"Di bawah, sekiranya ada ratusan ekor buaya. Jika kau lompat, hanya dalam hitungan detik, tubuhmu akan tercabik-cabik oleh mereka."
Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah Yeona dengar keluar dari mulut Qiu Shen. "Bagaimana kau tahu?" tanyanya.
"Buku." Qiu Shen menjawab datar. "Topografi." Dia menarik Yeona menjauhi pinggir atap sebelum melepasnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Yeona lagi, bagaimanapun, saat ini sudah tengah malam dan sebagian besar orang sudah tidur.
"Jalan-jalan," jawab Qiu Shen.
Yeona menatap sekeliling yang hanya diterangi cahaya tamaram bulan, belum lagi angin yang berhembus cukup dingin. "Jalan-jalan di tengah malam dan di atas kereta?"
"Hn."
Yeona menatap penampilan dan raut wajah Qiu Shen yang sama sekali tidak berbeda dari ketika pria itu menolak untuk menolongnya dan mendengus. "Lalu kau bisa melanjutkan jalan-jalanmu, jangan pedulikan aku." Dia berjalan lagi ke posisi awal dia akan melompat.
Tapi Qiu Shen tidak pergi, dia tetap berdiri di sana seperti seorang penonton. "Baiklah, lagipula orang sepertimu memang tidak akan bisa bertahan lama di distrik seratus satu."
Yeona mendelik marah. "Tanpa diberitahupun aku sudah tahu, orang sepertiku memang tidak pantas untuk hidup!"
Qiu Shen menoleh. "Semua orang pantas untuk hidup. Yang berpikir seperti dirimu hanya orang-orang yang memilih karena keputusasaan."
Yeona mengepal. "Apa yang kau tahu?! Apa kau pikir aku ingin memilih jalan seperti ini?" Dia menunduk dan mencengkeram kepalanya. "Aku sudah berusaha untuk bertahan, bahkan merendahkan diriku serendah mungkin, tapi aku tidak bisa menahannya. Hari demi hari, aku bahkan mulai membenci diriku sendiri."
"Jika benci, maka hancurkan." Qiu Shen tidak menunjukkan perubahan apapun pada rautnya, dia hanya menatap setiap luka yang terlihat di tubuh Yeona dengan datar. "Hancurkan dirimu yang kau benci atau hancurkan orang yang membuatmu benci pada diri sendiri."
Yeona perlahan mendongak. "Apa maksudmu?"
Qiu Shen tidak menjawab dan berjalan mendekat, begitu jarak mereka hanya tersisa beberapa langkah, dia mengulurkan tangan ke leher Yeona.
Yeona waspada dan langsung melangkah mundur, tapi Qiu Shen lebih cepat menariknya.
Yeona tersandung ke depan dan menabrak dadaa bidang pria itu dengan dahinya. "Apa yang kau lakukan?!"
Qiu Shen masih tidak menjawab, mata tak beriaknya seolah menghipnotis Yeona untuk diam ketika bertemu. Lalu dengan perlahan, pria itu menyingkap rambut di bagian leher Yeona dan menyentuh nadi yang berdetak di bawa telinganya.
Tangan Qiu Shen sangat dingin, menyebabkan Yeona menggigil dan mengerutkan lehernya.
"Jantung dan kepala memiliki tulang yang bisa menghalau serangan, tapi di sini tidak. Sekali kau menekan pisau dan memotong nadi yang ada di sini, maka sebuah nyawa melayang."
Yeona membelalak.
"Kedua, beberapa buah memiliki kandungan sianida di dalam bijinya." Kali ini, Qiu Shen akhirnya melepaskan Yeona sepenuhnya dan melangkah mundur.
Yeona merasakan datak jantungnya berdetam seperti genderang perang, sedangkan beberapa spot yang sempat disentuh Qiu Shen terasa panas meskipun sensasi saat pria itu menyentuhnya dingin.
Qiu Shen mengeluarkan pisau dari sakunya dan meletakkannya ke tangan Yeona. "Dari pada mati dengan cara ekstrim seperti melompat dari kereta, dua saran tadi adalah pilihan tambahan untukmu, Selamat tinggal."
Seolah mengatakan kalimat panjang tadi begitu melelahkan, kata-kata terakhir pria itu begitu lirih.
Namun, punggung lebarnya yang perlahan menjauh tercetak dengan jelas dalam ingatan seorang gadis yang hampir putus asa.
Yeona menunduk, menatap pisau yang matanya berkilau di bawah cahaya bulan, lalu ketika dia mendongak kembali, keputusasaan yang dia bawa ketika naik, sirna sepenuhnya.
Distrik seratus satu dan kereta ini bukan tempat di mana seseorang bisa mengharapkan pertolongan orang lain, jika ingin bertahan hidup, maka dia harus mampu menyelamatkan dirinya sendiri.
Hari-hari berikutnya, Silas, Kian dan Luwis menemukan Yeona jadi sangat patuh pada mereka, bahkan terkesan bersikap sangat manis layaknya kekasih. Bukan hanya itu, gadis itu juga mulai berdandan lebih rapi, mengikat rambut dan terus menerus menyambut mereka dengan senyuman manis.
"Katakan, kenapa sikapmu berubah secara tiba-tiba?" Silas saat itu sedang duduk di sofa usang sambil mengisap rokoknya, sejak tadi memandangi Yeona yang sedang merapikan tempat tidur.
"Perubahan sikap yang bagaimana?" Yeona menoleh, tak lupa memperlihatkan senyumnya, lesung di pipinya terbentuk dengan sangat manis.
Silas harus berkedip beberapa kali untuk tetap fokus pada pertanyaannya. "Kau tiba-tiba saja sangat patuh dan bersikap manis, apakah kau sedang merencanakan sesuatu?" Dia menyipitkan mata.
Yeona tertawa pelan. "Memangnya rencana apa yang bisa dilakukan wanita sepertiku."
"Rencana pelarian misalnya." Luwis menopang kepalanya di tempat tidur.
"Atau rencana untuk mengelabuhi kami dan kembali ke pelukan Qiu Shen." Kian yang baru keluar dari kamar mandi juga ikut mengeluarkan pendapat.
Yeona melepaskan pekerjaannya dan mendekati Silas, kemudian memeluknya lengannya. "Bukankah aku sudah berjanji akan melayanimu dengan baik, asalkan kalian tidak membawaku ke pesta, aku akan berusaha sebaik mungkin memuaskanmu. Lagipula, Qiu Shen juga tidak peduli padaku." Dia menampakkan wajah sedih saat menyebut nama Qiu Shen namun tersenyum lagi saat menatap Silas.
Silas tertawa puas dan memeluk pinggang Yeona. "Aku suka jawabanmu."
"Apa kau hanya akan melayani Silas." Kian menggerutu.
"Tentu saja kalian juga." Yeona tersenyum manis, namun tangannya yang tersembunyi mencengkeram erat permukaan sofa.
'Tidak apa-apa Yeona, semuanya demi kebebasan.' kata-kata itu harus terus terulang di benak Yeona agar dia bisa melanjutkan tindakannya.
Mungkin karena tindakan Yeona cukup menyenangkan Silas, pria itu dan kawan-kawannya tidak lagi memperlakukan Yeona terlalu kasar, luka paling parah di tubuh Yeona setelah melayani mereka hanyalah bekas cekikan di leher ataupun gigitan, yang akan hilang hanya dalam tiga hari.
Di sisi lain, karena penampilan Yeona yang cukup menarik perhatian, beberapa pria mulai mematainya dan mencoba untuk bernegosiasi dengan Silas, namun hingga kini Silas belum menyetujui satu pun permintaan mereka.
Bahkan ketika sedang di kantin dan sedang dikelilingi oleh Silas, Luwis dan Kian, Yeona masih menjadi pusat perhatian semua orang, bahkan para gadis tak terkecuali.
Satu-satunya yang sama sekali tidak memberikan lirikan adalah Qiu Shen.
"Kau suka apel?" Kian yang duduk di sisi kanan Yeona menyadari bahwa gadis itu terus menerus melirik ke arah apelnya yang masih utuh.
Yeona melirik malu-malu dan mengangguk. "Aku sangat suka."
Kian menyeringai, melempar apelnya ke udara dan menangkapnya kembali dengan sempurna. "Jika kau memberiku ciuman, aku akan memberikannya padamu."
Mata Yeona membulat penuh ekspektasi. "Benarkah."
Kian menelan ludah, selagi jantungnya mulai berdegup dengan kencang. "Tentu saja." Kali ini, dialah yang berekspektasi.
Yeona tersenyum lebar dan mendekatkan wajahnya, selagi dia menyentuh apel di tangan Kian, dia juga mendaratkan kecupan kecil di pipi pria itu. "Sudah." Dia berhasil mengambil apelnya.
Tak!
Luwis meletakkan sendoknya dan mengangkat apelnya juga. "Aku juga punya."
Tapi Silas lebih dulu menarik Yeona ke arahnya. "Aku akan belikan lebih banyak apel, hari ini kau melayaniku sendirian."
Kian dan Luwis sontak menyipitkan mata.
Yeona melingkarkan lengannya ke leher Silas dan mengangguk penuh semangat. Tapi untuk Qiu Shen, yang melihat dari sisi yang berbeda, gadis itu sedang menyeringai penuh kemenangan.
Qiu Shen menunduk kembali, menghabiskan semua makanannya dan keluar dari kantin tanpa disadari siapapun.
Bersambung ...