berani mengangkat wajahnya. Dia benar-benar terlihat sangat aneh. Namira merasa tak cocok berada di tempat ini. Dia beda sendiri. Lihat saja bagaimana penampilan semua orang. Namira seperti seekor itik buruk rupa yang berada di tengah-tengah kumpulan angsa.
Shawn masih dengan Renz di dalam gendongannya membawa Namira mendekat ke tempat teman-temannya.
Yasmine menoleh pada Wendy meminta penjelasan. Wendy hanya tersenyum.
"Kenalin ini Namira. Namira, ini semua teman-teman saya. Kalau ini kembaran saya, Yasmine.."
Namira memberanikan diri mengangkat wajahnya. Dan yang Namira temui adalah senyum lebar di wajah Yasmine. Perempuan cantik yang tadi sempat Namira kagumi.
"Hai Namira. Aku Yasmine, kembarannya Shawn.."
Namira melotot saat tahu perempuan cantik ini adalah kembarannya Shawn. Namira benar-benar mengagumi kecantikan Yasmine. Bagaimana cara Namira menjelaskannya? Yasmine benar-benar cantik.
Namira menyambut uluran tangan Yasmine dengan ragu-ragu. Namira tidak pede. Yasmine terlalu cantik. Ditambah lagi Yasmine adalah kembaran Shawn.
"Hmm Namira, sejak kapan sama Shawn?" Yasmine berbisik di telinga Namira begitu semua orang pergi karena acara sudah akan dimulai. Namira melotot kaget.
"H-hah? Sa-saya sama Pak Shawn--"
"Oke oke, nggak usah dijelasin." Yasmine tersenyum. Digaetnya lengan Namira lalu dibawanya Namira bergabung dengan yang lain. Sungguh Namira tak tahu apa yang sedang terjadi dan di mana dirinya saat ini. Namira merasa ia seperti sedang bermimpi. Atau dirinya memang bermimpi?
Namira menoleh ke arah Shawn bersamaan dengan pria itu menoleh padanya. Dan sebuah senyuman tipis terlukis di bibir Shawn membuat Namira membeku di tempatnya.
Jika ini memang hanya mimpi, haruskah Namira berdoa agar mimpi ini berlangsung sedikit lebih lama?
...
Lampu-lampu jalan bersinar terang menerangi kota. Entah jam berapa sekarang. Sebenarnya pesta sudah selesai dari tadi karena memang acaranya dihadiri oleh anak-anak juga yang tak mungkin dilangsungkan sampai malam. Tapi tahu apa yang membuat Shawn dan Namira terkurung lama di rumah Pane dan Wendy? Ya, benar. Semua ini karena Renz. Bocah laki-laki itu tak mau melepaskan Shawn pergi. Ia memeluk Shawn erat begitu pesta selesai. Shawn harus menunggu Renz tidur baru bisa pergi. Pane dan Wendy saja tak bisa memisahkan anak mereka itu dari Shawn. Memang tak ada cara untuk melepaskan Renz dari Shawn. Satu-satunya cara adalah menunggu Renz tertidur.
Namira sudah seperti manekin saja tadi. Ia hanya bisa duduk seperti orang bodoh saat Shawn sibuk dengan Renz. Untung saja Wendy baik dan sesekali mengajak Namira ngobrol karena perempuan itu juga punya kesibukannya sendiri. Intinya Namira benar-benar planga-plongo tadi. Shawn juga tidak bertanggung jawab sama sekali padahal dia yang sudah membawa Namira ke acara itu.
"Namira.."
"Iya.." Namira menoleh kepada Shawn.
Lihatlah betapa tak sopannya Shawn. Memanggil tapi tidak menoleh pada orang yang dipanggil.
"Kamu pernah pacaran?"
"Hah?"
Biasanya Shawn akan protes saat Namira mengatakan 'hah'. Tapi kali ini sepertinya Shawn tak mempermasalahkan hal itu. Entah apa yang sedang Shawn pikirkan karena sepertinya pikirannya tidak sedang berada di sini.
"Ngapain Bapak tanya?"
"Kamu kayaknya kelewat polos, jadi nggak mungkin kamu pernah pacaran," Shawn seolah menjawab sendiri pertanyaannya.
Namira merenggut kesal. "Maksud Bapak apa? Saya nggak polos ya.."
Shawn menoleh. "Kamu yakin kamu nggak polos?"
Namira mengangguk tanpa paham konteks yang sedang Shawn bahas. Pria itu menghembuskan napas pelan. "Jadi kamu pernah pacaran?"
"Hngg," Namira menjeda. "Nggak sih.."
Shawn mengulum senyumnya. Bicara dengan Namira memang bisa menaikkan moodnya.
"T-tapi bukan berarti saya polos. S-saya cuma--"
"Cuma apa? Cuma nggak ada yang mau?"
Namira melotot. "Ih kok Bapak gitu ngomongnya? Saya tahu saya jelek tapi Bapak jahat banget ngomong gitu.."
"Loh? Saya nggak bilang kalau kamu jelek. Kamu sendiri yang bilang.."
"Terus maksud Bapak tadi apa? Bapak bilang nggak ada yang mau sama saya.."
"Emang kalau nggak ada yang mau itu pertanda kalau kamu jelek?"
"Bapak pasti seneng banget ya ngerjain saya? Mentang-mentang saya bodoh.."
Shawn lantas menoleh dengan ekspresi terkejut. "Loh, kok malah jadi ke sana? Kapan saya bilang kamu bodoh?"
Namira mencebikkan bibirnya. "Iya, Pak. Saya tau kalau saya jelek dan bodoh. Saya juga kampungan."
Shawn menghela napasnya. "Kamu masih PMS ya?" pria itu kembali menoleh pada pegawainya itu. Namira terlihat agak berbeda malam ini. Biasanya, rambut Namira selalu dijalin. Baju yang ia kenakan juga sangat monoton. Bisa dibilang penampilan yang bisa dilihat dari Namira adalah kemeja putih, rok dalam semata kaki, cardigan, kemeja warna cerah sesekali, blouse dengan motif bunga dan celana dengan warna jika bukan hitam maka abu-abu. Pernah sekali Shawn melihat Namira mengenakkan celana selain warna hitam dan abu, yaitu saat Namira tembus. Hari itu Namira mengenakkan celana warna biru muda.
Tapi malam ini dengan rambut digerai, polesan tipis lipstik warna pink di bibir, dan gaun yang sedikit membentuk lekuk tubuhnya membuat Namira terlihat...cantik. Bibir yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis. Hidung yang tidak terlalu mancung. Mata yang tidak terlalu besar. Alis yang tidak terlalu tebal. Namira ini bisa dibilang sedang-sedang saja untuk semua hal. Semua terlihat sedang, kecuali bulu mata yang amat sangat lentik dan warna bola mata coklat yang lebih terang dari orang kebanyakan.
"Anaknya Kak Wendy kayaknya deket banget sama Bapak.." Namira mengalihkan obrolan. Shawn ingin protes tapi tak jadi.
"Sejak kapan Wendy jadi Kakak kamu?"
Namira menahan napasnya. Menahan emosinya.
"Buk Yasmine kembaran Bapak? Tapi kok beda ya. Buk Yasmine cantik banget." Sekali lagi Namira mengalihkan obrolan.
"Ya beda lah. Dia cewek ya cantik. Kalau saya cantik nanti kamu minder deket-deket sama saya."
Namira menggigit bibirnya, menahan kesal.
"Tua banget adek saya kamu panggil Buk.." tambah Shawn. Oke, Shawn sepertinya tahu bagaimana cara jitu membuat Namira naik darah.
"Bapak nggak cantik juga saya udah minder," bisik Namira pelan.
"Kamu ngomong apa?"
Namira menggeleng. Jika ingin Shawn tahu apa yang dia katakan lalu untuk apa Namira berbisik?
"Saya boleh nanya, Pak?"
"Boleh. Mau yang paket berapa? Yang paling murah 3 pertanyaan 500 ribu.."
Namira sontak menoleh dengan sorot mata tajam pada Shawn yang membuat Shawn langsung menutup rapat mulutnya.
"Oke, buat kamu gratis.."
Namira menarik napas dalam. "Hmm, tadi kayaknya pesta keluarga kan? K-kenapa Bapak nggak ajak Buk Naomi?"
Kini Shawn diam. Ia tak langsung menjawab atau menyahuti pertanyaan Namira. Ekspresinya juga berubah lebih serius. Lalu helaan napas terdengar. "Kalau dia bisa ikut ngapain saya bawa kamu?"
Oke. Jika mau jujur ada perasaan tak nyaman saat Namira mendengar jawaban Shawn. Tapi Namira tahu betul tak ada alasan untuknya marah. Jadi Namira tak akan protes atas jawaban seenak hati bosnya itu.
"Harusnya Bapak datang sendiri, nggak usah bawa saya," kini Namira dengan berani mengatakan kalimat itu dengan suara besar. "Kalau Buk Naomi salah paham gimana? Atau ada yang salah paham gimana?"
Shawn tersenyum simpul. "Nggak akan ada yang salah paham. Makanya saya bawa kamu. Jadi kamu tenang aja."
'Makanya saya bawa kamu'. Kalimat ini sedikit ambigu.
"Fungsi saya ikut apa? Kenapa Bapak nggak dat--"
Ponsel Shawn berbunyi membuat Namira langsung terdiam. Nama Naomi terpampang jelas di monitor mobil pria itu. Shawn menyalakan earphonenya kemudian menyambut dengan senyuman lebar perempuan yang memenuhi kepala dan hatinya itu. Namira menatap Shawn beberapa detik sebelum mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Namira tidak temukan alasan apapun yang masuk akal untuk Shawn membawanya ke pesta yang jelas-jelas hanya dihadiri orang-orang terdekatnya itu.
"Iya sayang.." Senyuman Shawn tak berubah sejak awal ia menerima telfon Naomi sampai beberapa menit kemudian.
Namira merogoh tasnya saat merasakan ada yang bergetar di dalam sana. Namira mengambil ponsel miliknya kemudian menatap serius pada layar. Namira tak begitu terbiasa memainkan ponsel di dalam mobil. Saat melihat ada banyak panggilan dan pesan yang masuk perempuan itu melotot kaget. Sejak tadi dia memang tak memperhatikan ponselnya karena tasnya tertinggal di dalam mobil Shawn.
Namira langsung membalas pesan yang masuk. Tak lama ponselnya bergetar panjang menandakan ada telfon. Namira langsung menjawab panggilan itu.
"Halo Mas.."
Shawn langsung menoleh ke samping kirinya bersamaan dengan raut wajah yang langsung berubah datar.
"Maaf ya Mas aku dari tadi nggak lihat hape, soalnya hape aku tinggal. Maaf ya nggak ngabarin kalau nggak bisa datang.." Namira benar-benar tak enak karena tak jadi menghadiri pesta ulang tahun Krisna. Namira jelaskan pada Krisna bahwa dia berhalangan hadir karena ada urusan lain yang tiba-tiba datang. Namira jadi tak enak hati pada rekan sekantornya itu. Krisna bahkan sampai menelfonnya. Tadi juga ada beberapa pesan dari Krisna menanyakan keberadaan Namira dan jam berapa Namira akan sampai.
Namira menghembuskan napas begitu selesai menelfon. Apa kata Krisna dan teman-teman kantornya besok? Putri juga beberapa kali menelfonnya dan mengirim pesan. Apa yang harus Namira katakan?
"Siapa?"
Namira sontak menoleh saat Shawn bertanya. Rasanya kos Namira tak terlalu jauh di ujung bumi. Tapi kenapa mereka tak sampai-sampai sejak tadi?
"Mas Krisna.." Namira kemudian kembali berikan fokus pada layar ponselnya, membalas pesan Putri.
"Ngapain dia nelfon?"
"Hah?"
Shawn tampak menarik napas dalam. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk Namira menggunakan jurus 'hah' nya. Shawn butuh jawaban yang jelas. Tapi Shawn sepertinya benar-benar harus bersabar karena kini Namira kembali menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Lalu terdengar Namira menyebut nama Putri. Namira tampaknya sedang menjelaskan pada si Putri alasan dirinya tak bisa datang ke acara Krisna.
"Hah?!" Namira berseru kaget membuat Shawn ikut kaget. "Oh iya, oke, oke. Hmm, makasih ya, Put."
Namira gelagapan seketika. "Pak nanti berhentinya jangan di depan kos ya.."
"Hah?" gantian Shawn yang tertular 'hah' Namira.
"Iya. Nanti berhentinya di minimarket setelah simpang aja."
"Ngapain di sana? Ini udah malam. Saya antar sampai kos. Kalau ada yang mau dibeli saya tungguin.."
"Bukan, Pak. Anu itu.."
"Ngomong yang jelas.."
"Duh, ada temen saya di depan kos."
"Ngapain teman kamu di depan kos? Terus kenapa emang kalau temen kamu di depan kos?"
"Aduh si Bapak ih. Itu anak kantor, Pak. Nanti kalau dia lihat saya sama Bapak gimana?"
Kening Shawn mengerut. "Salahnya di mana?"
Namira melotot. "Bapak teh kumaha? Masa tanya salahnya di mana? Nanti kalau dia lihat saya sama Bapak bisa bikin gosip di kantor. Saya nggak mau digosipin yang aneh-aneh."
Shawn semakin tak mengerti. Butuh beberapa waktu untuknya mencerna.
"Udah Pak berhenti di sini. Deket kok saya bisa jalan.."
Shawn mau tak mau menghentikan mobilnya di depan minimarket yang Namira maksud.
"Makasih ya, Pak.." Namira langsung turun. Shawn ikut turun.
"Eh iya, Pak, ini bajunya besok ya saya balikin sekalian sama baju kemarin sama kemeja juga.."
Shawn menghampiri pegawainya itu. Beberapa pemudah yang sedang nongkrong di depan minimarket terdengar bersiul menggoda Namira. Shawn menghembuskan napas kemudian membuka jasnya. Belum sempat Namira mencerna apa yang terjadi, jas Shawn sudah tersampir di bahu perempuan itu.
"Pak, duh, kenap--"
"Udah pake. Jangan dilepas."
"Tapi Pak--"
"Namira."
Namira terdiam seketika saat matanya bertemu dengan mata Shawn yang kini menatapnya dengan sorot sedikit tajam. Shawn menarik jasnya untuk menutupi bagian d**a Namira yang belahan bajunya memang lebih rendah. Jenis pakaian yang tak pernah Namira kenakan. Dia biasanya selalu tertutup dengan kerah baju yang tinggi.
"Ayo.."
"Hah.."
Shawn mendorong pelan tubuh Namira agar perempuan itu mulai berjalan. Shawn kemudian berjalan di samping Namira. Tak ada yang bersuara. Keduanya sama-sama bungkam. Tak lama kemudian Shawn menghentikan langkahnya. Pagar kos Namira sudah terlihat dan memang ada yang berdiri di depan pagar kosnya. Satu pria dan satu wanita.
"Sana.."
"Ini--"
"Pake aja."
Namira tak membantah lagi. Sepertinya Shawn benar-benar sedang tak ingin dibantah. Namira mengangguk. Ia kemudian melanjutkan langkahnya. Namira menoleh ke belakang dan terlihat Shawn sudah balik badan dan melangkah menjauh. Namira memandangi punggung bosnya itu selama beberapa detik. Ia menghembuskan napas panjang kemudian balik badan.
"Putri.. Mas Krisna.."
"Ya ampun Mira. Kamu ke mana aja?" Putri langsung heboh sementara Krisna memandangi Namira yang ekspresi melongo.
"Cantik banget kamu. Habis dari mana sih kamu, Mir?"
Namira hanya bisa tersenyum simpul. Apa yang harus dia jelaskan sekarang?
***