Bab 5. Dari Masa Lalu

1109 Words
Cindy terus menundukkan wajahnya kala mengetahui jika Sebastian Arson adalah CEO yang akan menjadi bosnya. Padahal susah payah Cindy mencoba memulihkan diri dari kejadian dua minggu lalu dan kini ia malah masuk perangkap Sebastian. “Tanda tangan kontrak kamu sekarang!” Sebastian memerintahkan Cindy setelah manajer HRD meletakkan sebuah dokumen di depan Cindy. Cindy mengangkat kepalanya lalu matanya mengarah dari Sebastian ke kontrak kerja di depannya. Cindy lalu menggeleng cepat dan menolak. “Maaf, saya tidak jadi melamar pekerjaan ini,” jawab Cindy dengan suara rendah sekaligus bergetar. Manajer HRD dan wakil CEO, Edward Harsa langsung menoleh pada Cindy. Sedangkan Sebastian duduk di sofa di depan Cindy dengan sikap angkuh dan sebelah tangan terlipat mengepal di dekat wajahnya. Pandangan Sebastian yang tajam membuat Cindy takut. Cindy nyaris meneteskan air mata karenanya. Seketika tubuhnya sakit seperti saat malam kelabu itu kembali lagi. “Tapi Bu Cindy sudah diterima bekerja dan seharusnya tidak boleh menolak menandatangani kontrak.” Manajer HRD menyela bicara karena kesal dengan keputusan Cindy. Bola mata Cindy beralih pada manajer itu sedangkan Sebastian masih terus menatapnya tajam belum bicara. “Saya berubah pikiran.” Cindy menjawab pelan. “Apa alasannya?” kini Edward yang balik bertanya. Cindy hanya sekilas melihat pada Edward sebelum menurunkan pandangannya ke pangkuannya lagi. “Saya, saya belum ingin bekerja.” Cindy menjawab dengan sangat ragu. Manajer HRD dan Edward sebagai wakil CEO jadi tampak makin kesal dengan Cindy. Sebastian menaikkan dagunya lalu memberikan kode pada keduanya untuk keluar dari ruangan tersebut. Edward yang kenal sifat Sebastian lantas mengangguk dan mengajak manajer ikut keluar. “Biar Pak Sebastian yang mengatasinya,” bisiknya pada manajer itu. manajer itu pun mengangguk dan membuang muka dari Cindy. Ia berjalan keluar bersama Edward tak lama kemudian. Cindy terkesiap dan langsung cemas saat melihat dirinya ditinggalkan sendirian bersama Sebastian. Cindy kembali menoleh pada Sebastian yang tak berhenti menatapnya seperti seorang pemburu hendak menangkap mangsa. Cindy yang cemas, meremas kedua tangannya bersamaan dan menunduk lagi. “Tanda tangan, Cindy!” Sebastian mendesak dengan sikapnya yang dingin. Cindy meliat sekilas pada Sebastian lalu menggeleng menolak. “Kalau kamu gak mau tanda tangan, kamu ga akan pernah keluar dari tempat ini,” sambung Sebastian mengancam. Sikapnya masih tenang dan dingin tanpa emosi sama sekali. Cindy meneteskan air matanya saat menaikkan pandangannya pada Sebastian. Ia seakan memohon untuk dilepaskan. “Tidak perlu menangis. Aku gak akan kasihan sama sekali.” Sebastian menambahkan dengan menaikkan ujung bibirnya. Cindy menahan isaknya dengan mengulum bibir tapi tidak sanggup menahan air mata yang menetes beberapa kali. “Kamu hanya punya lima detik.” Cindy masih diam tapi sangat ketakutan. Matanya melirik pada pintu dan itu adalah tindakan yang salah karena Sebastian mampu membacanya. Pada detik ketiga, Cindy buru-buru bangun hendak berlari ke luar tapi dengan cepat kaki Sebastian menghalangi sehingga ia terjatuh. “Aahh!” Cindy meringis kesakitan memegang lututnya yang membentur lantai cukup keras sampai berdarah. Sebastian berdiri dan kembali menghalangi Cindy yang berusaha bangun untuk kembali lari. Ia menangkap serta menarik lengan Cindy sehingga bagian depan tubuh mereka bertubrukan. Cindy dengan ketakutan serta kesakitan menggelengkan kepalanya cepat. “Tolong, lepaskan saya, Pak. Lepaskan saya.” Cindy terisak dan memohon. Bukannya luluh, Sebastian makin menggeram marah. Cindy terus menolaknya dari dulu. Bahkan Sebastian sampai menghabiskan beberapa tahun di penjara karena wanita itu dan dia masih menolaknya. “Kamu masih menolakku, Cindy. Aku gak akan pernah melepaskan kamu lagi!” Sebastian mendesis menahan geraman marahnya pada Cindy. Cindy mendorong mencoba melepaskan dirinya tapi cengkeraman Sebastian makin keras. Ia menaikkan tubuh Cindy lalu menyentakkannya sampai ia terjatuh kembali ke sofa semula. “Tanda tangan sekarang! Atau kamu akan merasakan hal yang sama seperti malam itu!” bentak Sebastian menunjuk pada Cindy. Cindy terisak menangis tersedu. Ia ketakutan setengah mati dengan bosnya sendiri. Sedangkan Sebastian terengah mengatur napasnya karena emosi yang bergejolak. Ia sangat marah pada Cindy dan ingin memukul tapi tak sanggup. “Tanda tangan, Cindy!” Sebastian kembali berteriak. Cindy makin gemetaran dan menunduk serta menangis. Sebastian yang tak sabar lantas mengambil pena lalu memaksa Cindy untuk memegang dan tanda tangan. “Jangan, Pak. Jangan!” pinta Cindy memohon. Sebastian jadi mengeras dan diam lalu menoleh pada Cindy. “Apa kamu gak capek terus menolakku, Cin? Apa kamu lupa kalau kamu punya janji padaku mulai malam itu?” Sebastian membalas. Matanya menyorot tajam tanpa ampun. Hati Sebastian makin keras dan sakit saat bisa melihat Cindy lagi. Tangisan Cindy perlahan berhenti dan matanya masih menatap Sebastian. “Saya gak bisa, Pak. Saya benar-benar gak tahu siapa Bapak,” jawab Cindy sejujurnya. “Jangan pura-pura. Kamu memiliki hutang yang harus kamu bayar. Tidak cuma hutangnya Melvin tapi juga hutang di masa lalu kita,” ujar Sebastian. Ia menyentak tangan Cindy yang dipegangnya bersama pena. “Tanda tangan atau aku akan membunuh Melvin karena tidak bisa membayar utang!” Sebastian kembali mengulang. Cindy terjepit dalam keadaan yang sulit. Secara tidak langsung ia menjadi jaminan p********n utang suaminya atau kasarnya Melvin telah menjual Cindy. Cindy tidak tahu caranya melarikan diri. Ia memejamkan mata dengan ujung pena semakin dekat pada kertas lalu menandatangani kontrak kerja tersebut pada akhirnya. Sebastian mendengus menyeringai melihat Cindy menyerah. Ia mengambil kontrak tersebut dan memindahkannya. “Tidak sulit kan? Kamu terlalu banyak drama!” pungkas Sebastian dengan angkuhnya. Matanya lalu menangkap darah di lutut Cindy akibat terjatuh dan terbentur. Ia tak peduli dan kembali menatap Cindy. “Sekarang kamu sudah resmi menjadi Sekretarisku, Cindy. Tugasmu adalah menuruti semua perintahku,” ujar Sebastian berdiri dari sofa. Cindy masih tidak menjawab. Ia bahkan belum sepenuhnya bisa mengurai semua yang sudah terjadi. “Cindy, buatkan kopi untukku. Setelah itu baru kamu kerjakan tugasmu.” Sebastian memberikan perintah pada Cindy yang gemetaran. Cindy menyeka air matanya lalu berdiri. Lututnya terasa sakit tapi Cindy tidak memedulikannya. Ia berjalan keluar ruangan untuk melakukan perintah pertama dari Sebastian. Setelah Cindy keluar, Sebastian memanggil manajer HRD dan wakilnya untuk masuk ke ruangan. “Sekalian bawakan aku plester luka untuk lutut.” Sebastian menitip permintaan singkat tanpa menjelaskan apa yang terjadi. Manajer HRD dan sang wakil, Edward datang sebelum Cindy masuk. Manajer HRD menerima kontrak kerja Cindy yang sudah ditandatangani sedangkan Edward memberikan plester luka yang diminta oleh Sebastian. “Apa Bapak terluka?” tanya Edward setelah memberikan plester tersebut. “Bukan.” Cindy masuk dengan secangkir kopi di tangannya. Ia berjalan pelan dengan wajah tertunduk dan kaki sedikit pincang karena lututnya belum diobati. “Kalian boleh keluar.” Sebastian memerintahkan singkat pada manajer dan Edward. Tanpa bertanya, keduanya segera pergi sedangkan Cindy meletakkan cangkir kopi di meja Sebastian. “Kemari!” Sebastian menyuruh Cindy mendekat. Cindy menurut dengan takut-takut lalu tangannya ditarik paksa dan ia didorong ke sudut meja. “Ah, Bapak mau apa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD