Sesuai dengan apa yang Karen katakan, selama beberapa hari itu, anggota yang masuk di bulan yang sama dengan Yeona berlatih dengan sangat keras.
Bolak-balik dari Gym, tempat latihan atau bahkan ke area pertarungan.
Jadwal Yeona dan Mila hampir semuanya sama. Yakni memperkuat fisik agar ketika diperlukan, mereka tidak ketinggalan saat anggota tim harus lari dari sesuatu.
Yeona menghapus keringat dari dahinya dan langsung menjatuhkan tubuhnya begitu tiba di bawah pohon, berbaring terlentang dan meluruskan lengan serta kakinya.
Napas tersegal dan keringat bercucuran, namun sengatan terik matahari seolah tidak memberi ampun, bahkan menembus celah dedaunan untuk menyentuh manusia di bawahnya.
Yeona memejamkan mata untuk menghalau cahaya, tapi hanya beberapa detik dia dikejutkan oleh sensasi dingin di pipinya.
Dia membuka mata dan melihat Iyan duduk di sampingnya. "Minum dulu,” ujar pria itu sembari menyodorkan es teh yang tadi dia tempelkan ke pipi Yeona.
"Oh, terima kasih." Yeona bangkit, meraih gelas itu dan meneguknya dengan rakus sampai habis.
"Bagaimana dengan Mila?" tanya Iyan.
"Masih di belakang." Yeona menjawab lalu kembali berbaring terlentang sambil memejamkan mata. "Setengah jam lagi, dia mungkin sampai."
"Oh." Iyan memandangi wajah Yeona yang memerah dan bibirnya yang sedikit terbuka untuk membantunya menarik oksigen lebih banyak ke paru-paru. "Kau lari cukup cepat, putaran ke berapa sekarang?"
"Ke dua puluh,"
"Wow, itu cukup mengesankan."
Medan lari Yeona dan Mila adalah perkebunan teh di pinggiran dinding, jadi memiliki cukup banyak tanjakan. Sejak pagi buta Yeona berlari, dan dia sudah berputar dua puluh kali hingga tengah hari, itu memang cukup mengesankan.
Bukan hanya kecepatan dan tenaganya, tapi juga kegigihannya.
Setelah merasa beristirahat cukup, Yeona membuka matanya kembali dan bangkit. "Karena kau sudah ada di sini, aku bisa pulang."
Iyan ikut berdiri. "Sudah mau pulang?"
"Hn." Yeona memasang jubahnya dan menyembunyikan wajahnya kembali. "Pulang makan siang kemudian berlatih bela diri."
"Aku akan mengantarmu."
Lokasi ini memang cukup jauh dari basecamp, jadi Karen secara khusus meminjamkan mobil kepada Iyan untuk mengantar mereka pulang dan pergi.
Yeona menggeleng. "Aku bisa naik bus, lagi pula Mila bisa takut jika tidak ada yang menunggunya di sini."
"Tidak, naik bus berbahaya." Iyan mendekati Yeona. "Aku akan kembali sebelum Mila tiba di sini. Ayo."
Yeona sebenarnya ingin ke supermarket sebelum pulang karena beberapa persediaan makanan di rumahnya mulai berkurang, karena itulah dia tidak ingin diantar. Tapi melihat Iyan sudah berjalan ke mobil lebih dulu, Yeona hanya bisa menghela napas dan menurut.
Dia bisa ke supermarket setelah pulang dari berlatih bela diri.
Iyan adalah pria yang cukup aktif dalam percakapan dengan orang lain, tapi entah mengapa dia menjadi sangat canggung ketika berhadapan dengan Yeona.
Tapi, Yeona justru berpikir kepribadiannya miliknya yang tidak banyak bicaralah yang membuat Iyan canggung padanya. Walaupun sebenarnya kepribadian itu Yeona kembangkan hanya setelah naik kereta.
"Di sini saja, aku bisa jalan kaki ke dalam."
Mobil berhenti tepat di depan gerbang kompleks. "Kau yakin? tidak akan memakan waktu banyak jika aku mengantarmu sampai ke dalam," kata Iyan.
Kali ini, Yeona tidak ingin mengalah. Sebelum Iyan berbicara lebih banyak, dia sudah membuka pintu dan turun. "Tidak perlu, terima kasih," ujarnya kemudian pergi.
Ini adalah batasan yang Yeona garis antara dirinya dan anggota tim lainnya. Dia tidak ingin terlalu dekat, namun juga tidak boleh terlalu renggang. Setidaknya hingga Yeona benar-benar bisa mempercayai mereka.
Menjelang sore hari, Yeona kembali ke basecamp dan langsung menuju ruang latihan. Yang tidak dia sangka adalah, Iyan ada di sana juga, tanpa Mila.
"Aku mengirim seseorang untuk menunggu Mila." Setelah melihat tatapan bingung Yeona, Iyan memberinya jawaban sebelum gadis itu bertanya. "Hari ini, aku instruktur bela dirimu."
"Kamu?" Yeona langsung merasa tak nyaman, karena selama beberapa hari ini, instruktur bela dirinya selalu wanita.
"Kau keberatan?" tanya Iyan.
Tentu saja Yeona harus menggeleng meski dia sebenarnya sangat keberatan.
“Bagus, lalu ayo kita mulai.”
Yeona menghela napas lagi dan mengikuti pria itu ke tengah ruangan yang dilapisi oleh matras.
Yeona adalah pelajar yang cukup handal, punya daya ingat yang kuat dan menyerap pengetahuan seperti spoons. Jadi hanya dalam beberapa hari, dia telah menguasai semua tehnik dasar bela diri dengan sempurna. Mungkin karena itulah Karen mengganti instruktur bela dirinya agar Yeona bisa melatih teknik sekaligus tenaganya. Bagaimanapun, meski Iyan terlihat ramah dan tampak lebih kecil dari Ben, faktanya dia adalah Average terkuat dalam guild.
Iyan memasang kuda-kuda, wajahnya yang ramah leyap seketika begitu dia serius. “Serang aku.”
Yeona mengikuti instruksinya tanpa banyak basa-basi, memulai serangannya dengan pukulan lurus dan berputar, sembari mengatur setiap posturnya agar kekuatan yang dia kerahkan bisa terkontrol sebelum memulai serangan kaki.
“Bagus.” Iyan memberi pujian, namun di saat yang sama, dia selalu bisa menangkis pukulan Yeona dengan sempurna.
Yeona tidak menjawab dan membuat pola serangannya lebih agresif, menargetkan rahang Iyan dan kakinya, lalu melakukan tendangan berputar ketika memiliki kesempatan. Tapi pemula tetaplah pemula.
Begitu Iyan memberikan aba-aba bahwa sekarang giliran Yeona yang melakukan pertahanan, hanya dalam beberapa menit, Yeona terkunci, dengan posisi Iyan memegang pergelangan tangan Yeona dan menahannya dari belakang, sedangkan satu lengan pria itu melingkar di leher Yeona.
Posisi itu tampak seperti Iyan sedang memeluknya dengan sangat erat hingga tidak tersisa celah diantara tubuh mereka.
Di saat seperti ini Yeona seharusnya melakukan sesuatu untuk melepas kuncian. Namun, perasaan tak nyaman itu datang. Yeona membelalak, napasnya sesak sedangkan ingatannya menampilkan berbagai macam kenangan yang bagaikan mimpi buruk, terulang-ulang bagai kaset kusut.
Iyan yang menyadari tubuh gadis itu bergetar jadi bingung. “Yeona?”
Tapi begitu mendengar suara Iyan yang sangat dekat di telinganya, Yeona justru semakin bergetar dan mulai merintih. “Lepaskan ... aku.” Bahkan suaranya penuh getaran.
Iyan melepasnya dengan cepat dan jadi panik begitu Yeona jatuh ke matras sambil memeluk kepalanya. Namun begitu dia maju untuk menolongnya, gadis itu justru beringsut menjauh dari sentuhannya, seolah ketakutan.
Di saat Iyan mulai kebingungan dan tidak tahu harus melakukan apa, seseorang tiba-tiba berjalan cepat melintasinya dan menutupi kepala Yeona dengan mantel, kemudian dengan mudahnya mengangkat Yeona pergi dari sana.
Pria itu, lagi-lagi Qiu Shen.
Anehnya, Yeona mati-matian menghindari sentuhan Iyan seperti virus namun begitu berada di pelukan Qiu Shen dia justru berinisiatif memeluk lehernya dan menyembunyikan wajahnya di bahu pria itu.
“Menururtmu, apa hubungan mereka?” Ben datang dengan sebungkus keripik kentang jumbo di tangannya, mengunyah dengan mulut penuh remahan. “Yang pertama bisa jadi hanya kebetulan karena dia mabuk, tapi si Qiu Shen itu tadinya sedang tidur di atas, kenapa dia tiba-tiba muncul di sini?”
Iyan mengerutkan kening, namun tanpa sadar mengepalkan tangan. “Aku jauh lebih penasaran kenapa Yeona tiba-tiba jadi seperti itu.”
Ben mengangguk-angguk. “Menurutmu, apakah kita harus melaporkan ini pada ketua?”
“Tentu saja, segala sesuatu yang terjadi di guild harus dia ketahui sebagai pemimpin.”
“Baiklah, mau keripik?” Ben menawarkan. Tapi respon yang dia dapatkan adalah rentetan pukulan, hingga bahkan makanannya berserakan di lantai.
Iyan tersenyum hingga kedua matanya menyipit. “Temani aku latihan.”
“Sialan! Jika kau marah, jangan lampiaskan padaku!”
Bersambung ...