Survival 9

1165 Words
Untuk beberapa hari selanjutnya, Silas, Luwis dan Kian tidak kembali ke kamar Yeona, tapi saat makan siang dan makan malam pria itu masih mengelilinginya, yang menandakan mereka belum melepaskannya. Hanya saja, Yeona setidaknya punya beberapa waktu untuk memulihkan semua luka-luka yang dia miliki sepenuhnya. Sejak hari itu, Yeona tidak pernah melihat Qiu Shen lagi, entah apakah karena Yeona yang berhenti terus mencarinya atau pria itu yang memang tidak ingin terlihat di manapun. Apapun itu, Yeona tidak lagi peduli, dia hanya berharap, wanita yang saat ini menarik perhatian Silas bisa bertahan lebih lama agar dia bisa menyelamatkan diri sendiri. Benar, semakin lama Yeona berada di kereta itu, maka semakin tipis rasa kemanusiaan yang dia miliki, saat melihat seseorang disiksa di depan matanya pun, dia tidak lagi berkedip ketakutan seperti awalnya. Karena dia sedang menghadapi sisi tergelap manusia, maka dia juga harus memperlihatkan sisi yang sama agar bisa bertahan, karena bersifat heroik dan baik hati di tempat ini hanya akan mengantar kematian lebih cepat ke depan pintu. Dengan begitu, selama beberapa hari, ketentraman yang sudah lama Yeona tidak nikmati bertahan. Namun suatu malam, seolah mengulang kejadian yang sama, Yeona terbangun dengan suara gebrakan dari pintu. Saat dia melihat ke sana, Luwis sedang bersedekap sembari memandangnya bosan. "Bangun dan ikut aku." "Kemana?" "Ikut saja," dia berkata sedikit tak sabar. Yeona tidak bertanya lagi dan turun dari ranjang untuk menghampiri Luwis. Mungkin tak sabar dengan langkahnya yang ragu-ragu, Luwis menarik tangan Yeona dengan kasar dan membawanya keluar. Mereka tidak berjalan jauh, hanya melewati beberapa kompertemen dan akhirnya berhenti. Di dalam terdengar sangat ramai dengan suara-suara tak senonoh. "Ini ... "Ck, masuk saja." Luwis membuka pintu dan mendorong Yeona masuk. Adegan yang Yeona lihat spontan membuatnya memejamkan mata, sedangkan makan malamnya mulai berdesakan ingin keluar. Ini pesta seks! "Akhirnya datang." Silas masih berpakaian lengkap, tapi dengan resleting celana yang sudah terbuka. Dia menghampiri Yeona dan merangkulnya. "Peserta terakhir ada di sini, dia adalah average dengan tubuh yang sehat, dia pasti bisa memuaskan kalian semua tanpa terkecuali." Yeona membelalakkan mata dan menoleh. "S-silas ... Apa maksudmu?" Silas mengangkat alis. "Aku ingin kau bergabung dan membantu gadis-gadis ini memuaskan teman-temanku, apakah kurang jelas?" Tubuh Yeona bergetar, rasa takut dan jijik yang lebih parah dari terakhir kali kembali dia rasakan. Terlebih ketika beberapa pria mulai mendekat dengan wajah lapar. "Silas, aku tidak mau." "Apakah aku bertanya pendapatmu?" Silas menatap tajam, kemudian tanpa kata-kata lagi langsung mendorong Yeona ke arah pria terdekat. Begitu pinggangnya dipeluk, Yeona spontan memberontak, menginjak kaki pria itu dan mendorongnya menjauh. Silas semakin marah. "Kau!" Tapi Yeona berlari cepat dan berlutut di depannya, wajahnya dipenuhi ketakutan. "Maafkan aku, aku akan melakukan apa yang kau mau selain ini. Aku mohon, Silas." Yeona mendongak dengan mata penuh air mata. "Aku akan melayanimu dengan baik." Silas sama sekali tidak memperkirakan bahwa Yeona akan bereaksi seperti itu, dan karena dia merasa raut ketakutan Yeona sangat seksi, kemarahannya dengan cepat padam. "Kau bilang apa tadi?" Yeona menunduk, mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Silas dengan erat. "Aku akan melayanimu dengan baik, oke? Jangan lakukan ini padaku." Silas tertawa dan menoleh ke kedua rekannya. "Bukankah dia sangat seksi jika seperti ini?" Kian menjilat bibir dan mengangguk. Luwis juga menyetujui. "Sebenarnya tidak terlalu buruk juga untuk memilikinya sebagai barang eksklusif, lagipula dia satu-satunya gadis dengan status tinggi di sini." Status tinggi maksud pria itu adalah, Yeona adalah gadis dari distrik dua, sedangkan gadis-gadis dari distrik satu yang naik bersama Silas serta Luwis dan Kian sudah meninggal semua. "Baiklah. Pesta ini aku akan melewatkannya." Silas membungkuk untuk meraih Yeona dalam gendongannya. "Pelayanku jauh lebih menggoda." Yeona memejamkan mata selagi menahan rasa mualnya. Dan sama sekali tidak melihat sosok tinggi yang bersembunyi di balik bayang-bayang. Tubuhnya digunakan lagi dan luka baru terbentuk lagi. Tapi baru kali ini Yeona merasa sangat jijik, karena dia melakukan semua yang pria-pria itu inginkan dengan permintaannya sendiri. Hanya sesaat setelah ketiga pria itu selesai dan tidur, Yeona berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan semua isi perutnya. Setelah muntah hingga tidak ada yang bisa dia keluarkan lagi, Yeona mengguyur sekujur tubuhnya dengan air dingin. Kemudian menggosok dengan keras setiap inci kulit di tubuhnya, bahkan pada luka-lukanya sekalipun. Tapi Yeona tetap merasa jijik. Bahkan ketika air yang mengalir ke saluran pembuangan mulai berwarna merah karena luka yang dia buat sendiri, Yeona masih merasa geli dari kulit kepala hingga ujung kaki. "Ayah, tolong aku." Yeona mulai terisak. "Siapapun tolong aku." "Kenapa tidak mati saja?" Yeona berhenti bergerak, dia terdiam beberapa saat sebelum mendongak dan mematikan pancuran air. Lalu dengan pandangan yang agak linglung, dia berjalan ke cermin. Di sana, Yeona melihat pantulan dirinya sedang tersenyum. "Dasar lemah, tidak bisa melindungi ayahmu, tidak bisa melindungi warisannya dan sekarang tidak bisa melindungi diri sendiri, lalu untuk apa kau hidup?" 'Ya, untuk apa aku hidup?' Yeona menjawab pertanyaannya sendiri dalam hati. "Kau sangat lemah, dan tidak ada yang akan menolongmu di tempat ini. Jika tak tahan maka mati saja, dengan begitu ada kemungkinan kau akan bertemu ayah dan ibu." 'Ayah dan ibu? Jika aku mati, bisakah bertemu ayah dan ibu?' "Mungkin saja, tapi lebih baik daripada hidup dengan memalukan seperti sekarang." Yeona berkedip dan sosok di cermin kembali normal, tapi mental Yeona sepenuhnya runtuh. "Benar, Lemah, tanpa kehormatan dan sendirian. Apa gunanya hidup?" bisiknya pelan. Dia lalu keluar untuk memakai pakaiannya tanpa mengeringkan tubuhnya. Silas mendengkur dengan keras sedangkan Luwis sesekali berbicara dalam tidur. Tapi Yeona sama sekali tidak memberi mereka pandangan sebelum keluar. Tetesan-tetesan air tertinggal di jalan yang Yeona lalui, berjalan lurus di koridor dan naik tangga di perbatasan gerbong. Kereta itu bukan kereta berkecepatan tinggi, jadi Yeona masih bisa berdiri di atapnya tanpa diterbangkan angin. Bulan selalu terlihat sama setiap malam, menggantung rendah diantara bintang-bintang. Tiba-tiba saja, satu kenangan lama bersama ayahnya muncul di dalam ingatan. "Ayah, beberapa temanku punya nama yang memiliki arti, lalu apakah namaku punya arti juga?" William menyentuh kepala putrinya dan menjawab, "tentu saja ada." Wajah Yeona jadi cerah. "Apa?" "Nama Yeona melambangkan kemandirian dan kebebasan. Karena seumur hidup ayah hanya melihat dinding berlapis ini, ayah berharap, setidaknya kau bisa hidup jauh lebih bebas dan punya kesempatan menatap matahari juga bulan yang sebenarnya." "Ayah, apakah bulan dan matahari buatan sangat berbeda dengan matahari dan bulan yang asli?" William mendongak, menatap bulan yang selalu seperti itu seumur hidupnya. "Menurut buku, bulan tidak selalu terlihat bulat sedangkan matahari jauh lebih hangat dari yang kita miliki." "Ayah, sepertinya aku tidak bisa melihat matahari dan bulan yang asli." Yeona berbisik dan berjalan semakin dekat ke pinggir atap kereta. "Aku sangat lelah, hanya ingin berbaring di pelukanmu." Saat ini, kereta sedang melewati tebing berbatu, jadi sisi tempat Yeona berdiri adalah kegelapan tanpa batas dari jurang. Jika dia melompat, tidak ada jaminan dia akan selamat. Tapi saat ini otak Yeona sepenuhnya kosong. Jurang yang gelap terlihat seperti jalan keluar untuk semua penderitaannya saat ini. "Mau lompat?" Yeona memekik terkejut dan kehilangan keseimbangannya. Ketika dia pikir dia akan terjun bebas ke bawah, sosok Qiu Shen muncul seperti bayangan dan menangkap pinggangnya. Pria itu berkata lagi, "di bawah ada air." Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD