Anaya Angelina Franca

1104 Words
“Bagaimana, Pa?” Anaya, gadis berusia 22 tahun berkulit putih, rambut lurus sepinggang dan memiliki mata yang besar dengan manik mata coklat mengambil duduk tepat di samping Barend, papanya. “Apanya? Hhmm?” Barend melipat dan meletakkan koran yang ia baca di atas meja. Tatapannya mengarah pada putrinya. “Ruzayn. Apa ia sudah memberikan jawaban?” tanya Anaya manja. “Belum, kau jangan khawatir. Ia tidak akan menolak pernikahan ini.” Barend menenangkan Anaya, ia tersenyum kecil melihat wajah putrinya yang tampak cemas jika Ruzayn menolak dirinya. “Jika ia menolak?” tanya Anaya cemas. “Papa pastikan itu tidak akan terjadi.” Barend tersenyum lebar, senyuman tegas khas dirinya. Lalu ia mengusap kepala Anaya. “Terima kasih, Papa!” Anaya memeluk Barend. “Apa kau sangat mencintainya? Hmmm?” “Sangat Pa, aku sangat mencintainya. Semua yang aku harapkan dari seorang lelaki ada pada dirinya.” Anaya mengurai pelukannya. “Kalau begitu, akan Papa pastikan jika ia tidak akan menolakmu,” tegas Barend. Anaya, salah satu putri Barend selalu mendapatkan apa yang di inginkannya. Barend sangat mencintai Anaya. Dari kecil, Anaya selalu memperoleh apapun yang di inginkannya. Sedangkan Rumi, istri Barend tidak pernah menuruti semua permintaan Anaya. Rumi lebih ke mementingkan apa-apa saja yang diperlukan Anaya, itulah yang akan diberikan. Rumi adalah tipe Mama yang tidak mau memanjakan anak-anaknya dengan materi, bertolak belakang dengan Barend yang selalu melimpahkan materi yang berlebihan pada anaknya. Jadilah Anaya anak yang selalu bermanja-manja kepada Barend agar semua keinginannya terpenuhi. Dua bulan yang lalu, Anaya ke kantor papanya. Di sana ia bertemu dengan Ruzayn, tangan kanan Barend dalam menjalankan bisnis. Anaya langsung menyukai pria itu pada pandangan pertamanya. Sosok Ruzayn yang tegas, terkesan cool di mata Anaya. Ruzayn juga memiliki alis mata yang tebal, dengan manik mata yang hampir kecoklatan seperti dirinya. Bekas cukuran jambang di kiri kanan pipi Ruzayn menambah kesan jantan pada wajah pria itu. Sekilas pikiran Anaya langsung berkelana, ia ingin berada di dalam pelukan Ruzayn setiap malamnya. “Papa, sakit!” Anaya menepis tangan Barend yang mencubit pipinya. “Kamu memikirkan apa?” tanya Barend. “Hehe, Ruzayn Pa! Aku memikirkan bagaimana rasanya punya suami seperti Ruzayn. Aku memikirkan setiap malam berada dalam pelukannya. Hmmm ... aku sudah tidak sabar menjadi istrinya.” Barend terkekeh geli mendengar penuturan Anaya, gadis kecilnya sekarang sudah bisa memikirkan seorang pria padahal baru kemaren rasanya Anaya lahir. Sekarang Barend harus rela posisinya sebagai lelaki di hati Anaya harus digantikan oleh pria lain. “Tidak usah memaksa jika Ruzayn menolak.” Rumi datang menghampiri suami dan putrinya sambil membawa sepiring cemilan. “Menikah dengan terpaksa itu tidak akan membahagiakan kamu,” lanjut Rumi. “Ish, Mama apaan sih? Aku gak mau jika dia menolak. Bagaimanapun, aku harus menikah dengannya. Aku tidak akan menikah jika bukan Ruzayn.” Anaya menekan setiap kata-katanya. Jelas sekali, jika Anaya berbicara dengan Barend maka Anaya akan menampilkan sosoknya yang manja, ia tau Barend tidak akan menolak setiap permintaannya. Barend sangat menyukai sisi manja Anaya. Berbeda dengan Rumi, Mamanya. Rumi seringkali menolak bahkan mengkritik sikap Anaya yang tidak pada tempatnya. Tidak jarang ia dan Anaya sering bertengkar karena hal-hal kecil ataupun sesuatu permintaan Anaya yang ditolak oleh Rumi. Jika sudah begitu, Anaya pasti akan menemui Barend. Ia akan membujuk Barend dan sudah pasti Barend akan mengabulkan semua permintaannya. Rasa sayang Barend yang seperti itu, membuat Anaya tumbuh menadi anak yang keras kepala, ia sama sekali tidak mau mengalah. Semua keinginannya harus segera terpenuhi. “Rumah tangga kamu akan bahagia jika kamu punya suami yang mencintai kamu. Ya ... lebih bahagia lagi jika kalian saling mencintai,” ucap Rumi lagi. “Dia pasti mencintai aku. Mama tau kan? Banyak pria di luar sana yang mengemis cinta padaku,” ungkap Anaya. “Apa Ruzayn termasuk dengan salah satu pria itu?” tanya Rumi. “Mama jangan berbicara seperti itu, mama merendahkan aku?” Anaya berujar keras. Ia tidak senang mendengar pertanyaan mamanya. “Sudah ... sudah ... kalian kenapa jadi bertengkar? Papa akan pastikan jika Ruzayn tidak akan menolakmu. Jadi ... berhenti mebicarakan ini,” tegas Barend. “Makasih, Pa. Papa memang yang paling mengerti aku. Berbeda dengan Mama, yang tidak pernah mengerti perasaanku,” ujar Anaya manja. “Mama justru mengkhawatirkan kamu. Ruzayn itu termasuk tipe lelaki yang keras sementara kamu tidak juga bisa mengalah. Apa kalian bisa bersatu?” pungkas Rumi. “Jangan khawatir, Ma! Selama ini semua lelaki bertekuk lutut padaku. Akan kupastikan jika Ruzayn akan melakukan hal yang sama. Lagian ada Papa yang akan membantuku. Tentu ia akan mematuhi semua perintah Papa. Iya kan, Pa?” Barend mengangguk, tentu saja ia akan melakukan semua yang Anaya pinta. Rumi mendesah, Barend memang tidak pernah menolak permintaan Anaya dan itu semua membuat Anaya menjadi anak yang manja dan keras kepala. Yati, Assisten rumah tangga di rumah Barend berlari kecil ke arah mereka. Perhatian mereka menjadi teralihkan karena kedatangan Yati. “Ada apa?” tanya Rumi. “Ada telepon dari Giethoorn, Bu!” jawab Yati. Mendengar itu, Barend segera berdiri menuju meja telepon yang terletak di sudut ruang besar itu. “Ya,” “......” “Bagaimana keadaan moeder?” Wajah Barend mendadak cemas. “.....” “Bagaimana dengan shanaya?” tanya Barend lagi. “.....” “Aku akan berangkat dengan penerbangan besok pagi.” Barend menutup panggilan international tersebut. “Ada apa?” Rumi mendekat dan bertanya dengan cemas. “Moeder sakit, Dendrick mengabari, moeder sekarang di rumah sakit. Besok aku akan pergi ke Giethoorn.” Barend mengeluarkan ponsel yang ada di dalam saku bajunya, ia tampak menghubungi seseorang. “Aku ikut,” pinta Rumi. “Jangan, kamu di sini saja. Ayi nanti tinggal sama siapa jika kamu juga ikut.” “Tapi ... Ayi kan sudah be-“ “Halo, Ruzayn.” Belum sempat Rumi melanjutkan ucapannya Barend sudah berjalan menjauh. Rumi hanya terdiam sambil memperhatikan Barend berbicara dengan Ruzayn. “Oma sakit apa?” tanya Anaya. “Entahlah, Mama juga tidak tau.” “Biasalah, Ma. Oma sudah tua. Tidak ada yang perlu di khawatirkan. ” Anaya berkata sambil berlalu, seolah-olah berita yang baru saja mereka dapatkan tidak berarti apa-apa. “Anaya! Jaga ucapan kamu.” Rumi berkata dengan lantang. “Oma itu, wanita yang melahirkan Papa mu. kamu tidak pantas berkata seperti itu.” “Jangan terlalu berlebiha, Ma!” Anaya juga berkata dengan lantang. “Ah, sudahlah! Aku masuk kamar dulu. Jika mama ikut dengan Papa, bagiku tidak ada masalah. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Rumi mengurut d**a dengan kedua tangannya melihat sikap Anaya. Itulah, kenapa ia tidak pernah mau memanjakan anaknya. Memanjakan anak terlalu berlebihan membuat Anaya menjadi anak yang tidak sopan bahkan kepada keluarganya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD