Elena melihat foto Adam. Betapa ia sangat merindukannya. Tujuh belas tahun bukan waktu yang singkat. Selama itu ia cukup menderita. Tak tahu bagaimana kabar suami kemudian dihadapkan larangan bertemu dengan anak yang dikandungnya susah payah. Penderitaan mana lagi yang lebih besar dari itu. Rasanya ia tak mampu lagi berdiam diri. Haruskah ia sendiri keluar mencari Adam. Tapi. Bagaimanapun selama ini ia sama sekali tak pernah keluar rumah. Lalu kemana ia harus mencari. Air mata darah mengalir di kedua matanya.
"Adam." bisiknya.
Foto-foto berserakan di kasurnya. Ia cium satu persatu mewakili kerinduannya selama bertahun-tahun. Pintu terbuka tanpa di sadari Elena.
"Nyonya. Bisakah kau turun. Kabar keberadaan Tuan sudah ditemukan," ucap Frans dan langsung membuat Elena menyusut air matanya.
"Baiklah," ucapnya kemudian bergegas turun mengikuti langkah Frans menuju ruang keluarga. Di sana Samuel dan Brian sudah menunggu. Yang jelas, apapun yang terjadi Elena akan melakukan segalanya untuk menemukan putranya.
***
Jay meneguk air dengan tergesa. Piring yang tadinya penuh kini telah kosong tergeletak di sampingnya. Ia sangat lapar dan haus. Beruntung mereka masih mau berbaik hati memberinya makan dan beruntung pula vampir ganas itu masih tidur.
"Huk . huk." Jay tersedak. Ketika melirik ternyata Adam sudah duduk memperhatikannya.
Ia sama sekali tak menyangka jika dia adalah Adam. Siswa terpopuler di sekolah. Ia juga masih ingat pertemuannya kemarin dengan Adam. Ya. Saat itu dan sekarang Adam terlihat berbeda. Sekarang wajahnya sangat datar. Tatapannya kosong mungkinkah ia masih ingat bahwa dirinya adalah temannya.
"Hei. Kau sudah bangun rupanya," sapa Jay.
Adam menatapnya tajam. Iris mata merahnya membuat Jay bergidik. Tapi ketimbang berdiam diri dan memandangnya dengan ketakutan lebih baik ia bicara.
"Kau ingat aku kan Dam. Aku temanmu," ucap Jay mendekat. Adam tak bergeming.
"Masa kau lupa. Kita kemarin ketemu di depan koridor sekolah. Ah, ayolah, jangan membuatku takut seperti itu." Canda Jay sambil menyikut lengan Adam dan duduk di sampingnya.
"Kau boleh menghisap darahku kapan pun kau mau. Tapi sisakan untukku sedikit ya. Kita kan teman. Jadi penting buatku untuk hidup dan tetap disampingmu. Iya kan. Dan kau tahu. Ini memang sudah janjiku pada ayahmu," ucap Jay jujur.
"Ayah."
Jay terperanjat. Ini suara pertama yang di dengarnya dari Adam selama beberapa hari terkurung bersamanya. Jay merasa senang. Setidaknya Adam masih bisa bicara dan mau mendengarnya.
"Ya. Aku dulu dibantu ayahmu. Aku masih bisa tetap muda karena ayahmu. Tapi aku masih manusia biasa tidak berubah seperti dirimu. Ayahmu baik. Meski ia tak sempurna dan melayang kesana kemari seperti hantu bergentayangan ia tetap hebat. Ia tak pernah menggigit atau menghisap darah sepertimu. Tapi kamu__" Jay menggantung ucapannya. Ia memandang Adam namun kemudian bergidik karena melihat tatapan tajam Adam kepada dirinya.
"Ah. Tidak apa-apa walau kau berbeda kau tetap anaknya bukan. Hahahaha." Jay tergelak mencoba mengusir aura kaku yang tiba-tiba menyerangnya.
Kriiieeeettttt....
Pintu besar terbuka. Tampak beberapa mahluk bertudung memasuki ruangan. Jay langsung bersembunyi di balik batu. Di belakang Adam. Ia mengintip. Selain mahluk bertudung masuklah beberapa laki-laki dan wanita membawa nampan di tangannya.
"Tuan... kami sangat bahagia dengan kebangkitan anda," ucap satu orang yang berdiri paling depan kemudian membungkuk diikuti yang lain. Sementara Adam menatap mereka tak bergeming.
"Kami. Sudah mempersiapkan semua kebutuhan Tuan. Ini penting untuk kemunculan pertama tuan nanti," lanjutnyanya. Kemudian beberapa orang yang membawa nampan menaruhnya di atas batu.
"Dan kami mohon ijin membawa persembahan kami untuk dibersihkan," ucapnya pula.
Kemudian dua orang bergerak mencari-cari dan tanpa disangka menangkap Jay dan menyeretnya.
"Dam. Jangan biarkan mereka membawaku. Aku temanmu bukan," teriak Jay sambil meronta-ronta.
Bug.
Sebuah tinju melayang ke pipi Jay.
"Kau tidak sopan pada junjungan kami," geramnya.
Jay melenguh. Pipinya sangat sakit. Dan ia merasakan anyir di mulutnya. Ia merasa mulutnya terluka.
"Lepas," ucap Adam dengan suara datar dan tatapan dingin di samping Jay. Entah kapan ia berjalan. Tiba-tiba saja ia sudah berdiri di sana.
Wajah pemimpin bertudung itu tampak keberatan. Namun menerima tatapan dingin Adam membuat keberaniannya mengkerut.
"Baiklah jika itu keinginan tuan. Kami tahu apapun keputusan tuan itulah yang terbaik," ucapnya kemudian pamit. Setelah melepaskan Jay. Semua orang pamit dan menyisakan Adam berdua dengan Jay.
"Huh. Mau apa mereka denganku," sungut Jay. "Makasih ya Dam," ucap Jay hendak memeluk Adam, namun urung melihat tatapan Adam yang menusuk.
Mengerikan, bisik Jay dalam hati. Temannya itu tak lagi tampak seperti dulu. Wajahnya kaku. Ekspresinya dingin. Dan tatapannya tajam dan menusuk. Iris matanya merah tua kadang merah menyala. Apa yang terjadi. Kemana mata biru itu. Seiring perubahannya itu. Apakah ia tetap Adam yang sama? Adam, siswa terkenal di sekolah. Atau ia sudah menjelma seorang monster. Jay sibuk menerka-nerka. Dalam keheningan yang tercipta ia menatap Adam yang sama sekali tak beranjak dari tempatnya. Ia seperti mayat hidup. Duduk kaku dengan posisi sama. Hanya tampak kedua matanya yang mengerjap. Kadang merah tua, merah menyala bahkan hitam legam. Dan kadang biru seperti biasa.
Sementara di luar ruangan di antara semak-semak seorang putri berdiri diikuti pelayan setianya.
"Kau lihat sendiri kan, dengan santainya ayah dan lainnya keluar masuk ruangan itu. Aku tak percaya ada monster di dalam sana. Ini pasti trik ayah agar aku menjauhi apa pun yang ada di dalamnya," sungutnya.
"Sudahlah putri Alice. Apapun yang ayahmu lakukan itu semua demi kebaikanmu." Hibur teman setianya Shika.
"Tetap saja aku kesal. Aku sudah dewasa. Setidaknya beri tahu kebenarannya dan biarkan aku memutuskan apakah aku akan menurut atau tidak. Aku benci ayah." Alice frustasi.
"Ketimbang kita bikin masalah di sini. Yuk ke taman belakang lihat para ksatria berlatih menggunakan kekuatannya. Siapa tahu ada yang putri suka." Ajakan Shika kali ini berhasil. Alice langsung mengiyakan. Walau bagaimanapun ia bertanggung jawab menjaga Alice. Termasuk menjauhi makhluk apapun yang ada di balik ruangan itu.
***
Gelap.
Rasanya Jay kekurangan vitamin D berada terus menerus di ruangan itu. Ia butuh cahaya matahari. Lagian tak ada hal apapun yang bisa dilakukannya kini. Selain menunggu makan. Tidur di lantai yang dingin dan dihisap Adam.
"Dam. Ingat tidak. Harusnya kita belajar sekarang. Bulan depan ujian sekolah lo," tutur Hari. Ia duduk bersender ke batu pembaringan Adam. Tak ada sahutan. Di tengoknya Adam masih duduk seperti beberapa jam yang lalu.
"Kau ini meditasi atau apa sih. Gerak dikit kek. Geser atau muter-muter gitu. Gak sakit gak gerak kayak gitu?"
Tidak ada sahutan.
"Okelah. Sepertinya julukan cowok coolmu aku cabut. Sebagai gantinya julukanmu itu sekarang cowok kutub. Yeah kurasa itu lebih pas. Kuingat-ingat rasanya ayahmu gak sedingin ini deh," cerita Jay. Ya ia lebih suka memilih bicara ketimbang diam dalam sepi yang membosankan.
"Ayahmu itu juga tampan. Ia baik. Dan sangat menghormati manusia. Ia bilang, andaikan bisa ia ingin menjadi manusia biasa. Bahkan ia berharap anaknya maksudku kamu terlahir sebagai manusia," ucap Jay lagi.
Adam menatapnya lurus. Ia sedikit bereaksi.
"Eh, maksudku kalaupun sudah terlanjur begini. Ya setidaknya kamu baik. Hehehe. Vampir baik juga gak masalah kan. Toh aku tetap awet muda begini juga berkat vampir. Hehehe. " Jay menghibur, takut Adam marah.
"Ayah. Manusia." Itu yang terucap di bibir Adam.
"Koq ngomongnya aneh. Apa sih yang mereka perbuat sampai kamu begitu."
Adam mendekat dan menjulurkan telunjuknya. Jay mundur karena takut. Namun sayang posisinya membuat ia tak bisa bergerak kemanapun. Ketika telunjuk itu menyentuh dahi Jay. Adam mematung cukup lama. Apa maksudnya ???
"Kau jujur," ucap Adam.
"Heh. Jadi kau membaca pikiranku sekarang. Kau pikir aku bohong apa?" Jay kesal. Namun Adam sudah berbaring dan memejamkan matanya.