Bab 3. Malam Kelabu

1125 Words
Cindy tidak bergerak dan meringkuk di balik selimut yang membalut tubuhnya. Ia membelakangi Melvin yang duduk di ujung ranjang. Melvin masih cukup sadar dari mabuknya untuk melihat keadaan Cindy. “Cindy?” sebutnya pelan. “Pergi,” jawab Cindy dengan suara pelan nyaris tak terdengar. Melvin menundukkan kepalanya lalu berdiri dan keluar lagi dari kamar. Dari pada harus menghadapi kesedihan Cindy, Melvin pun kembali keluar dari kamar. Sedangkan Cindy tidak sanggup bangun untuk menghadapi kenyataan yang terjadi. Ia merasa kotor dan sangat tidak berharga. Air mata Cindy terus menetes dan akhirnya ia hanya terisak. “Mengapa ini terjadi padaku?” isak Cindy pelan memeluk bantal serta terus menangis. Sementara Melvin pergi menghabiskan waktu di kamar lain. Ia tahu apa yang terjadi pada Cindy dan yang bisa ia lakukan adalah berpura-pura tidak tahu. Keesokan harinya, Melvin kembali ke kamar Cindy untuk menemui istrinya. Di depan pintu, ia sempat berdiri untuk berpikir. Setelah beberapa saat, Melvin mengurungkan niatnya. Ia pergi dari depan kamar. Di dalam kamar, Cindy sudah membersihkan diri sedari subuh. Ia bahkan tidak bisa tidur semalaman sekalipun tubuhnya perih dan sakit. Saat Cindy menatap dirinya di depan cermin, Cindy kembali menangis. Terdapat bekas membiru akibat perbuatan pria yang tidak dikenal oleh Cindy. Tak lama pintu kamar diketuk. Cindy buru-buru menyeka air matanya. Ia berbalik lalu berjalan ke arah pintu untuk membukanya. Kening Cindy mengernyit kemudian. “Selamat pagi, Nyonya. Kami mengantarkan pesanan sarapan untuk Nyonya,” ujar pelayan berseragam restoran hotel dengan senyuman ramah. Di belakangnya, ada sebuah kereta dorong berisi makanan. Cindy tidak menanggapi apa-apa, ia mundur memberikan jalan pada pelayan tersebut mengatur hidangan di meja makan di dalam. Cindy tersenyum pelan setelah pelayan itu selesai menghidangkan sarapan pagi. Di atas meja terdapat setangkai bunga mawar merah dengan secarik kartu. Pelayan itu pun keluar setelah membungkuk memberikan salam. Cindy kemudian mendekat dan duduk di salah satu kursi, ia mengambil bunga mawar dan kartu tersebut. Di dalamnya terdapat tulisan tangan milik suaminya─Melvin. “Selamat menikmati sarapan kamu, Sayang. Suamimu, Melvin.” Tanpa meminta maaf, Melvin hanya mengirimkan sarapan dengan setangkai bunga seolah tidak ada yang terjadi semalam. Kedua bahu Cindy turun karena kecewa serta tangannya jatuh begitu saja di atas pangkuan masih memegang kartu tersebut. Cindy meletakkan kartu itu lalu memulai makan. Meski ia tidak berselera tapi entah mengapa, Cindy mau memakannya. Saat sedang menyuapi makanan dengan pelan tanpa selera, Melvin masuk. Cindy masih meneruskan makan sampai Melvin memeluknya dari belakang. “Maafkan aku,” ucap Melvin pelan memeluk Cindy lalu mengecup sisi keningnya. Cindy menghentikan makan tapi ia diam saja. Melvin lalu pindah ke sisi kanan dan duduk di samping Cindy. Kedua tangannya memegang sebelah tangan Cindy sambil menatapnya. Sedangkan Cindy tidak mau sama sekali menatap suaminya. Ia hanya memandang kosong ke depan. “Soal semalam, kita lupakan saja ya. Aku gak mau kamu tertekan.” Cindy dengan cepat berbalik menoleh pada Melvin dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak percaya jika suaminya bisa bicara seperti itu. “Apa yang sebenarnya kamu lakukan?” tanya Cindy dengan suara bergetar. Melvin sedikit tertunduk malu bahkan sempat membuang pandangannya ke samping. “Aku ... aku punya utang, tapi aku akan membayarnya.” Melvin menjawab dengan sikap salah tingkah. “Bagaimana kamu bisa menjual aku sebagai ganti dari utangmu? Kamu seharusnya jadi suami dan pelindungku, Mas!” Cindy kembali terisak sampai menutup mulut dengan sebelah tangannya. Melvin menunduk semakin menggenggam tangan Cindy yang sudah membuang muka. “Maafkan aku. Aku janji kejadian semalam hanya sekali saja. Itu gak akan terjadi lagi, aku janji. Kita lupakan saja, anggap saja itu tidak pernah terjadi. Oke?” Melvin membujuk Cindy agar melupakan kejadian mengerikan semalam. Cindy makin menangis tapi ia tidak sanggup melawan. Saat Melvin menariknya ke dalam pelukan, Cindy pun menangis saja membiarkan. Setelah Cindy tenang dan tidak lagi menangis, Melvin mengajak istrinya untuk check out dari hotel. Sebelum keluar kamar, ia kembali meminta Cindy agar tidak bercerita pada siapa pun termasuk pada keluarga. “Jangan kasih tahu siapa pun apa yang sudah terjadi. Aku gak mau kakak kamu atau saudara kamu menyalahkan aku dan mungkin melaporkan aku ke polisi. Kamu gak mau aku dipenjara, kan?” tanya Melvin mengungkit rasa cinta Cindy untuknya. Cindy menelan ludahnya menatap Melvin. Pernikahannya dan Melvin bisa hancur jika dirinya menceritakan yang terjadi. Mungkin benar jika ia harus berpura-pura jika hal semalam tidak pernah terjadi. Cindy pun mengangguk tanpa menjawab. Melvin tersenyum melihat sifat penurut Cindy. Ia merangkul istrinya keluar dari kamar menuju lift yang membawa mereka ke bawah. Koper mereka sudah dibawa oleh seorang bellboy yang membantu. Satu minggu setelah kejadian itu, kehidupan Cindy dimulai seperti sedia kala. Ia menjadi ibu rumah tangga melayani suami yang hampir bangkrut. Melvin adalah seorang CEO dari perusahaan makanan serta minuman terkenal dulunya. Kini dengan banyaknya persaingan dan manajemen yang buruk, membuat perusahaan warisan keluarga itu diambang kebangkrutan. “Sialan. Minus terus, ahk!” umpat Melvin melempar kertas-kertas berisi laporan cashflow perusahaan. Lemparan kertas itu mendarat di depan kaki Cindy yang masuk ke ruang kerja suaminya untuk mengantarkan kopi. Cindy sempat memandangi kertas tersebut lalu berjalan mendekat pada Melvin meletakkan kopinya. Ia memunguti kertas-kertas tersebut lalu membacanya. “Mas, ini ....” “Kalau seperti ini terus aku bisa bangkrut!” seru Melvin mulai marah. Ia membentak Cindy tanpa alasan. “Diminum dulu, Mas,” jawab Cindy menyodorkan cangkir kopi untuk Melvin agar dia lebih tenang. Melvin malah menungkupkan kepala dengan kedua tangannya meremas rambut. Cindy meletakkan kembali kertas-kertas yang dilemparkan oleh Melvin di atas meja. Cindy mulai cemas jika Melvin akan marah-marah lagi seperti beberapa hari ini. Melvin malah menepis kembali kertas-kertas tersebut sampai berserakan di lantai. “Ah, jangan taruh kertas itu lagi di mejaku. Aku gak mau liat!” bentak Melvin pada Cindy. Cindy menghela napas panjang lalu melirik pada kertas laporan tersebut. “Apa kamu gak ingin cari kerja? Kamu gak bosan nganggur terus!” Melvin kini mengalihkan rasa kesalnya pada Cindy. Cindy menggelengkan kepalanya pelan. “Aku kan bisa mengurus rumah, Mas.” “Ah, kamu harus pintar dong mencari uang. Kamu gak bisa terus-terusan bergantung sama aku untuk kebutuhan hidup. Banyak wanita di luar sana yang bisa mencari uang sendiri dan menjadi wanita karier,” protes Melvin lagi. Cindy hanya mengulum bibirnya dengan pandangan sedikit menunduk. “Kamu ini gimana sih? Istri pengusaha, lulusan Amerika tapi nganggur jadi Ibu rumah tangga. Kalau kamu punya penghasilan, kamu kan bisa bantu-bantu aku sedikit. Setidaknya aku gak perlu mencari untuk biaya rumah dan lain-lain sehingga uangnya bisa buat modal perusahaan. Nanti kalau semuanya normal, terserah kalau kamu masih mau kerja,” ujar Melvin seenaknya. Cindy sampai terperangah mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Melvin. “Besok kamu lamar di perusahaan deh. Dalam seminggu ini harus dapat! Aku mau keluar, gak usah nungguin aku!” Melvin berdiri dan langsung pergi meninggalkan Cindy yang tidak bisa bicara apa-apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD