Adam berusaha tidur kembali. Namun ia gelisah. Bayangan ia mencium Tiara masih tergambar jelas dibenaknya.
"Menyentuh wanita yang bukan istrimu itu dosa. Selain akan membuat wanita itu terus mengejarmu. Kau juga merusak kesuciannya sebagai manusia dan menurunkan derajatmu sebagai seorang pria."
Terngiang ucapan Frans di telinganya tempo hari. Sepertinya ia telah berbuat suatu dosa, Apakah ia akan terkena hukuman.
"Hukumannya jika kau melanggar. Kau akan dicambuk dan dihukum diruangan isolasi."
Kali ini suara Brian yang terngiang. Adam menutup kepalanya dengan bantal. Mungkinkah hukuman itu ada. Jika ia, sanggupkah dirinya menjalaninya. Andai saja ia menyentuh Tiara karena ia suka mungkin ia akan rela dihukum sedemikian rupa. Namun apa yang dilakukannya adalah napsu. Lantaran ia tidak tahan mencium wangi Tiara.
Astaga. Ia melanggar aturan. Bodoh, makinya pada diri sendiri.
"Benarkah?"
Ucap sebuah suara yang langsung membuat Adam gelagapan. Samuel menatapnya dengan tajam.
"A...apa maksud paman?" tanya Adam. Tidak mungkin kan pamannya tahu apa yang ia pikirkan.
"Frans! Brian! Bawa ia ke ruang isolasi!" teriak Samuel.
Frans dan Brian terpaku mendengar teriakan Samuel. Keduanya segera ke kamar Adam.
"Apa salahnya, hingga kita harus menyeretnya ke ruang isolasi?" tanya Frans.
"Dia sudah mencium temannya yang bernama Tiara." terang Samuel.
"Benarkah itu Adam?" tanya Brian.
Adam menunduk dalam. Dan diamnya itu berarti iya. Frans menarik napas. Ternyata dugaannya saat teman Adam datang dan melihat Tiara tidak salah. Bau Adam memang menempel pada gadis itu.
"Apa ini tidak berlebihan?" tawar Frans kepada Samuel. Ia tidak tega menghukum Adam dengan cambukan.
"Kalau kau terlalu memanjakannya. Dia akan semakin melanggarnya!" bentak Samuel.
Tak ada jalan lain selain Frans dan Brian membawa Adam ke ruangan kosong di lantai dasar rumah ini. Ruangan itu memang dibuat husus untuk penjara musuh. Jika suatu saat ada yang mengetahui keberadaan Adam dan membahayakannya.
Hanya terdapat satu kursi di ruangan itu. Selebihnya hanya dinding dan sel yang mengelilinginya. Frans dan Brian menatap Adam dengan iba. Mereka tidak berdaya untuk membelanya. Kali ini Adam memang melanggar aturan.
"Renungi semua kesalahanmu. Setelah kau siap, baru aku akan mencambukmu," ucap Samuel.
Frans tidak tega meninggalkan Adam. Ia keberatan saat Samuel mengajaknya pergi.
"Kau harus ke rumah Tiara. Buat gadis itu melupakan ingatannya tentang ciuman itu," perintah Samuel.
Frans tak memiliki pilihan lain selain menurut. Brian pun hanya bisa diam. Dengan sudut matanya ditatapnya Adam agak lama. Hatinya iba pada putra junjungannya itu.
Di tempat lain Tiara tak henti-hentinya tersenyum sendirian. Ia membayangkan dirinya berada di pelukan Adam. Ia tersenyum sendiri. Menari dan menyanyi. Sedangkan kedua orang tuanya menatap heran. Pasalnya Tiara belum pernah berbuat demikian.
Ting. Tong.
Ibu Tiara bergegas membuka pintu dan mendapati seorang lelaki berbaju serba putih berdiri di pintu rumahnya.
"Maaf. Ada perlu sama siapa?" tanya ibu Tiara.
"Kenalkan saya Dr.Frans tadi teman Tiara menelpon saya jika Tiara sedang tidak enak badan dan memberikan alamat rumah ini."
Ibu Tiara nampak meragukan itu. Ia tak mungkin langsung percaya dengan orang asing yang datang berkunjung dan mengatakan anaknya sakit.
"Apa anak anda menunjukkan gejala aneh. Seperti tersenyum sendiri. Nernyanyi. Kadang juga menari? " tanya Frans.
"Tampaknya begitu," jawab Ibu Tiara ragu.
"Itu ciri-cirinya. Anda bisa mengikuti saya nanti. Jika anda ragu atau ada kelakuan saya yang aneh. Anda bisa melaporkannya ke polisi. "
Akhirnya ibu Tiara mengangguk dan menunjukkan kamar Tiara. Begitu sampai. Tiara terkejut menyambut kedatangan Frans di kamarnya.
"Eh, om Frans ada apa ya om?" tanya Tiara.
"Ini ada titipan dari Adam. Supaya kau sehat. Ia ingin kau meminum ini," ucap Frans menunjukkan sebuah tablet. Ia meminta segelas air dan melarutkan tablet tersebut.
"Minumlah," pinta Frans yang langsung diterima Tiara dengan suka cita. Ia langsung meneguknya tanpa curiga. Setelah habis Frans langsung pamit. Ia yakin setelah bangun tidur esok hari Tiara tidak akan ingat apa-apa lagi.
"Ngomong-ngomong selain menjadi dokter anda juga seorang aktor ya?" tanya ibu Tiara.
"Ah, ibu bisa saja," Frans nyengir saja.
Sedangkan bapak Tiara berdehem keluar dari kamarnya.
***
Adam merasa kerongkongannya kering. Ia bangkit mencari air di ruangan itu. Beruntung ada air minum dan makanan dekat jeruji sebelah kirinya. Tergesa ia membuka penutupnya hingga sedikit tumpah. Adam menegak air mineral itu. Namun kerongkongannya tetap haus. Ia harus menahannya karena Samuel memasuki ruangan itu dengan cambuk di tangannya.
"Bagaimana? Kau sudah sadar kesalahanmu apa?" tanyanya.
Adam mengangguk pasrah. Meski ia tetap tak menemukan jawaban. Apakah seluruh temannya yang berpacaran juga di hukum seperti dirinya.
"Duduk menghadap ke barat. Buka bajumu."
Adam menurut ia membuka bajunya dan duduk menghadap ke arah barat. Kemudian ia memejamkan mata.
Tarrr.
Adam menggigit bibir bawahnya menahan sakit. Ia tak mengaduh sedikitpun saat cambuk itu mengenai tubuhnya.
Tarrr.
Cambukan kedua membuat darah merembes dari punggungnya. Sekuat tenaga Adam menahannya. Meski sakit yang ia rasakan begitu kentara.
Tarrr.
Cambukan ketiga membuat Adam merasakan perih, panas dan sakit berbaur jadi satu. Tangannya mengepal. Tubuhnya bergetar. Darah dari punggungnya mengalir.
"Istirahatlah. Besok kau boleh keluar," ucap Samuel kemudian mengunci ruangan itu kembali. Saat itulah Adam berteriak.
"Aaaaaaarrrrgghhh!" suaranya memantul di ruangan itu yang tentu saja kedap suara. Kemudian ia pingsan tak sadarkan diri.
***
"Elena, kau tidak perlu hawatir. Selama ini dia belum menunjukkan hal aneh apapun. Berarti hingga detik ini ia masih manusia biasa," ucap Samuel.
"Justru karena itulah aku hawatir. Bagaimana ia menahan rasa sakit cambukanmu itu sendirian. Dia lemah. Berbeda dengan kaum vampir. Kau tidak akan tahu apa yang kurasakan. ia anakku, sejak aku melahirkannya kalian melarangku menyentuhnya. Apa kalian tidak tahu bagaimana perasaanku. Sudah tujuh belas tahun berlalu. Sampai detik ini aku hanya bisa mengawasinya dari jarak jauh. Melihat fotonya. Melihat gerakannya di ruang CCTV. Dan sekarang kalian menyakitinya. Bayangkanlah penderitaanku ini." Tangis Elena pecah.
"Percayalah. Aku melakukan ini demi kebaikan dirinya. Bahkan kau dengar sendiri dari Frans jika ia sudah mengambil ingatan Tiara. Ia juga sudah memberi obat yang akan menghilangkan pengaruh Adam. Harapan hukuman ini agar ia tidak lagi mendekati gadis mana pun sampai ia siap untuk menikah," terang Samuel.
Elena menangis. Ia tidak tahu lagi harus mengatakan apa.
Frans menepuk pundaknya. Agar Elena tegar.
"Adam anakkuu!!!" Raungnya.
***
Waktu berlalu. Rasa haus membangunkannya. Rasa sakit di punggungnya tak seberapa ketimbang rasa haus yang dirasakannya. Ia merangkak meraih botol lagi. Meminumnya sampai tandas. Namun rasa hausnya semakin mengikat. Ia seperti tercekik. Di lemparnya botol sekenanya. Ia harus meminta tolong pamannya. Ia seakan kehabisan nafas. Dilihatnya kukunya menghitam. Ada apa dengannya. Pandangannya memudar telinganya berdengung ia mendengar suara-suara. Kepalanya jadi sakit dan ia pun pingsan untuk kedua kalinya.
***
Ting Tong.
Frans membuka handphone Adam. Sudah banyak pesan di line.nya. line grup yang anggotanya hanya lima orang.
Dika : Siapa sih yang bikin ni grup?
Tiara : Apaan sih pagi-pagi.
Dika : ???
Rani : kyaknya gue tahu nih kerjaan siapa.
Rani : OI NONGOL ELOO. KALAU KAGAK GUE JITAK ELU.
Dika : Siapa ?
Tiara : Cp ?
Hari : Guelah.
Dika : Anjir elu.
Hari : Apa ? Gue Cuma mo ngajak kalian ke rumah Adam.
Hari : pan kemarin Tiara dan Rani lom ketemu.
Hari : Iya kagak. Cuit. Cuit.
Adam : Kgk usah.
Hari : Ih bos gue nongol.
Tiara : Eh, Adam.
Rani : Elu di sini juga.
Dika : gimana kabrmu Dam. Ud baikan kan. Kalo belum gue kesana lagi bawa sop buatan mami.
Frans menutup handphone Adam. Ia mendengus kesal. Tadi ia yang membalas chat mereka. Kehadiran mereka akan sedikit membuat hidup Adam tidak kesepian sekaligus terancam hukuman dari Samuel. Entah ia harus mendukung pertemanan mereka atau justru mendukung Samuel..
***
Sejak ia di bebaskan dari ruang isolasi. Ia ingin melihat mentari.
Adam meraih jaketnya. Ia segera keluar menuruni tangga. Rumah tampak sepi. Di ruang tamu. Di meja dapur. Ia tak dapat menemui siapapun. Akhirnya Adam memutuskan pergi tanpa pamit. Namun baru saja ia membuka pintu. Pemandangan di depannya membuat mood-nya yang tadi baik mendadak buruk.
Hari sudah berdiri di sana melambaikan tangan dengan senyuman yang menampakkan barisan giginya yang rapi.
"Gak ada acara kan ? Ikut gue yuk. "
"Kemana ?" sahut Adam malas. Ia masih lemah. Luka di tubuhnya juga masih terasa perih.
"Ke lab bokap gue. Dia punya peralatan canggih di sana. Siapa tahu dia bisa nge-cek masalah alergi elu."
Alergi ? Alergi cewek ? Masa dia percaya. Bagi gue itu hanya alasan paman, batin Adam.
"Ayo. Gak ada salahnya kan dicoba."
Saat Hari menarik lengannya dengan paksa Adam hanya bisa menurut. Mereka berjalan kaki melewati beberapa g**g. Hingga sampailah di rumah besar dengan nuansa putih memenuhi rumah itu. Adam paham sekarang bagaimana Hari selalu sampai dengan mudah ke rumahnya. Karena rumah mereka memang tidak begitu jauh. Hari membawa Adam memasuki rumahnya kemudian di bagian ruang tengah ada kamar yang di penuhi peralatan kedokteran.
"Pa, ini teman Hari yang tadi malam Hari ceritain." Pria paruh baya berkacamata itu menatap Adam. Bajunya dari atas ke bawah serba putih.
"Adam Om," ucap Adam menyalami orang tua Hari.
"Kamu gak di paksa Hari kan untuk di jadikan kelinci percobaan ?"
Adam menaikkan sebelah alisnya dan memandang Hari.
"Papa. Aku serius."
Orang tua Hari terkekeh.
"Cuma becanda. Sini, aku ambil sampel darahmu. Daripada liburan ini kau habiskan dengan buang-buang waktu lebih baik kita mengenal dan belajar kerja darah kita sendiri."
Adam menghela napas. Benar, baru saja anak anda membuang waktu saya di sini, batin Adam.
Orang tua Hari yang lupa menyebutkan namanya itu berhasil mengambil darah Adam. Ia meneteskannya di kaca kecil.
"Setelah ini kita akan melihatnya di mikroskop," ucapnya sambil mengintip ke lubang lensa okuler mikroskop.
"Astaga." Ia terkejut sampai mundur beberapa langkah.
Hari penasaran dan mengintip seperti apa yang dilakukan ayahnya. Ia juga terkejut. Rasanya tidak mungkin dengan apa yang dilihatnya. Tentang darah Adam. Seringnya Hari belajar dan membantu ayahnya di lab membuatnya tahu darah apa itu.
"Apa?" tanya Adam bingung. Entah bagaimana dua orang di depannya itu semakin membuatnya kesal. Mana punggungnya masih terasa sedikit tak nyaman.
"Kamu gak mengidap thallasemia kan ?" tanya orang tua Hari.
Adam terdiam. Ia pernah mendengar nama itu. Kalau tidak salah itu adalah nama salah satu penyakit terlangka di dunia. Dimana sang penderita selalu membutuhkan transfusi darah untuk mempertahankan hidupnya.
"Nggak lah Om," jawab Adam yakin. Tentu saja. Selama ini ia sangat sehat bugar.
"Beneran?" tanya Hari lagi.
Adam menghela nafas. Sepertinya ia mulai kesal.
"Wah, Gue pergi aja," ucap Adam.
"Eh, tunggu. Kalo kamu memang gak mengidap penyakit itu. Berarti darahmu unik. Coba sini!" ajak orang tua Hari sambil menarik lengan Adam untuk duduk. Ia menghidupkan video di hadapan Adam. Kalau tidak salah itu rekaman berisi tentang sel darah merah.
"Darahmu itu memproduksi hemoglobin sama seperti biasa. Namun hemoglobin itu kemudian rusak, tidak bertahan lama seperti pada umumnya. Karna kamu bilang tidak mengidap penyakit thalasemia berarti darahmu itu merusak dirinya sendiri untuk menghancurkan hemoglobin."
"Intinya saja lah Om," pinta Adam.
"Intinya ya, kalau kamu tidak menderita penyakit langka seperti thallasemia. Berarti kamu adalah salah satu mitos mahluk di dunia ini seperti vampir." Orang tua hari menunjukkan perbedaan sel darah normal dan thalasemia.
"Sel darahmu mirip sekali. Hanya saja ada komponen lain yang berbeda dari thalasemia. Jadi mungkin bisa saja kamu itu__" Orang tua itu menaikkan kacamatanya. Menatap Adam dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Apa kau vampir ?" tanyanya membuat Adam maupun Hari terkejut.
Vampir ? Adam menepuk jidatnya. Mengapa ia sebodoh ini dan terjebak dengan orang-orang gila ini, batinnya.
"Saya pergi." Adam segera mangkir dari tempat itu. Hari hendak menahan kepergiannya, namun Ayahnya melarangnya.
"Lain kali jika ada masalah dengan dirimu, datanglah kemari!" Teriak orang tua Hari.
"Orang tua sama anak, sama aja. Sama Gila," gumam Adam.
Hanya karena darahnya tidak normal. Lalu mereka bilang ia mengidap Thalasemia? Dan lebih tidak masuk akal lagi. Vampir ?
Gila.