Tujuh

1956 Words
Adam menatap Tiara tajam. Untuk kedua kalinya gadis itu mengotori seragamnya. Bagaimana bisa gadis secantik dia itu ceroboh. Kali ini saus tomat mengenai baju di bagian dadanya. Tiara sendiri merasa horor. Bahkan Rani di sampingnya sempat memekik. Bagaimanapun hanya mereka berdua yang tahu seberapa mahalnya seragam itu. Bedanya kali ini Adam tak memikirkan kondisi bajunya seperti sebelumnya. Ia menatap Tiara. Ingatan kejadian tempo hari masih diingatnya. Namun entah mengapa sepertinya gadis itu sama sekali tak mengingatnya. Tiara bersikap seolah tak terjadi apa-apa antara mereka. Dia seperti hilang ingatan. "Sini, biar aku bersihkan." Tiba-tiba seorang gadis cantik berambut panjang meraih tisu di meja dan menghapus tomat yang masih menempel di seragam Adam. Kejadian itu cepat sekali tanpa sempat Adam cegah. "Hei, siapa elu," ucap Hari menjauhkan Adam dari gadis itu. Adam menggunakan kesempatan itu untuk pergi. Entah kenapa kepalanya mendadak pusing. "Hello, Hari gini elu gak tau gue," ucapnya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. "Emang gue Hari," ucapnya sok polos. "Gue itu princess. Artis papan atas. Dasar cupu lo," sergahnya. "Gak penting. Jauhi Adam Hush. Hush." Hari mengibaskan tangannya. "Emang elu siapanya dia. Sok banget sih elu." "Eh, lebih baik elu pegi sono. Eneg gue." Rani ikut nimbrung. Tiara melotot menyuruh Rani agar tidak ikutan. Tapi gadis itu tak mendengarkan. "Ish. Ini lagi cewek centil. Sok kecakepan deh elu." "Heh, jaga omongan elu." "Emang nape." Hari yang sejak tadi bicara mendadak diam. Menarik mundur Rani agar tidak meladeni. "Sudah ayuk pergi. Jangan ladenin nenek gila." Tiara langsung menyusul Hari dan Rani yang sudah pergi duluan. Princess berdecak sebal pada ketiganya. "Awas kalian ya." Tinju Princess diacungkan ke udara. Siswa lain yang sejak tadi menonton adegan tersebut hanya geleng-geleng kepala. Di tempat lain Adam berdiri di depan cermin. Menatap dirinya. Sejak tubuhnya di cambuk. Ia merasakan reaksi aneh dalam dirinya. Ya. Ia sering kehausan. Kerongkongannya kering dan lambat laun terasa mencekik. Kali ini pun begitu. Sekuat tenaga ia menahan sakitnya. Kukunya menghitam. Ia segera memutar kran dan meminum sebanyak mungkin. Namun usahanya sia-sia. Justru ia benar-benar tak bisa bernapas. Di tatapnya cermin. Matanya memerah. Melihat pantulannya itu ia kembali mengingat mata Samuel dan taring yang mencuat di sela giginya. Tidak. Bukannya kata Frans itu hanya halusinasinya semata. Pasti sekarang ia juga berhalusinasi. "Astaga. Kau kenapa?" teriak seorang siswa.   ***   Hari tidak menemukan Adam. Ia pikir sejak kejadian di kantin itu ia langsung balik ke kelasnya. Tapi ternyata Adam tidak ada. Menurut Rani dan Tiara, Adam memang tidak kembali. Dika pergi mencarinya. Namun sampai jam sekolah berakhir, baik Dika maupun Adam tidak ada yang kembali ke kelas. Kemudian Hari menyuruh Rani membawa tas keduanya yang tergeletak di meja masing-masing. Mereka bertiga mencari Adam dan Dika. Di kebun tempat biasa ia nongkrong. Di perpus. Di seluruh kelas. Mereka tak menemukannya. "Apa sebaiknya kita lapor pada guru?” tanya Tiara. "Jangan dulu. Masih ada satu ruangan yang belum kita kunjungi." Tunjuk Hari pada sebuah ruangan bertuliskan UKS. Mereka bertiga masuk bersama dan menemukan salah satu orang yang mereka cari. Dika. "Dik. Elu darimana sih. Kita__" Kalimat hari menggantung saat Dika menaruh satu telunjuknya di depan bibirnya. Ketiganya langsung mengerti isyarat tersebut ketika melihat Adam di atas pembaringan. Matanya terpejam.. Bibirnya terlihat pucat. Hari segera menarik tangan Dika untuk keluar dari ruangan itu. Mereka berempat tidak mungkin bicara di dalam. "Dia kenapa ?" tanya Hari pelan. "Gue nemuin dia di kamar mandi sudah tak sadarkan diri. Gimana nih. Dokter jaga UKS tidak ada. Katanya lagi rapat. Adanya siswa yang piket. Karena suhu tubuhnya dingin. Daritadi gue cuma ngompres dia dengan air hangat." Tiara mendadak hawatir. "Gimana nih, kalau dia kenapa-kenapa__" Tiara menggantung kalimatnya. "Gue ada ide. Sekolah uda pada sepi. Kalian juga harus pulang dan Pasti sopir pribadi Adam udah nungguin. Sebaiknya Elo ma Rani pulang. Biar gue ma Dika manggil tuh sopir supaya bantuin kita gantian gotong si Adam." Tunjuk Hari pada Tiara dan Rani. Usul Hari langsung di setujui ketiga temennya. Tiara dan Rani langsung menuju parkiran. Dika dan Hari menemui sopir Adam. Tak lama Pak Parmin pun sudah tiba di ruang UKS. Namun sayang di tempat seharusnya Adam terbaring tidak ada siapa pun lagi. "Aduh tuan, bagaimana ini." Sopir itu tampak cemas. Selain menghawatirkan tuan mudanya. Ia juga hawatir pada kemurkaan tuan Samuel. Tidak ada hal yang lebih menakutkan baginya selain kemurkaan tuannya itu. "Kita cari dia pak. Mungkin takkan jauh mengingat kondisinya itu," ucap Hari. "Usul bagus nak," ucapnya. Kemudian berpencar mencari Adam. "Lo, kalian belum pulang ?" tanya Dika melihat Rani dan Tiara berdiri di depan mobilnya. Keduanya menggeleng. "Kita mau ikut Adam," jawab Tiara yang diikuti anggukan Rani. "Adam menghilang." Keduanya terkejut, dan berinisiatif membantu mencari. Di tempat lain, Adam memegang tenggorokannya. Ia berjalan setengah pusing. Saat mendengar suara Hari memanggil namanya ia bersembunyi di ruangan aula musik. Dari tempatnya berdiri ia melihat Hari melintas dan berjalan menjauh. Ia tidak ingin seorang pun mengetahui kondisinya yang aneh. Apalagi Hari. Tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang. Adam terkejut. Ia langsung melepas tangan itu dan berbalik. "Kau." ucapnya tertahan karena mulutnya di tahan jari telunjuk Princes. Sementara sesak dan sakit di dadanya semakin menyiksa. "Adam sayang. Gak nyangka ketemu lu di sini." Princes kembali memeluknya. Indera penciuman Adam mendengus leher Princes. "Apaan sih, geli tahu," ucap Princes dengan manja. Napas Adam semakin berat. Pandangannya tidak jelas. Ia selalu melihat ke arah leher gadis di hadapannya. Pikirannya tak lagi jernih. Leher itu terasa menggoda. "Kau wangi," ucap Adam ketika hidungnya mencium aroma darah Princes. "Adam bisa aja deh," Sahut Princes manja. Ia mengalungkan kedua tangannya di leher Adam. Membuat Adam semakin tersiksa. "Pergi," ucap Adam ketika kesadarannya berkuasa. "Jangan begitu. Aku akan lakukan apa pun asal kau mau jadi pacarku," ucapnya. Kesadaran Adam menghilang. Saat gadis itu mencium bibirnya matanya terbuka. Iris matanya semerah darah. Ia mendorong gadis itu. Kemudian hidungnya mencium leher Princes. Sampai gadis itu tersenyum menikmatinya. Namun tanpa ia sadari saat itu taring Adam mencuat dan hendak menggigit lehernya yang mulus. Beruntung ia ditarik sebuah kekuatan sampai terjatuh di atas matras dalam keadaan tak sadar. Sebagai gantinya, taring Adam menancap di leher seseorang yang dua hari ini telah mengawasinya. Tesss.. Adam menghisapnya dengan rakus. Bagi vampir yang baru mengenal rasa darah. Maka akan susah baginya untuk menghentikannya. "Adam.. kuasai dirimu." "Dam!" bentaknya.  Menyadarkan Adam sehingga melepaskan gigitannya. Ia terkejut tak percaya menerima kenyataan apa yang telah dilakukannya kepada seorang siswa yang bahkan ia tidak tahu namanya. Apa yang telah dilakukannya. Ini diluar nalar. Bagaimana mungkin ia menghisap darah manusia. Adam berlari meninggalkan siswa itu. Bahkan ia tak sadar dengan keberadaan Hari dan membenturnya. "Adam. Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Adam terdiam. Ia meninggalkan Hari ke parkiran dan mengajak sopirnya untuk pulang.   ***   Adam membuka pintu pelan. Ia melangkahkan kaki sepelan dan secepat mungkin. Namun baru saja kakinya menginjak ujung tangga. Seseorang menegurnya. "Sudah pulang ? Mengapa telat ?" tanya Samuel. "Kerja kelompok." sahut Adam pendek. "Kerja kelompok ma siapa?" "Hari ma Dika," jawab Adam cepat. Karena tak ada suara lanjutan ia pikir jawaban itu sudah mewakili rasa penasaran Paman Samuel. Adam segera ke kamarnya. Ia mengganti bajunya dan merebahkan tubuhnya. Ia masih merasakan tubuhnya memanas. Masih diingatnya apa yang telah dilakukannya barusan. Tidak. Ini mustahil. Teriak hatinya. Ini hanya halusinasi. Tok.Tok. "Dam, apa kau sudah tidur ? Kalau kau lapar makanan untukmu ada di kulkas. Kami semua mau keluar sebentar," ucap Brian. Adam tak menyahut. Suasana kembali sepi. Tak lama setelahnya terdengar deru mobil di halaman. Adam mengintip di beranda. Ia melihat Paman Samuel membukakan pintu untuk seorang perempuan. Ternyata perempuan itu ikut juga. Jadi sekarang dia sendirian di rumah. Adam teringat lagi kejadian tadi di sekolah. Ia memandang dirinya di cermin. Ingatan ia menggigit manusia membuat pikirannya stress. Ia merasa takut dan gelisah. Apa salahnya sampai ia menjadi monster. Tubuh Adam menggigil. Mendadak rasa dingin memerangkap tubuhnya. Ia masuk dalam selimut. Pintu terbuka. "Dam. Kau baik-baik saja? Mengapa sejak pulang sekolah kau tak keluar kamar sama sekali?" tanya Frans. Tak ada jawaban. Ia merasa dari gerakan selimutnya Adam terlihat sedang terguncang. Apa yang terjadi ? "Dam?" Ia memeriksa suhu tubuhnya. Memeriksa denyut nadinya. Tergesa Frans keluar kamar mengambil senter kecil di atas nakas. Setelah kembali ia mendapati Adam tak bergerak sama sekali. Dengan sigap Frans langsung memeriksa mata Adam. Mencari tanda-tanda yang ia hawatirkan. Dan benar mata itu memerah. Astaga. Frans agak panik. Tapi ia juga harus tenang. Samuel tidak boleh tahu hal ini. Adam belum siap menerima kenyataan apa pun. Bahkan dia sendiri sampai mengalami trauma seperti ini. Frans mengambil cairan anti depresan dan menyuntikkannya ke tubuh Adam.                 “Dam, bernapas, tarik napasmu pelan-pelan,” bisik Frans. .   *** Adam terbangun. Ia merasa lebih segar dari sebelumnya. Perutnya pun mulai keroncongan. Ia bangkit menuju dapur. Namun pintu lift di ujung sana menarik perhatiannya. Ia dilarang menaiki lift itu. Karena lift itu langsung tertuju ke kamar di mana perempuan itu tinggal. Adam mendekat. Ia melihat angka-angka di samping pintu. Sebenarnya ia tidak tahu berapa kode agar pintu lift terbuka. Tapi karena Adam sering melihat Paman Frans membukanya ia jadi hafal. Di tekannya papan tombol dengan hati-hati. Pintu pun terbuka dan tertutup kembali dengan Adam di dalamnya. Dalam waktu sekejap pintu kembali terbuka di depan lorong yang dindingnya dipenuhi pigura. Foto perempuan itu dengan seorang lelaki tampan bermata biru. Alexandru Cezar & Elena Cezar. Tulisan itu terpampang jelas di bawah foto yang paling besar di antara yang lain. Ya, merekalah kedua orang tuanya. Pria yang belum pernah Adam lihat dan perempuan itu yang masih awet muda. Adam membuka pintu itu pelan. Itu satu-satunya pintu yang tersedia. Berarti lantai teratas rumahnya hanya dihuni gadis itu atau lebih tepat ibunya. Kamarnya penuh dengan foto Adam. Sejak ia bayi hingga dewasa. Selain hal tersebut tidak ada yang istimewa dari kamar itu. Adam membuka laci. Karena tujuan Adam sebenarnya adalah mencari informasi. Namun ia tidak menemukan apapun. Buku atau catatan apapun tidak ada. Di sudut ruangan lain ia hanya menemukan layar yang masih menyala. Adam paham sekarang kalau wanita itu terus memerhatikannya melalui layar itu yang langsung terhubung ke cctv yang sudah terpasang di beberapa titik. Ah ya, apakah kamera itu menyimpan rekamannya ketika menaiki lift. Adam segera memeriksanya. Dan benar disana ada rekamannya saat memencet tombol di depan pintu lift.. Dengan berbekal kecerdasannya. Tidak butuh waktu lama bagi Adam untuk menghapusnya dan merekayasa rekaman lain. Huft. Adam bernapas lega. Untung saja ia melihat layar itu. Kalau tidak ia akan ketahuan. Tlululut.tlululut. Telpon di kamar itu berdering. Adam ragu. Antara mengangkatnya atau tidak. Tlululut. Tlululut. Adam penasaran. Ia menggerakkan tangannya untuk mengangkatnya. "Halo, gimana kabarmu nyonya? Aku ingin mengabarimu kabar baik. Kondisi tuan Druf mengalami peningkatan. Perkiraanku, satu bulan lagi ia akan bangkit. Oia, gimana kabar Adam. Tuan Druf pasti tidak sabar ingin memeluk anaknya itu." Suara tawanya membahana. Adam terkesiap mendengar namanya di sebut. Siapa tuan Druf. Ayahnya? "Apa ia gagah seperti tuan ? Aku sangat penasaran nyonya. Apakah taring giginya juga sudah tumbuh. Jangan-jangan dia bukan vampir seperti ayahnya. Mungkin malah mirip nyonya. Manusia murni. Tapi nyonya senang kan jika ia manusia biasa nyonya bisa memeluknya dan hidup bersama dengannya. Aduh, Maaf nyonya jika aku banyak bicara. Baiklah, aku mau mengganti kantong darah tuan yang sudah habis. Selamat istirahat nyonya." Tut. Tut. Tut. Sambungan telepon di putus. Kaki Adam gemetar. Ia terduduk lemas. Ucapan seseorang barusan sulit ia cerna. Ia paham maksudnya, tapi ia sulit menerima kenyataan. Adakah hal yang lebih masuk akal untuk ia terima. Adam menjambak rambutnya. Ia terbiasa melakukannya jika sedang frustasi. Terdengar suara deru mobil di bawah. Adam terkejut. Ia kembali mengintip di beranda tempat biasanya ibunya berdiri melihatnya. Mereka sudah datang. s**l. Bagaimana caranya agar ia bisa turun. Adam menaiki pagar balkon. Ia tidak yakin bisa melakukannya. Tapi harus ia lakukan. Karena itulah jalan satu-satunya agar sampai di kamar tanpa ketahuan siapapun. Adam meloncat dari atas kemudian mendarat di balkon kamarnya sendiri. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD