Survival 8

1135 Words
Yeona bangun dengan rasa sakit yang luar biasa dari seluruh tubuhnya, tapi saat membuka mata, dia sama sekali tidak menunjukkan raut yang sesuai dengan keadaannya. Matanya menatap kosong langit-langit kompertemen yang dipenuhi jaring laba-laba. Seperti tengah mengolok-oloknya yang sepanjang malam hanya bisa menangis dan meratap ketika digagahi, laba-laba yang berkumpul di atas kepala Yeona cukup banyak, menggantung dan bergoyang seiring dengan gerakan kereta. Silas, Luwis dan Kian mendominasi tiga ranjang yang lain, sedangkan Yeona dibiarkan berbaring begitu saja di lantai. Lagipula, ranjang yang tersisa tidak layak lagi untuk tinggali karena penuh dengan darah, peluh dan cairan yang lain. Yeona berusaha untuk bangkit, menanggung semua rasa sakitnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Dia meraih handuk dan pakaian cadangan di bawah ranjang dan berjalan tertatih ke kamar mandi. Yeona bahkan tidak mau menunduk untuk memeriksa seberapa banyak darah yang menetes sepanjang dia berjalan. Dia bertahan cukup baik hingga air mengalir mengguyur tubuhnya. Saat itulah tangisannya pecah. Bahkan hanya dengan sentuhan air, sekujur tubuhnya terasa perih. Yeona bahkan tidak berani menatap ke cermin untuk memeriksa seberapa banyak luka yang dia miliki saat ini, Yeona menyentuh matanya yang tidak bisa melihat jelas karena bengkak dan mengeluarkan suara tercekat dari tenggorokannya. Lebih dari rasa sakit di sekujur tubuh, Yeona jauh lebih merasa sakit dengan harga diri dan mahkotanya yang direnggut dengan cara paling mengerikan. Yeona tetap di kamar mandi selama beberapa saat sebelum keluar, saat itu Kian yang tidur di ranjang atas sudah bangun dan tengah menyesap rokoknya. "Yo. Kau masih bisa bangun dan mandi?" Dia menatap Yeona dengan jenaka. "Gadis Average memang berbeda." Yeona mengabaikannya dan berjalan tertatih ke tempat tidur yang kosong. Dia menggulung selimut dan sprei di atasnya kemudian membalik matrasnya sebelum mengganti seprai dan selimutnya dengan yang baru. Satu-satunya yang Yeona syukuri di kereta ini adalah tersedianya kebutuhan sehari-hari yang cukup sehingga mereka tidak harus memakai pakaian tahanan mereka hingga mencapai distrik seratus satu. Selesai mengganti, Yeona langsung berbaring di sana, menyelimuti dirinya hingga seluruh tubuhnya tertutup sempurna. Bahkan jika dia takut, bahkan jika tubuhnya bergetar ketika menyadari tiga pria itu masih di ruangan yang sama dengannya. Yeona tahu setelah semalam, bahwa semakin dia menderita dan menunjukkan raut tersiksa, maka semakin bersemangat mereka. Jadi Yeona memilih untuk menahan semua emosinya dan bersembunyi dalam cangkang rapuhnya yang terlihat kuat. Sejak hari itu, Yeona mendapatkan roommate yang sama sekali tidak dia inginkan. Untungnya, seperti yang dia duga, ketiga pria itu hanya suka menyiksanya, jika dia terus menunjukkan wajah datar ketika mereka berlaku kasar, mereka akan berhenti sendiri dan mencari wanita lain. Hanya dengan cara seperti itulah Yeona setidaknya bisa mengistirahatkan tubuh dan merawat luka-lukanya. "Minum ini tiga kali sehari kemudian aplikasikan salepnya dua kali sehari." Iris meletakkan satu botol dan satu kemasan salep ke hadapan Yeona. Yeona meraihnya dan memasukkannya ke dalam saku, obat itu harus disembunyikan dengan baik atau tiga pria bejad itu akan membuangnya, mengingat mereka tidak suka jika setiap karya mereka hilang dengan cepat. "Tanganmu juga tidak boleh bergerak terlalu banyak untuk beberapa hari." Yeona menatap perban yang melilit pergelangan tangannya. Semalam, Silas mencengkeram Yeona tanpa mengontrol kekuatannya dan menyebabkan Yeona terkilir, sedangkan di leher, Yeona mengalami luka gigitan dan cekikikan yang cukup parah. Yeona mendongak lagi. Dengan suara serak dia berkata, "aku tidak yakin bisa melakukannya." Lagipula sekarang dia hidup hanya karena tiga pria itu belum ingin dia mati. Iris menghela napas pelan dan merapikan mejanya. "Jangan menatapku seperti itu, aku tidak bisa membantu siapapun di kereta ini." "Bagaimana bisa kau hidup seperti ini?" tanya Yeona. "Apa?" "Bangun setiap hari dan menyaksikan semua kejahatan ini, tapi masih hidup dengan sangat nyaman?" Iris mendengus dan menyandarkan punggungnya. "Aku tumbuh di distrik seratus satu, kejahatan di sana jauh lebih parah dari kejahatan di kereta ini, karena itulah aku merasa lebih nyaman di sini." "Lalu bagaimana kau bisa bertahan?" Iris hanya memberikan satu jawaban, yaitu kekuatan. Untuk bertahan hidup di lingkungan yang penuh kejahatan dan ketidakadilan, hanya dengan menjadi kuatlah wanita seperti mereka bisa sedikit dihormati. Yeona kembali dengan membawa pemikiran itu di kepalanya, tapi tanpa di sangka, siang itu dia bertemu Qiu Shen. Setelah sepuluh hari, pria itu akhirnya bebas. Untungnya dia terlihat baik-baik saja, tanpa luka di manapun. Harapan yang pada di mata Yeona yang selama beberapa hari padam akhirnya menyala lagi, dia berjalan cepat dan menghadang jalur Qiu Shen. Pria itu baru saja selesai makan dan sedang membawa nampannya yang sudah kosong. "Qiu Shen ... "Apa ini? Apakah pertemuan haru antara pelayan dan tuannya?" Entah darimana, Silas tiba-tiba muncul di belakang Yeona dan langsung meletakkan lengannya di bahu Yeona. "Kau ingin kembali padanya?" Jika Silas ada, maka Luwis dan Kian juga pasti ada. Dua pria itu ikut mengelilingi Yeona dan melirik Qiu Shen dengan tatapan penuh provokasi. "Qiu Shen, sayang sekali karena mainan cantikmu sudah menemani kami selama beberapa hari kau terkurung," ujar Luwis. "Haruskah kami meminta maaf atau berterima kasih?" Kian tertawa, mendekat ke arah Yeona dan melepaskan perban yang Yeona lilitkan dilehernya. "Lihat, kami bahkan meninggalkan banyak bekas di tubuhnya." Saat melihat itu, barulah ekspresi Qiu Shen mengalami perubahan. "Menjijikkan," ujarnya pelan dengan dahi berkerut. Jantung Yeona berdetak kencang, dengan mata penuh harapan, dia mengulurkan tangannya. "Qiu Shen ... " Tanpa melanjutkannya pun, tatapan Yeona sudah jelas meminta pertolongan. Silas menyeringai. "Jangan bilang kau masih menginginkannya?" Dahi Qiu Shen semakin berkerut. "Merepotkan." Setelah itu, dia pergi begitu saja. Melewati Yeona tanpa memberinya tatapan lagi. Tangan Yeona yang terulur ditangkap oleh Luwis. "Lihat, kau dibuang." Tidak! Qiu Shen adalah harapan terakhirnya, dia tidak boleh menyerah seperti ini. Yeona berbalik dengan cepat. "Qiu Shen ... Ughh ... " Tapi, Kian dengan cepat menutup mulutnya. Silas terlihat marah dan menendang kaki Yeona hingga dia tersungkur, kemudian menekan jemari gadis itu dengan kakinya. "Beraninya kau mengabaikanku!" Tapi Yeona tidak peduli, tatapannya sepenuhnya tertuju pada punggung Qiu Shen yang perlahan menjauh. Dan akhirnya, ketika pria itu berbalik, Yeona kembali mencoba dan melontarkan kata 'Tolong aku' tanpa suara. Tapi, raut Qiu Shen masih tak beriak. Lalu di bawah tatapan penuh harap Yeona, dia berbalik lagi dan menghilang di balik pintu gerbong. Keputusasaan itu kembali, namun kali ini pintu harapannya runtuh. Silas yang marah menarik rambut Yeona dan membawanya kembali ke kamar. Hukuman hari itu jauh lebih parah, hingga ketitik Yeona hampir mati tercekik. Tapi mungkin karena sepanjang siksaan itu, Yeona tidak mengeluarkan suara, Silas merasa bosan dan akhirnya melepaskannya. Kian dan Luwis juga tak berselera, jadi tidak menyentuh Yeona. "Membosankan!" Silas mengumpat. "Apa kalian punya rekomendasi lain?" Kian berdiri cepat. "Aku punya." Sedang Luwis mengendikkan bahu. Saat ketiganya akhirnya pergi, Yeona perlahan bangkit dari lantai, mendongak ke arah jendela dan tertawa, tapi tawa itu disertai air mata. 'Apa yang aku harapkan darinya? Hanya karena dia menolongku dua kali, bukan berarti dia akan menolong yang ketiga kalinya.' Lingkaran biru keunguan di leher Yeona terlihat semakin jelas namun dari semua lukanya, saat ini Yeona merasa hatinya jauh lebih sakit. Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD