Beberapa hari setelahnya, Melvin memanggil seluruh pelayan di rumah mewahnya. Pagi-pagi sekali ia memecat seluruh pelayan yang terdiri dari lima orang pembantu, dua sopir dan tiga satpam. Melvin membayarkan pesangon saat itu juga dan meminta mereka pergi. Cindy yang kebingungan melihat sikap suaminya kemudian datang menghampiri.
“Mas, kenapa kamu memecat mereka? Mereka salah apa?” tanya Cindy dengan kening mengernyit.
“Mulai sekarang kamu akan bekerja sendiri. Aku udah gak sanggup bayar pembantu.” Melvin menjawab dengan tegas. Ia tampak menahan marah pada Cindy yang tidak bersalah.
“Tapi ....”
“Aku kan sudah bilang kalau kamu mau tetap bisa hidup mewah kamu harus bekerja, tapi kamu ngotot masih tetap jadi ibu rumah tangga. Kita kan belum punya anak. Seharusnya gampang buat kamu bekerja di luar,” sahut Melvin kembali marah. Cindy hanya diam dan menundukkan wajahnya. Mimpi buruknya bahkan belum pulih sepenuhnya dari kejadian dua minggu lalu. Sekarang ia sudah dipaksa bekerja lagi oleh suaminya.
“Ya sudah besok aku akan cari kerjaan.” Cindy yang mengalah berbalik pergi meninggalkan Melvin yang sudah membuang badannya ke samping. Ia hanya melihat sekilas pada Cindy sebelum mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.
“Dia sudah setuju. Lalu sekarang bagaimana?” tanya Melvin seraya mengurut keningnya.
“Suruh dia ke perusahaanku sesuai dengan kesepakatan kita.” Melvin memejamkan matanya mendengar kalimat dari Sebastian Arson yang ia hubungi.
“Iya. Dia akan datang besok.” Melvin memutuskan sambungan tersebut dan kembali ke ruang kerjanya. Ia mengambil sebuah dokumen yang disimpannya di dalam laci. Sambil menggigit bibir bawahnya, Melvin menatap lagi perjanjian rahasia yang ia buat di luar sepengetahuan Cindy sebagai objek.
“Huh, bagaimana kalau kakaknya tahu? Bisa mati aku!” gumam Melvin mengumpat pelan. Namun nuraninya tak lagi bisa berpikir, Melvin menandatangani surat perjanjian tersebut tanpa mau berpikir panjang. Setelah memasukkannya ke dalam amplop berkas lalu menyegelnya, Melvin mencari Cindy yang sedang memasak di dapur.
“Cin, besok kamu ikut aku ya.” Cindy berbalik pada Melvin dengan raut polos tak mengerti.
“Kita mau ke mana, Mas?”
“Besok ada wawancara kerja buat kamu. Kamu diminta masuk ke perusahaan yang akan menjadi investor baru dari Amerika. Aku diminta mencari kandidat untuk sekretaris eksekutif dan aku kasih nama kamu. Barusan mereka menelepon bilang kalau besok adalah waktu wawancara untuk kamu,” ujar Melvin menjelaskan panjang lebar.
Cindy terperangah sampai menghentikan aktivitasnya memasak. Ia ingin menolak tapi dirinya sudah berjanji akan mencari pekerjaan. Akan tetapi, tawaran pekerjaan datang tiba-tiba bahkan sebelum dirinya mempersiapkan apa pun.
“Tapi, Mas. Aku kan belum pernah memberikan dokumen apa pun soal lamaran kerja.”
“Gampang, kamu tinggal bawa besok. Aku akan ngaterin kamu, siap-siap ya.” Melvin tidak memberi waktu bagi Cindy berpikir ataupun menjawab. Ia langsung pergi begitu menyampaikan niatnya.
Keesokan harinya, Cindy bersiap untuk wawancara pekerjaan yang belum ia persiapkan sama sekali. Meskipun Cindy pernah menjadi sekretaris saat masih kuliah S2 di New York, tetapi ia sudah sangat melupakan hal itu. Sebuah kecelakaan merengut sebagian besar ingatan masa lalunya.
“Ayo kita berangkat. Jangan sampai kamu terlambat.” Cindy terhenyak dari lamunannya dan buru-buru berdiri. Cindy dan Melvin naik satu-satunya kendaraan yang masih tertinggal karena sisanya sudah dijual. Meski hanya SUV, mobil tersebut masih tergolong cukup mewah. Melvin pun mengantarkan Cindy sampai ke lobi parkir utama sebuah gedung perkantoran mewah. Sebelum turun, Melvin sedikit berpesan pada Cindy.
“Jangan menolak apa pun syaratnya. Kita butuh uang sekarang jadi gak cuma aku yang seharusnya bekerja keras tapi kamu juga.” Cindy tertegun sesaat sebelum mengangguk dan keluar dari mobil.
Cindy berjalan naik melewati beberapa anak tangga dan berbalik ke belakang. Mobil Melvin langsung pergi meninggalkan Cindy yang gugup dan takut. Cindy tidak tahu apa yang akan dihadapinya di dalam.
“Bapa di Surga, bantulah aku,” ucap Cindy dalam hati sebelum melangkah masuk.
Cindy kemudian berjalan ke meja resepsionis dan berhenti di depannya. Keningnya mengernyit dengan mata sedikit memicing.
“Moulson,” sebut Cindy pelan membaca nama perusahaan di dinding belakang meja resepsionis. Cindy makin mengernyitkan keningnya. Rasanya ia pernah mendengar nama itu di suatu tempat tapi ia lupa.
“Maaf, Bu. Ada keperluan apa?” tanya pegawai resepsionis mengejutkan Cindy. Buru-buru Cindy mendekat lalu tersenyum ramah mengatakan tujuannya. Ia menepis rasa penasaran di hatinya tentang perusahaan tersebut. Mungkin saja ia pernah menyaksikan berita di televisi tentang perusahaan bernama Moulson.
Cindy diberikan arahan untuk naik ke lantai 15 dan masuk ke ruangan HRD. Ia pun menuruti seraya membawa berkas lamaran pekerjaan miliknya. Dari ruangan HRD, Cindy diarahkan ke sebuah ruangan kecil yang digunakan untuk rapat. Seorang manajer HRD ikut masuk mewawancarai Cindy.
Setelah semuanya berjalan lancar dan baik, manajer itu langsung memberikan keputusan.
“Sebelum Ibu Cindy resmi bekerja, sebaiknya Ibu Cindy bertemu dengan CEO Moulson terlebih dahulu. Silakan.” Manajer itu mengantarkan Cindy ke ruangan CEO yang terletak di lantai 20. Cindy hanya mengikuti saja meski perasaannya tak enak soal pekerjaan barunya.
Saat Cindy masuk ke ruangan CEO, hanya ada satu pria yang sedang berdiri di sebelah meja CEO yang mewah. Pria itu tersenyum pada Cindy lalu mendekat.
“Perkenalkan nama saya, Edward Harsa, saya adalah Vice CEO Moulson Indonesia. Selamat datang, Ibu Cindy Andriani.” Pria bernama Edward itu menyapa dengan ramah sekaligus berjabat tangan. Cindy sedikit membuka mulutnya lalu mengangguk mengerti. Semula ia mengira jika Edward adalah bos barunya.
“Terima kasih, Pak.” Cindy balas menjawab.
“Silakan duduk. CEO akan datang sebentar lagi.” Cindy pun mengangguk dan duduk di salah satu sofa di ruangan mewah CEO tersebut. Manajer HRD dan Edward sempat berbincang beberapa saat sebelum salah satu pintu dari arah samping ruangan terbuka.
Mata Cindy terbelalak melihat pria yang keluar dari ruangan tersebut. Ia berjalan ke arah Cindy dengan ekspresi dingin. Edward dan manajer HRD bahkan sedikit membungkuk pada pria tersebut. Akan tetapi, Cindy tak bisa bicara sama sekali.
“Jadi dia sekretaris baruku?” tanya pria itu pada manajer HRD dengan pandangan tajam tetap mengarah pada Cindy.
“Benar, Pak.” Pria itu mengangguk berdiri angkuh di depan Cindy yang perlahan bangun dari posisinya. Ujung bibirnya naik tak lama kemudian menunjukkan seringai jahat sama seperti dua minggu lalu.
“Uh, Ibu Cindy. Perkenalkan ini adalah atasan Ibu langsung, Pak Sebastian Arson,” ujar Edward memperkenalkan Sebastian pada Cindy.
“Tugasmu sebagai sekretaris bukanlah tugas yang main-main. Kamu harus mampu melayaniku dengan baik serta mengerjakan seluruh tugas dengan sempurna. Pegawai yang tidak menurut, akan mendapatkan ganjarannya. Apa kamu mengerti?” ujar Sebastian pada Cindy. Cindy diam membeku tak bisa menjawab, bahkan untuk bernapas pun sulit.