Survival 28

1066 Words
Sebelum datang, Yeona memang sudah mempersiapkan diri pada permintaan seperti ini, jadi ketika mendengar Karen menyuruhnya memperlihatkan wajahnya, dia tanpa ragu langsung menurunkan penutup kepalanya. Yeona memiliki sepasang mata berwarna hazel yang hangat, kulit putih yang tampak pucat, bibir tipis yang merekah dan wajah yang mungil, namun memiliki tatapan yang cukup tajam. Bahkan dengan bekas luka yang melintang dari dahi hingga ke pipi, siapapun bisa melihat bahwa wajah itu bukan tipe yang bisa dilupakan dengan mudah karena sangat menarik. Terlebih, dilingkungan yang serba sulit dan keras di distrik ini, Yeona bisa mempertahankan penampilannya yang bersih dan rapi. Karen keluar dari keterkejutannya lebih dulu daripada Cathy dan Iyan. Dia tersenyum miring dan menghampiri Yeona. "Sepertinya kau gadis yang cukup cerdas, bekas luka itu sengaja dibuat kan?" Yeona membalas dengan anggukan pelan. Lagipula, wanita yang pandai bertarung seperti Karen pasti tahu, jika bekas lukanya dibuat karena pertarungan atau serangan, maka bola mata Yeona pasti akan ikut terluka. Senyum di bibir Karen semakin lebar. "Ikut aku." Begitu keduanya keluar, barulah Cathy bergerak menghampiri Iyan dan memukul wajahnya. "Bangun!" Dia berdecak sebelum tertawa penuh ejekan. "Ha! Seseorang baru saja jatuh ke lubang yang paling merepotkan. Dera, ayo keluar bersamaku." Anak mutan macan tutul yang sejak tadi bermain melepaskan bolanya dan mengikuti Cathy. Iyan yang ditinggalkan sendirian berkedip dan memegangi pipinya yang perlahan memerah sebelum menyusul Cathy keluar. Karen mengajak Yeona ke taman belakang Basecamp, di sana beberapa anggota baru sedang berlatih. Jadi melihat ketua guild mereka datang membawa wanita asing, mereka semua menghentikan kegiatan dan mulai menonton. "Keahlianmu sebenarnya terlalu mewah dan jarang berguna karena peralatan yang terbatas dalam guild, tapi sangat tidak adil jika tidak memberimu kesempatan untuk mencoba." Karen mengeluarkan pistol dari sakunya dan menyerahkannya kepada Yeona. "Kau hanya punya satu kesempatan, tembak buah kelapa yang ada di sana." Di belakang Basecamp, ada beberapa pohon kelapa yang rata-rata tingginya mencapai 12 meter. Yang Karen tunjukkan pada Yeona adalah pohon dengan buah paling sedikit dari yang lain, Yeona menerima pistol itu dari Karen dan bertanya. "Bolehkah aku menggunakan dua peluru?" "Apa?" "Aku meminta izin untuk menggunakan dua peluru." Karen bersedekap dengan wajah tak senang. "Bukankah kau terlalu serakah? Aku memberimu satu kesempatan saja, jika gagal maka kau tidak punya kesempatan untuk bergabung." Yeona menatap langsung ke mata Karen. "Baiklah," ujarnya sebelum membawa pistol yang Karen pinjamkan untuk mencari posisi yang sesuai tanpa menyempitkan jarak dari pohon sama sekali. Yeona kemudian mengangkat pistolnya, memejamkan satu mata dan membidik dengan postur yang tegak. Bang ... Setelah menembak, Yeona kembali ke tempatnya semula dan mengembalikan pistol Karen. Sedangkan di sisi gadis itu, Cathy sudah berdiri dengan teropong di tangannya. "Tidak ada kelapa yang berlubang," kata Cathy. Karen mengangkat alis ke arah Yeona. "Kau meleset?" Dia cukup terkejut karena postur Yeona sangat sempurna layaknya profesional. Yeona tidak menjawab dan menoleh ke arah pohon kelapa itu lagi. Di saat yang bersamaan, tandan kelapa yang menggantung beberapa buah itu tiba-tiba bergerak kebawah dan jatuh. "Tangkainya agak tebal, jadi perlu waktu hingga grafitasi membantu menjatuhkannya," karena hanya menggunakan satu peluru yang ukurannya jauh lebih kecil dari tangkai kelapa, Yeona cuma berhasil melubangi tujuh puluh persen tangkainya dan menunggu grafitasi merobek sisanya. Karen membelalak, sedangkan Cathy membuka mulutnya lebar-lebar. Yeona menoleh. "Bolehkah aku mengambil satu buah untuk dibawa pulang?" Karen tersadar dan mengangguk. "Boleh." "Aku lolos atau tidak?" tanya Yeona. Karen berdehem dan memegangi dagunya selagi berpikir. "Keahlianmu memang cukup luar biasa ... Cathy menyenggol. "Untuk apa kata cukup? Dia jelas luar biasa." Telinga lancip hadis itu bergoyang selagi dia mengacungkan jempol ke arah Yeona. "Kau sangat hebat." "Baiklah, sangat jarang bisa melihat seseorang bisa menggunakan senjata api sebaik kamu di zaman ini. Tapi, tetap saja, seperti yang aku katakan. Keahlianmu terlalu mahal, senjata api dan pelurunya terlalu mewah untuk dibuang-buang." Yeona mengangguk. "Aku bisa mengakomodasi senjataku sendiri." "Apa?" Karen bukannya tidak bisa mendengar, dia hanya ragu apakah pendengarannya benar. "Aku bilang, aku akan membeli senjataku sendiri tanpa membebani Guild sama sekali." "Kau yakin?" Yeona mengangguk yakin. "Baiklah, itu perjanjiannya." Karen mengulurkan tangan ke Yeona. "Selamat bergabung. Perkenalkan, namaku Karen." Di distrik seratus satu, orang-orang terbiasa memperkenalkan diri hanya dengan nama depan. Jadi tidak mengejutkan jika pengaruh marga di tempat ini tidak begitu penting. Yeona menyambutnya. "Yeona." "Aku Cathy dan dia Dera." Cathy menepuk kepal anak yang berdiri tak jauh darinya. "Berkatmu, hari ini kita bisa makan buah kelapa." Dia menoleh ke arah beberapa anggota. "Tunggu apa lagi, ambil kelapanya." Yeona tidak tinggal lama di basecamp karena dia harus ke tempat kerja untuk mengundurkan diri, kemudian ke pusat informasi untuk mengubah status Chip IDnya dari pekerja dalam dinding menjadi penyintas. Setelah semua itu selesai, di jalan pulang dia mampir ke mini market untuk membeli beberapa bahan makanan. Lalu keesokan harinya, dengan perasaan senang, Yeona langsung membeli senjata. Dan karena membeli banyak akan menarik perhatian, Yeona harus membelinya sedikit demi sedikit dengan penyamaran berbeda-beda setiap hari. Selanjutnya, Yeona juga mulai ikut latihan bersama anggota guild lainnya. Beberapa hari kemudian, tim yang keluar dalam misi kembali. Begitu melihat Qiu Shen diantara orang-orang yang terlihat lelah dan lesu itu, Yeona mulai merasa gugup. Bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk mempertemukan tatapan mereka. "Yeona." Mila yang sejak tadi duduk di sisinya memanggil. "Hn?" "Kau tahu, saat di kereta ada sedikit rumor tentangmu dan Qiu Shen, apakah itu benar?" Yeona mengerutkan kening. "Rumor apa?" Mila melirik Qiu Shen dulu sebelum mendekat ke telinga Yeona. "Beberapa kabar beredar bahwa kau pernah menjadi kekasihnya." Yeona tersedak ludahnya sendiri dan terbatuk. "Jangan bicara omong kosong." Dia menanggapi dengan suara tertahan. "Aku dan dia tidak punya hubungan apapun, jangan sampai kau mengatakan ini pada orang lain, dia bisa marah." "Oh, oke." Mila tersenyum lebar dan membuat gesture bahwa dia akan mengunci rapat mulutnya. Tapi Yeona masih merasa ragu padanya. Qiu Shen sendiri hanya memberikan Yeona lirikan sekilas, sebelum naik ke lantai dua tanpa banyak mengeluarkan suara. "Yeona." Iyan menghampiri Yeona dan berbisik. "Aku lupa memberitahumu, tapi karena kau sering naik ke perpustakaan, kau harus hati-hati dan pastikan untuk tidak masuk ke ruangan paling ujung." Ruang paling ujung, jika tak salah adalah ruangan Qiu Shen. "Kenapa?" Pertanyaan itu dari Mila. Iyan menghela napas. "Itu adalah ruangan Qiu Shen. Dia adalah anggota yang paling pendiam dan tak ramah, lebih baik jangan memprovokasinya." Mila mengangguk, tapi Yeona tidak. Dia lebih memilih untuk kembali tenggelam dalam bacaan yang sedang dia tekuni. Mengenai Qiu Shen, dia tidak perlu orang lain untuk memperkenalkannya. Karena Yeona bisa mengenalnya dengan caranya sendiri. Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD