Survival 45

1400 Words
Hari itu, Yeona membatalkan semua kegiatannya dan pulang lebih cepat, menutup rapat-rapat semua pintu rumah dan meringkuk di tempat tidur. Selama beberapa bulan di distrik seratus satu, karena kesibukan dan prioritasnya untuk bertahan hidup, Yeona tidak punya waktu untuk memikirkan tentang kehidupannya di distrik dua. Namun hari ini, munculnya Owen membuat Yeona ingat kembali bahwa ada dendam, kemarahan, rasa tak berdaya yang terkubur dalam-dalam di dalam hatinya. Dan kini semuanya muncul seperti tornado dan memporak-porandakan kebahagiaan tipis yang dia miliki. Yeona ingin balas dendam, dibandingkan menembak telepon seperti hari ini, Yeona ingin menembak kepala orang-orang yang pernah menjadi sumber kebahagiaannya itu dan membalaskan dendam untuk ayahnya. Tapi, sekarang Yeona hanyalah seorang narapidana, yang menyeberangi gerbang distrik saja tidak bisa. "Ayah, apa yang harus aku lakukan?" Yeona terus berbaring sepanjang hari hingga tertidur sampai matahari tenggelam dan baru terbangun ketika dia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh pipinya. Kondisi sedang gelap, tapi bayangan gelap di depannya tidak membuat Yeona takut. Dia merentangkan tangan dan memeluk leher tumpukan bulu itu. "Onix, bagaimana kau bisa masuk? Padahal aku sudah mengunci semua pintu." Onix menggosok kepala Yeona dengan dagunya dan menggeram rendah. "Hari ini ada orang jahat yang menelponku dan membuatku mengingat banyak hal. Aku sangat kesal dan sedih," ujar Yeona dengan sedikit suara rengekan. Onix mengalihkan sentuhannya ke pipi Yeona. "Tenang saja, aku tidak menangis." Yeona memeluk lebih erat. "Tapi hatiku sangat sakit." Onix membiarkan Yeona memeluknya untuk sementara waktu sebelum mulai memberontak untuk bangun. "Mau kemana?" Onix menarik baju Yeona dan membuatnya meninggalkan tempat tidur, menyalakan lampu kemudian mendorong gadis itu ke kamar mandi. Yeona berpegangan pada gagang pintu dan berkata, "Onix, jika kau terus bersikap seperti ini, aku akan berpikir kalau kau benar-benar manusia." Onix menggeram keras dan mendorongnya masuk lebih keras. Saat Yeona keluar dari kamar mandi, Onix sudah tidak ada di dalam kamarnya lagi, tapi ada beberapa lembar pakaian yang tergeletak di atas ranjang. Pakaian itu adalah pakaian yang sangat tertutup, lengkap dengan syal bulu dan mantel tebal. Yeona bingung, tapi masih memakai semuanya sebelum keluar. Di halaman belakang, begitu Onix melihat Yeona keluar, dia langsung mendekatinya dan membungkukkan tubuhnya. Yeona tersenyum dan langsung mengerti bahwa Onix ingin mengajaknya untuk berjalan-jalan. Jadi tanpa ragu, dia naik dan memeluk lehernya dengan erat. Malam itu, sosok gelap dan besar melintasi kota, melompat dari satu atap ke atap yang lain tanpa menimbulkan suara dan keluar dari dinding Athena tanpa diketahui siapapun. Onix melintasi semua tempat dengan sangat cepat, hingga di mata Yeona, semua hal yang mereka lewati hanya berupa bayangan kabur. Tapi karena terpaan angin, Yeona tidak bisa membuka matanya terlalu lama. Entah berapa lama Onix berlari dan seberapa jauh mereka pergi, serigala itu akhirnya berhenti. Yeona membuka matanya secara perlahan dan membelalakkan mata begitu melihat pemandangan di depannya. Mereka sedang berdiri di atas tebing batu yang sangat tinggi, yang mampu memperlihatkan keadaan dunia yang dipenuhi warna hijau dan sedikit warna cerah dari jamur raksasa. Bahkan, di kejauhan, Yeona bisa melihat kubah Athena yang di ujungnya terdapat lampu kecil yang terus berkedip-kedip. Konon, lampu itu diciptakan oleh seorang Spem dengan kemampuan cahaya, dia sengaja menguras semua energi miliknya untuk menciptakan lampu itu dengan tujuan jika ada manusia yang tersesat di luar, lampu itu akan menuntun mereka ke arah yang benar. Yeona turun dari punggung Onix dan menatap semua pemandangan itu dengan mata yang terbuka lebar-lebar. "Dunia ini ternyata sangat besar," bisiknya. Onix menarik Yeona untuk duduk ketika gadis itu terlalu lupa diri dan dan berjalan hingga ke ujung tebing. Yeona mengeratkan pelukan jaketnya dan mendekatkan diri ke tubuh Onix. Mendongak dan melihat bulan yang tampak sangat tipis. "Onix, sampai sekarang, aku masih selalu bertanya-tanya, apakah bulan tipis dan melengkung ini punya nama? Mengingat bulan penuh dipanggil bulan purnama." Onix juga menatap ke atas tapi tentu hanya bisa merespon Yeona dengan geraman. Yeona menatapnya dan menghela napas berat. "Betapa baiknya jika saja kau bisa bicara." Dia menyandarkan kepalanya di tubuh binatang besar itu dan meringkuk mencari kehangatan. "Aku merasa sangat kesepian." "Namanya bulan sabit." Yeona terkesiap dan bangkit dengan siaga. "Siapa itu?" Onix menggeram. "Aku." Yeona membelalak lebar, begitupun dengan mulutnya. "Kau baru saja berharap aku bisa bicara, dan sekarang kau menatapku seolah kau melihat hantu." Yeona menutup mulutnya dan berteriak dengan suara tertahan. "Jadi kau selama ini bisa bicara?" "Hn." "Lalu kenapa tidak pernah bicara padaku?" Yeona menggeser tubuhnya lebih dekat. "Jika aku bicara, apa kau tidak akan lari ketakutan?" Yeona menyentuh dagunya dan berpikir. "Sepertinya tidak, penampilanmu saja sudah menakutkan, jadi aku tidak mungkin takut hanya karena kau bisa bicara." Onix menyipitkan mata. "Kau bilang penampilanku menakutkan?" Yeona tertawa. "Aku hanya bercanda." Onix mendengus dan mengabaikannya. "Hey, aku hanya bercanda, ayo mengobrol lagi. Ah! Onix, aku bilang aku cuman bercanda!" Saat pagi datang, Yeona sangat senang begitu melihat Onix masih ada di sampingnya. "Selamat pagi." Yeona menyambutnya dengan senyuman lebar. "Apakah tidurmu nyenyak." "Tidak, seseorang terus menempel dan menggangguku." Yeona hanya tertawa. "Itu karena kau hangat." Onix mendengus dan membungkuk. "Ayo naik." "Eh! Kita sudah mau pulang?" "Tidak." Yeona memekik senang. Berjalan-jalan seperti ini jauh lebih menyenangkan dibanding tetap di dalam tembok yang mulai menyesakkan bagi Yeona. Onix membawa Yeona menjelajah jauh ke dalam hutan, bahkan mungkin ke titik yang bahkan belum terjajah oleh para penyintas, lalu pemandangan menakjubkan lain mengejutkan Yeona. Ini adalah kota mati yang sangat besar, jauh lebih besar dari yang ada di zona aman. Jembatan besar membentang panjang melintasi sungai yang luas. Mobil-mobil yang telah rusak tergeletak begitu saja di jalan. Gendung tinggi juga masih berdiri, namun sudah dikuasai tanaman rambat. Onix melintasi tengah kota dengan langkah yang lebih pelan, seolah ingin memperlihatkan pada Yeona betapa jayanya manusia terdahulu. "Wah, itu adalah bianglala." Benda bulat besar di kejauhan sudah berkarat dan tua, bahkan tidak terlihat lagi warna aslinya, tapi ukurannya yang besar sudah sangat menakjubkan. "Aku pernah membacanya di buku, pasti sangat menyenangkan naik di atasnya." Mereka melintasi kota dan masuk lagi ke hutan, lalu tak lama kemudian berdiri di depan sebuah goa batu yang besar. Onix masuk ke dalam dan tiba-tiba Yeona mendengar suara air yang nyaring. Benar saja, setelah melewati goa itu terdapat air terjun yang sangat besar. Tapi, bukan hal itu yang menyebabkan Yeona takjub hingga tidak bisa menutup mulutnya. Melainkan tumpukan kristal nukleus yang menggunung. Dengan banyak warna cantik serta kejernihan yang layaknya air, Yeona yakin kalau semua kristal nukleus itu adalah tingkat tinggi. "Ini semua milikmu?" tanya Yeona. "Bukan lagi." Onix menurunkan Yeona di depan tumpukan kristal nukleus itu sebelum ke suatu tempat mengambil sesuatu. "Tangan." Yeona menengadahkan tangan dan melihat Onix meletakkan sebuah cincin giok di telapak tangannya. "Onix." "Teteskan darahmu di atasnya." "Huh?" "Lakukan saja." Onix mendongak, mata biru cerahnya seolah bersinar di bawah pantulan cahaya matahari. Yeona menggigit ibu jarinya dan meneteskan darah ke atas cincin itu seperti instruksi Onix, dan seketika darah yang menetes di atasnya meresap ke dalam giok. Lalu, dibawah tatapan terkejut Yeona, giok itu perlahan jadi transparan, menghilang lalu muncul lagi di jari manisnya. "Cincin apa ini?" "Ring space," jawab Onix. "Dulu, ada seorang Spem dengan kekuatan ruang yang kuat. Yang karena keserakahannya menghancurkan diri sendiri, selagi mencoba untuk menentang alam dan menciptakan dunia baru." "Kau tidak bilang cincin ini adalah serpihan tubuhnya atau semacamnya kan?" "Tentu saja tidak. Itu hanya sisa-sisa kekuatannya yang berhasil bertahan." Onix menoleh ke tumpukan kristal nukleus di samping mereka. "Coba masukkan semua kristal ini ke dalam cincin." "Apa? Bagaimana mungkin bisa muat di dalam cincin in ... Tunggu, jadi di dalam cincin ini ada ruang lain?" "Ya, aku tidak tahu sebesar apa, tapi karena benda itu ciptaan seorang Spem yang kuat, seharusnya cukup luas." Yeona mengarahkan cincin itu ke tumpukan kristal dan berteriak. "Masuk!" Tidak terjadi apa-apa. "Ambil semuanya!" "Ambil!" Yeona berdecak. "Aku rasa benda ini sudah rusak." "Itu bukan benda sihir yang perlu mantra. Karena kau sudah jadi pemiliknya, seharusnya terhubung dengan pikiranmu, jadi coba ... "Ah! Berhasil!" Sebelum Onix selesai bicara, semua kristal nukleus itu hilang. Lalu beberapa saat kemudian muncul lagi, lalu hilang lagi. "Berhenti main-main." Yeona memasukkan kristalnya kembali. "Tenang saja, aku akan menyimpan ini semua untukmu." Dia kemudian menatap Onix penuh rasa penasaran. "Onix apakah kau akan berubah jadi manusia jika mencapai level tertentu? Karena itu kau mengumpulkan banyak kristal." "Jangan menghayal berlebihan. Aku memberikan cincin dan semua kristal ini padamu sebagai uang muka untuk daging-daging yang akan kau berikan padaku kedepannya." Yeona cemberut. "Jadi kau lebih suka daging dari pada aku?" "Tentu saja, kau sama sekali tidak mengenyangkan." Onix berbalik. "Ayo pulang." Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD