Kali ini, Yeona bangun tidak disambut oleh bau busuk dan ruangan yang kotor, melainkan bau obat-obatan dan Iris.
Untuk beberapa saat, Yeona tetap diam untuk mencerna keadaan hingga Iris menyadari bahwa dia bangun.
"Bangun?" Iris menghampiri Yeona dan menempelkan punggung tangan di dahinya. "Suhu tubuhmu sudah turun, ayo bangun dan isi perutmu."
Yeona bangun dibantu oleh Iris, kemudian tanpa suara memakan bubur hangat yang Iris sediakan.
"Terima kasih." Yeona meletakkan mangkuknya yang sudah kosong dan bertanya, "Siapa yang membawaku kemari?" Karena Mila sudah tentu tidak bisa membopongnya ke klinik yang notabene tempat paling jauh dari gerbong tempat mereka dikurung.
"Qiu Shen," jawab Iris enteng.
Yeona cukup terkejut, pasalnya semenjak bertemu di atas kereta waktu itu, dia tidak pernah berinteraksi dengan Qiu Shen lagi, bahkan jarang melihatnya di kantin.
"Kau sedang hamil."
Yeona menutup mulut dan terbatuk keras. Pikirkannya tentang Qiu Shen buyar seketika. "Kau bilang apa?"
Iris menatap datar. "Kau hamil, sudah dua minggu."
Yeona terdiam, kedua tangan yang dia letakkan di atas pahanya perlahan mengepal dengan erat.
Hamil di saat seperti ini?
Yeona bahkan tidak tahu harus menangis atau tertawa. Saat ini dia seharusnya seperti gadis-gadis lain yang merayakan kebebasan mereka dari para penjahat yang mengekang mereka selama ini, tapi ternyata yang bebas hanyalah mereka, sedangkan Yeona masih terikat.
"Pikirkan baik-baik, apa kau akan mempertahankannya atau tidak." Iris meletakkan sebuah apel ke tangan Yeona. "Dan pastikan kau tidak akan menyesalinya di masa depan." Setelah itu, dia masuk ke ruangannya dan tidak keluar untuk waktu yang lama, seolah sengaja memberikan Yeona ruang untuk berpikir.
Tapi, saat ini Yeona bahkan tidak tahu harus memikirkan apa dan harus mengambil keputusan seperti apa.
Setelah beberapa saat diam, Yeona menoleh ke jendela dan melihat bulan yang menggantung rendah. Dia kemudian meraih apel yang Iris berikan kemudian keluar dari klinik.
Sekarang, seharusnya jam makan malam, karena itulah bubur yang Iris berikan masih hangat.
Yeona berjalan seorang diri dari gerbong ke gerbong, tidak menyapa siapapun yang dia lintasi tidak juga disapa. Semuanya seolah kembali ke saat di mana Yeona membuat keberadaannya tak disadari siapapun.
Tapi, kali ini, orang tidak benar-benar mengabaikannya, melainkan hanya meliriknya secara diam-diam.
Setibanya di kantin, Yeona melihat masih ada beberapa orang yang melahap santapan mereka, dan bahkan ada Mila dan beberapa temannya.
Begitu melihatnya, Mila langsung melambaikan tangan dan memanggilnya. Tapi Yeona sama sekali tidak melihat ke arah mereka, melainkan langsung menuju sudut ruangan yang sepi.
Yeona mengambil satu piring kosong dari counter dapur dan langsung mendudukkan diri di hadapan Qiu Shen.
Pria itu hanya menghentikan kunyahan saat Yeona datang namun sama sekali tidak mendongak untuk melihatnya.
Yeona juga tidak menyapa, dia hanya mengambil pisau buah dari meja Qiu Shen dan langsung mengupas apel yang dia bawa.
Yeona mengupas apelnya dengan sangat cepat dan ceroboh, bahkan beberapa kali menyayat jarinya sendiri, namun tidak sekalipun dia berhenti untuk menggerakkan tangannya, yang menunjukkan bahwa dia merasakan sakitnya hanya kerutan di dahinya yang sesekali terlihat.
Suara ketukan kecil terdengar begitu Qiu Shen melepaskan sendoknya dan menangkap pergelangan tangan Yeona, membuatnya berhenti mengupas apel, bahkan menjatuhkan apel di tangan Yeona yang lain.
Mata keduanya bertemu, tatapan Qiu Shen masih dingin seperti salju abadi sedang mata Yeona sudah dipenuhi genangan air.
Tanpa mengatakan apapun, Qiu Shen menarik Yeona meninggalkan kantin.
Cuacanya masih sama, angin berhembus dingin dan bulan menggantung rendah. Yeona berdiri di atas kereta api lagi, masih bersama orang yang sama namun dengan suasana hati yang berbeda.
Yeona menggigit bibirnya dan tidak bisa menahan desakan tangisnya. Dia duduk dan memeluk lututnya, menyembunyikan wajah dan terisak dengan keras. Untuk pertama kali selama beberapa hari balas dendamnya, Yeona menumpahkan air matanya kembali.
Qiu Shen masih seperti dulu, hanya berdiri tanpa kata seperti seorang penonton. Tapi memang itulah yang paling Yeona butuhkan saat ini.
Yeona menangis hingga matanya tidak bisa terbuka lebar karena bengkak, saat itulah dia melihat cahaya hingga di lengannya.
Tangisannya tertahan di tenggorokan. Saat Yeona mendongak lagi, sekitarnya sudah penuh dengan kunang-kunang, mengelilinginya seperti tornado paling lembut dan hinggap sesekali di pipi dan rambut Yeona.
Qiu Shen sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, apalagi mengubah raut wajahnya, tapi Yeona tahu bahwa makhluk seperti kunang-kunang tidak akan menghampiri seseorang begitu saja, terlebih di atas kereta api yang berjalan.
"Kau, apakah seorang Spem?" tanya Yeona dengan suara sengau. Hanya pertanyaan seperti itulah yang mampu terpikirkan di kepala Yeona saat ini, karena hanya para Spem yang biasanya memiliki kekuatan ajaib seperti ini dengan penampilan manusia seperti Qiu Shen.
Qiu Shen tidak menjawab dengan gelengan atau anggukan, dia membuka mulut hanya untuk mengatakan hal lain.
"Jika kau dihadapkan pada pilihan sulit, bersikap egois lah dan pilih yang paling menguntungkan untuk dirimu sendiri," ujarnya. "Bumi dan seisinya sudah rusak sejak ratusan tahun lalu, apakah ada alasan untukmu tetap bersikeras positif dan merugikan diri sendiri."
Yeona tercekat. Padahal dia tidak mengatakan apa-apa, tapi Qiu Shen seolah tahu apa yang membuatnya menangis.
Yeona melihat kunang-kunang yang mengelilinginya dan menebak-nebak apakah kekuatan Qiu Shen adalah pengendali pikiran seperti telekinesis dan telepati?
Tapi, berapa kalipun Yeona bertanya, Qiu Shen tidak pernah membuka mulutnya lagi, seolah kalimat yang dia katakan sebelumnya adalah batas kata yang bisa dia katakan hari itu.
Keesokan harinya, Yeona mengunjungi Iris lagi dengan perasaan yang lebih stabil, meskipun matanya bengkak dan dihiasi lingkaran hitam.
Iris sama sekali tidak menegur penampilannya dan mempersilahkannya masuk. "Bagaimana?"
Yeona menarik napas panjang. "Aku ingin menggugurkannya."
Iris mengangkat alis. "Kau yakin?"
Yeona mengangguk. "Jika saja aku masih diriku yang dulu, aku lebih dari mampu melahirkan dan membesarkannya. Tidak peduli siapa ayahnya dan bagaimana aku bisa memilikinya, selama dia lahir dari rahimku, maka dia adalah anakku. Tapi, saat ini aku tidak lebih dari seorang tahanan yang sedang menuju distrik terburuk dari semua distrik di Athena." Yeona meletakkan tangan di perutnya. "Melindungi diriku sendiri saja sudah sangat sulit, apalagi melindunginya. Jika aku mempertahankannya, dia hanya akan menjalani hidup yang tak tentu arah dan penuh resiko."
"Apakah kau tidak pernah berpikir bahwa dia juga pantas untuk hidup dan menjejakkan kaki di dunia ini?"
Yeona mengangguk. " Dia pantas hidup, tapi aku tidak pantas untuk melahirkannya di tempat yang tidak seharusnya. Dia tidak bersalah dan tidak pantas untuk menjejakkan kaki di distrik satu kosong satu, apalagi menjalani penderitaan yang bahkan tidak aku tahu seperti apa nantinya."
Iris tersenyum dan menghela napas. "Baiklah, besok kita akan mulai. Tapi, kau harus tahu bahwa prosesnya akan menyakitkan."
Yeona menunduk dan tersenyum miris. "Rasa sakit apa lagi yang tidak bisa aku tanggung setelah semua yang terjadi," ujarnya lirih.
Bersambung ...