Survival 16

1057 Words
Bloody Revenge. Para pengawas menyebutkan seperti itu, karena keesokan harinya ketika mereka masuk ke gerbong milik narapidana wanita, gerbong itu dipenuhi aroma darah. Di koridor, mereka menemukan mayat Luwis, sedangkan situasi di dua kompertemen tempat kejadian lebih mengejutkan. Satu ruangan dipenuhi banyak mayat pria tanpa busana dan wanita yang berlumuran darah sedang kompertemen lain, hanya ada Yeona dan Silas. Ketika para pengawas membuka pintu, Yeona tengah duduk di sofa dan menjepit rokok diantara jarinya, sedang bersandar dan memejamkan mata, sedangkan mayat Silas berada tak jauh dari kakinya. Mereka pikir gadis itu sedang tidur, tapi hanya selangkah mereka menjejakkan kaki ke dalam ruangan, gadis itu membuka mata. Yeona menyambut mereka dengan senyuman lebar. "Kalian akhirnya datang. Lihat, bau tubuh pria ini sedikit mengkontaminasi ruangan." Diantara semua, mayat Silas adalah yang terburuk. Bahkan para pengawas yang sudah biasa menangani mayat merasa tenggorokan mereka geli saat melihatnya. Tatapan mata Yeona kosong."Aku tahu, kalian pasti juga datang untuk menangkapkukan?" Dia mengulurkan kedua tangannya dan dengan suka rela diborgol. "Apa kalian tahu? Saat naik ke kereta ini, aku sedang difitnah, aku tidak bersalah sama sekali, bahkan tidak pernah memukul orang, tapi sekarang tidak lagi." Bibirnya melengkung untuk membentuk senyuman, namun yang tampak hanya lengkungan tanpa emosi. "Aku seorang pembunuh sekarang," bisiknya seolah memang hanya mengatakannya untuk diri sendiri. Selesai mengatakan itu, Yeona kehilangan kesadaran. Saat Yeona bangun lagi, dia sudah berbaring di lantai kotor dari gerbong yang menjadi tempat kurungan para pembuat onar di kereta. Bau busuk dari berbagai macam hal begitu menyengat, namun Yeona tetap berbaring tanpa memiliki gerakan apa-apa, jika saja bukan matanya yang terbuka, siapapun akan mengira dia masih tak sadarkan diri. "Nana, kau sudah bangun?" Sebuah suara menarik perhatian Yeona. "Syukurlah, aku sudah sangat khawatir karena kau belum bangun juga setelah sehari semalam." Gadis itu duduk di sisi lain ruangan, memegang dan menempelkan wajahnya pada jeruji besi yang memisahkan mereka. "Kau pasti lapar kan? Ini, aku menyisakan setengah makananku untukmu." Dia menyodorkan sepotong roti yang kecilnya bisa muat ke dalam satu kepalan tangannya. Melihat Yeona masih tidak bergerak, gadis itu berpikir bahwa dia ragu dari mana asal roti itu, jadi dia menjelaskan. "Aku biasanya memang selalu membawa makanan di sakuku, karena sering kelaparan tiba-tiba, dan saat tertangkap, para pengawas itu tidak memeriksa terlebih dahulu." Yeona masih bergeming, hanya matanya yang bergulir untuk melirik gadis itu sejenak sebelum kembali menatap langit-langit ruangan. "Makan saja, aku tidak lapar." Suara Yeona sangat serak, sedangkan jejak cekikan Silas mulai berwarna ungu terang di lehernya. "Jika kau haus, aku juga punya air mineral." Gadis itu mengeluarkan botol kecil dari sakunya yang lain. Yeona akhirnya menoleh sepenuhnya, mengamati tubuh mungil gadis itu yang dibalut baju kebesaran. Pasti karena itulah, para pengawas tidak menemukan bahwa gadis ini menyeludupkan makanan ke ruang tahanan. Gadis itu tersenyum lebar ke Yeona. "Namaku Mila, salam kenal." Yeona akhirnya bergerak, namun begitu dia duduk, sakit kepala menyerangnya. "Kau baik-baik saja? Kepalamu sakit?" Mila panik, dia menatap ke sana kemari dan bertanya. "Apakah ada yang bawa obat?" Yeona mengerang dan mencengkeram kepalanya, di saat pandangannya juga mulai gelap. Untungnya situasi itu hanya berlangsung sesaat sebelum akhirnya pandangan Yeona cerah lagi. "Nana, Nana. Kemari, kau harus makan dan minum dulu." Mila mencengkeram jeruji besi dengan erat, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Kau belum makan apapun sejak kemarin." Saat Yeona menoleh ke sana lagi, dia akhirnya melihat bahwa Mila tidak sendirian, ada puluhan gadis bersamanya di ruangan itu. Mungkin karena pengawas kereta mengkategorikannya sebagai sosok yang berbahaya, Yeona ditempatkan sendirian, sedangkan wanita yang lain berada di satu ruangan. "Terima kasih." Yeona memang benar sangat haus dan lapar, jadi dia meraih roti dan air mineral pemberian Mila, kemudian melahap semuanya sampai habis. Mila tersenyum lebar. "Jangan berterima kasih, akulah yang seharusnya mengatakan itu." Dia menunduk dan meremas ujung pakaiannya dengan erat. "Kau membebaskan kami semua dari para b******n itu, dan bahkan memberikan kami kesempatan untuk membalas dendam." Yeona mundur dan menyadarkan punggungnya ke dinding. "Yang menentukan pilihan untuk bebas adalah kalian, bukan aku." "Tapi kau memberikan kami kesempatan." Wanita lain di belakang Mila menanggapi. Dia wanita paruh baya namun terlihat masih cantik. "Berkatmu, aku bisa membalaskan dendam putriku." Sesaat setelah mengatakan itu, dia mulai terisak keras. Wanita paruh baya yang memiliki seorang anak. Yeona memang sempat mendengarnya dari Kian dan Luwis. Jadi, pada akhirnya anak itu meninggal? Yeona menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Ini masih di kereta, lalu bagaimana mengerikannya distrik satu kosong satu? Mereka berada dalam kurungan selama tiga hari, tanpa makan dan minum. Tapi, bagi wanita yang telah mengalami pelecehan dan penyiksaan hampir setiap hari, hukuman ini bukan apa-apa. Meskipun dengan tubuh lemas, para wanita-wanita itu memiliki raut yang sangat cerah ketika keluar dan langsung berlari ke kantin untuk mengisi perut mereka. Sayangnya, Yeona bukan salah satu dari mereka. Meskipun dia juga merasa lega saat keluar, namun kondisi fisiknya jauh lebih lemah dari gadis yang lain, bahkan berjalanpun, dia tertatih-tatih. "Nana, kau terlihat pucat." Mila menghampirinya dengan khawatir. Selama dalam tahanan, meski Yeona tidak banyak merespon usahanya untuk mendekatkan diri, gadis itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecewa. "Aku baik-baik saja." Bohong tentu saja, Yeona menghapus keringat yang menetes di dahinya. Perutnya terus bergejolak sedang tenggorokannya teras geli. Namun sejak kemarin dia tidak bisa memuntahkan apa-apa karena perutnya kosong. Mila tidak menyerah dan langsung meraih lengan Yeona, berniat untuk membantunya untuk jalan, tapi begitu kulit mereka bersentuhan, dia berjengit. "Astaga! Kau demam!" Dia mengalihkan punggung tangannya ke dahi Yeona dan yakin dengan tebakannya. "Dan sepanas ini juga. Ayo kita ke klinik." Yeona tahu dia demam sejak semalam, jadi pasrah saja ketika Mila membantunya berjalan. Lagipula, dia memang merasa tidak bisa berjalan sendiri lagi. Tapi, hanya beberapa langkah, Yeona merasakan pandangannya berputar dan gagal mempertahankan kesadarannya. Mila beberapa sentimeter lebih mungil dari Yeona, jadi dengan semua bobot tubuh gadis itu yang tiba-tiba ditumpukkan padanya, dia tentu tidak bisa menahannya. "Ugghh, Nana! ... Di saat Mila berpikir bahwa dia akan jatuh dan ditindih secara mengenaskan oleh Yeona, tubuhnya tiba-tiba jadi lebih ringan dan beban berat yang menekankan sudah menjauh dari jangkauannya. Dia mendongak dengan waspada dan bertemu pandang dengan tatapan tajam seorang pria. "Ka-kau, kembalikan Nana!" Meski takut, Mila tidak mungkin membiarkan Yeona jatuh ke kubangan lain setelah menyelamatkannya. Jadi dia mengulurkan tangan untuk meraih Yeona dari gendongan pria itu. "Aku akan membawanya ke Iris," kata pria itu. "Kamu siapa? Kau kenal Nana?" Qiu Shen menatap Mila untuk beberapa saat sebelum berkata, "Menjauh darinya." Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD