"Ternyata kau," ucap Dr. Toni melihat Samuel yang berdiri di depan pintu pagarnya. Pasti dia sudah mengetahui bahwa dirinya terlibat.
"Masuklah. Jangan hanya berdiri di situ." Dr. Toni mempersilahkan Samuel untuk masuk.
"Kau terlibat kan?" ucap Samuel begitu ia sudah memasuki halaman.
"Apa maksudmu?" tanya Dr Toni seraya berbalik menghadap Samuel.
"Tidak usah mengelak. Hanya kau yang bisa tahu bahwa dia vampir. Aroma tubuhnya tidak bisa di deteksi raja vampir sekalipun kecuali kau memeriksa darahnya," sahut Samuel.
Hening sesaat. Mata tajam Dr. Toni menatap Samuel dengan tampang datar.
"Heh. Aku kesal. Mengapa kau begitu cerdas," sungut Dr. Toni, "Ya. Aku terlibat," ucap Dr. Toni lagi.
Samuel langsung mencengkram kerah baju Dr. Toni.
"Mengapa kau lakukan. Untuk apa. Bukankah dia junjungan kita," bentak Samuel. Ingin sekali ia meninjunya. Tapi ia harus mengorek informasi dan memilih menahan emosinya.
"Justru itu. Karena dia tidak akan menjadi hebat selama berada di antara kalian. Dia harus sadar siapa dirinya."
Bugh.
Sebuah tinju melayang ke perut Dr. Toni. Ia pun tersungkur.
"Tahu apa kau. Kami hanya meneruskan amanah Tuan Druf. Agar ia hidup selayaknya manusia normal. Bahkan jika penemuanku berhasil sedikit lagi ia sudah bisa jadi manusia seutuhnya," terang Samuel penuh penekanan. Ia sudah begitu emosi. Orang yang tidak tahu apa-apa bicara seenaknya mengenai perjuangannya selama ini.
Dr. Toni menarik bibirnya ke samping. Ia tersenyum sinis kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Ternyata kau bodoh Samuel," ucap Dr. Toni kemudian tertawa lagi.
"k*****t, katakan dimana kau sembunyikan Adam!!" Samuel menyerang Dr. Toni tapi sayang tinjunya kali ini meleset.
"Aku tidak akan mengatakannya. Tenanglah Samuel. Adam berada di tangan yang tepat. Dia akan memenuhi ramalan itu."
"Ramalan apa yang kau maksud?" Samuel mengernyit.
"Kau sudah tahu bukan."
"Jangan bertele-tele katakan saja b******k!" hardik Samuel menendang meja yang mengarah ke Dr. Toni. Namun malah hancur membentur tembok.
"Seperti ceritamu kemarin. Dia adalah anak yang diramalkan. Sang penguasa. Kekuatannya mampu menghancurkan kita. Anak yang tidak boleh jatuh ke tangan yang salah. Karena dia bisa jadi satunya alasan kehancuran dunia. Karena itulah aku membantu ramalan itu untuk terwujud"
"Omong kosong!" ucap Samuel. "Aku tak mau lagi dengar ocehanmu. Selama ini dia sudah menjadi manusia biasa dan menjalani hidupnya dengan normal. Dan kau merusaknya." Samuel menendang kursi yang ada. Namun Dr. Toni sanggup menghindar lagi.
"Dia sebagai God of Kindness atau Sang Godness, harus memenuhi ramalannya," ucap Dr. Toni.
Samuel terpaku. Kakinya gemetar. Matanya terbelalak.
"Mustahil. Jangan lakukan apapun padanya," ucap Samuel. Ia jatuh terduduk. Kekuatannya tiba-tiba saja menghilang mendengar rencana dibalik penculikan Adam agar ia memenuhi ramalannya.
"Untuk apa kita buang waktu lagi. Usianya sudah cukup untuk berubah. Setidaknya pengorbanan Nyonya Elena yang rela menjadi vampir ketika melahirkannya tidak sia-sia. Jangan beralasan lain Samuel, jika hanya untuk menghindari kenyataan bahwa kau juga terlibat. Begitu kan, rencana kita dulu. Apa kau ingat impian dan janji kita dulu jika ramalan itu benar adanya." ucap Dr. Toni sarkas.
"Tidaaakkkk. Itu mustahil. Aku tak menginginkannya lagi," teriak Samuel. Air mata mengalir. Ia bisa melihat kegagalan dirinya dalam mewujudkan impian tuan Druf.
"Adam ada bersama para bangsawan. Pasrahkan pada mereka," Dr. Toni member Samuel sedikit petunjuk.
Pada saat itulah Hari masuk. Terkejut. Melihat Samuel menangis di depan ayahnya.
***
"Lepas. Mau kalian bawa kemana diriku." Jay meronta-ronta. Namun kedua orang berjubah hitam semakin mempercepat langkahnya. Menyeretnya memasuki ruangan gelap kemudian menguncinya dari luar.
Gelap. Mencekam. Hanya detak jantung dan nafasnya sendiri yang ia dengar. Takut. Tentu saja. Jay merasa ketakutannya melebihi ketika bertemu raja vampire pertama kali. Namun Jay harus bergerak. Ia harus memastikan dimana dirinya berada. Tangannya meraba-raba dinding. Namun tak ada jendela satupun. Ia berhenti bergerak ketika ia merasakan nafas seseorang dilehernya yang membuat merinding.
Jay berbalik matanya yang tak jua terbiasa dengan kegelapan tak menemukan siapa pun selain gelap. Namun ia merasa ada sesuatu. Tapi apa.
"Siapa itu?" teriaknya. Suaranya memantul memenuhi ruangan. Tak ada jawaban. Jay mulai merasa panik. Ia harus bergerak mencari jalan. Dengan tergesa ia kembali meraba dinding. Bergerak menyamping. Hingga ia merasakan nafas itu lagi dilehernya. Jay berbalik.
"Tunjukkan wajahmu. Jangan main-main denganku." teriak Jay lagi. Degub jantungnya terasa berpacu lebih cepat. Nafasnya tak beraturan. Ia mencoba menajamkan penglihatannya. Hingga ia merasakan kehadiran seseorang berjalan semakin dekat kearahnya.
"Siapa disitu?!" teriaknya lagi. Sepasang mata merah menyala terbuka tepat dihadapannya. Belum sempat ia kabur. Tubuhnya sudah di peluk erat pemilik mata merah itu. Jay berupaya melepaskan diri. Namun aroma tubuh yang menangkapnya begitu melenakan sehingga ketika lehernya terasa sakit karena sebuah gigitan ia tak lagi peduli.
***
Entah sudah berapa lama Jay pingsan. Ia membuka mata. Masih gelap namun kali ini ada sedikit cahaya. Ia mencari asal cahaya kebiruan itu. Dan sungguh diluar nalar. Cahaya itu berasal dari sebuah batu besar. Dan lebih tidak masuk akal lagi. Seseorang berbaring di atasnya. Sejak kapan. Apakah orang itu yang menggigitnya.
Jay berjalan mendekat. Ia penasaran sekaligus takut. Tapi rasa penasarannya menuntunnya untuk lebih dekat lagi dan memastikan. Dan apa pun yang dilihatnya sekarang ia tidak percaya.
"A.... Adam," desisnya. Mata Adam terbuka. Matanya merah menyala. Melihat hal itu Jay mundur beberapa langkah dengan waspada. Ia yakin dia-lah yang menyerangnya barusan. Reflek Jay memegang lehernya. Ia menemukan cairan lengket di sana. Bau anyir darah langsung terasa ketika Jay mencium cairan itu.
Adam bergerak bangkit. Ia menatap Jay. Kemudian bergerak kembali mendekatinya.
"Diam disitu Dam. Jangan mendekat. Pergi jauh dariku!" teriak Jay ketakutan.
Adam terdiam. Jay pikir teriakannya tadi berhasil. Namun Adam mengangkat satu tangannya. Memberi kode agar Jay yang mendekat.
"Aku tidak mau," tolak Jay. Namun entah apa yang terjadi. Tubuhnya bergerak sendiri ke arah Adam. Bahkan suaranya mendadak hilang dan tubuhnya kaku. Ia hanya bisa terbelalak ketika Adam menggigit lehernya dan menghisap darahnya kembali. Rasa panas menjalari tubuhnya. Pandangannya nanar.
***
"Jangan lupa memberi makan anak itu. Jangan sampai ia mati karena kehabisan darah," ucap lelaki bertudung di atas singgasananya.
"Baik tuan," saut lelaki yang menunduk dihadapannya.
"Tuan, Putri Alice mulai menanyakan teriakan-teriakan di ruangan suci. Apa yang harus kami katakana?" tanya seorang perempuan yang baru tiba di ruangan.
"Carilah alasan yang membuatnya jauh dari area itu. Atau kau tahu kan apa yang ditakuti putriku. Katakan saja mahluk itu ada di ruangan itu dan suruhlah dia menjauh."
"Baik tuan," ucapnya kemudian pamit pergi.