Shanaya Almira Frederica

1056 Words
Pagi-pagi sekali, Tuan Barend sudah berada di ruang tunggu Bandara International Soekarno Hatta. Sembari menunggu panggilan untuk masuk ke pesawat, Barend menyempatkan diri mengirim email kepada sekretarisnya di kantor. Ia juga memforward email tersebut ke Ruzayn. Selama perjalanannya ke Giethoorn, Barend akan mengimbaskan seluruh pekerjaannya kepada Ruzayn. Ruzayn selalu bekerja dengan baik, dalam bekerja ia tidak pernah mengecewakan Barend. Semua yang dilakukan Ruzayn selalu memuaskan Barend, karena itulah Barend menjadikan Ruzayn tangan kanannya di perusahaan. Tanpa diminta Anaya, Barend juga sudah berniat akan menjadikan Ruzayn menantu dan memberikan kekuasaan di perusahaan. Barend melangkah menuju pintu garbarata pesawat yang akan akan membawanya terbang ke Belanda, negara asalnya. Suara petugas Bandara, sudah dari lima menit yang lalu meminta seluruh penumpang untuk berbaris supaya mereka dengan mudah melakukan pengecekan identitas sebelum seluruh penumpang naik ke pesawat. Burung besi yang ditumpangi Barend mendarat dengan selamat di Kota Amsterdam setelah terbang hampir selama 17 jam di udara. Sudah hampir 5 tahun Barend tidak mengunjungi negara asalnya ini, terakhir ia ke sini sewaktu mengunjungi Shanaya ketika putrinya itu akan mendaftar ke perguruan tinggi. Setelah itu, Barend tidak mengunjunginya lagi dan hanya mengirimkan uang saku untuk keperluan Shanaya dan sedikit uang belanja untuk moedernya. Tuan Dendrick telah menunggu Barend di pintu kedatangan Bandara Internasional Amsterdam Schiphol, dari luar ia sudah melambaikan tangannya ketika melihat Barend tengah berjalan bersama para penumpang lainnya. “Apa kabar Dendrick?” Barend memeluk lelaki yang usianya sepuluh tahun lebih tua dari dirinya. Dendrick sebenarnya masih ada hubungan saudara dengan Barend. “Baik, bagaimana dengan mu, Barend?” Dendrick membalas pelukan Barend sembari menepuk pelan pundak Barend. “Seperti yang kau lihat, aku masih sehat,” jawab Barend dengan umawa. “Hooo, itu bagus,” timpal Dendrick. Mereka kemudian berjalan menuju parkiran mobil. Barend dan Dendrick akan melanjutkan perjalanan mereka menuju Kota Giethoorn. Ibu Barend sedang di rawat di rumah sakit di kota tersebut. “Bagaimana keadaan ibu?” Barend menanyakan keadaan ibunya kepada Dendrick. Dendrick sebenarnya adalah saudara sepupu Barend, ibu Dendrik dan ibu Darend merupakan saudara tiri. Dari kecil Nyonya Willake, ibu Barend sudah tinggal bersama ibu Darend. “Sangat parah, ia bahkan tidak bisa membuka matanya, tapi ia masih bisa mendengar.” Barend menghela nafasnya, ibunya sama sekali tidak pernah mau tinggal bersamanya di Indonesia. Ia masih saja mengurus peternakan kecilnya di Giothoorn. Dendricklah yang selama ini membantu ibunya mengelola peternakan tersebut. Agar ibunya tidak kesepian, Barend bahkan rela memberikan satu putrinya untuk menemani sang Ibu. Waktu itu, ia sampai bertengkar dengan Rumi karena keputusannya tersebut. “Bagaimana keadaan Shanaya?” Barend menanyakan kabar putrinya, Shanaya. “Dia sangat cantik. Kau beruntung sekali punya putri seperti Shanaya.” Dendrick tertawa kecil menjawab pertanyaan Barend. “Hmmm ... Anaya juga sangat cantik.” Barend menyebutkan jika Anaya juga sangat cantik. Anaya dan Shanaya adalah saudara kembar, mereka seperti pinang dibelah dua. Jika ada yang melihat salah satunya, pasti mereka bertanya dulu, ini Anaya atau Shanaya. Dendrick memelankan laju mobilnya, tidak terasa mereka sudah sampai di rumah sakit Kota Giothoorn. Keduanya langsung saja menuju ruang inap setelah Dendrick memarkirkan mobilnya di tempat parkir rumah sakit tersebut. “Apa yang terjadi?” Dendrick bertanya kepada salah seorang perawat yang baru keluar dari kamar Ibu Barend “Maaf, Nyonya Willeke sudah meninggal.” jawab perawat tersebut. Kemudian ia meminta maaf kepada Barend dan Dendrick. Kemudian ia mengucapkan belasungkawa atas kematian Nyonya Willeke, Ibu Barend. Barend langsung saja berlari ke kamar Ibunya, ia melihat Shanaya sedang berdiri di pinggir ranjang. shanaya menangis di samping jasad Willake. Barend merangkul tubuh Shanaya kemudian membawa Shanaya ke dalam pelukannya. “Maafkan, Papa. Maafkan Papa yang baru sempat datang menemui Oma.” ungkap Barend. Ia menyesal, tidak bisa berbicara dengan Willake di akhir hidupnya. Kedatangannya ke Giothoorn hanya melihat jasad Willake dan itu membuat hatinya perih. Andai saja ia bisa datang lebih cepat, ia pasti akan melakukan semua yang diminta Willake di akhir hidupnya. “Terlambat, Pa! Papa sudah terlambat.” Isak Shanaya di d**a Barend. Barend mengusap lembut rambut putrinya, ia sangat mengerti Shanaya pasti merasa sangat kehilangan. Ia sudah tinggal bersama Willake sejak usianya 5 tahun, dan sekarang ia kehilangan sosok nenek yang telah merawat dan membesarkannya. Willake telah melimpahkan kasih sayang yang tidak Shanaya dapat dari kedua orang tuanya. * Shanaya menghidangkan dua cangkir coklat panas pada Barend dan Dendrick. Willake sudah di kuburkan dua hari yang lalu. Namun, suasana duka masih dirasakan Shanaya. Selama 17 tahun, ia selalu bersama Willake. Mengikuti kemanapun Willake pergi. Apapun yang menjadi kebiasaan Willake sekarang menjadi kebiasaannya. Shanaya menuruni semua hobi Willake. “Shan, duduk di sini,” ajak Barend. Barend menunjuk kursi kosong yang ada di sebelahnya. “Kamu ikut sama Papa ke Jakarta, ya?” Shanaya menggelengkan kepalanya, Giothoorn adalah jiwanya. Ia besar dan tumbuh di kota kecil yang tidak memiliki jalan raya. Semua kawasan di Giethoorn di kelilingi oleh sungai sungai kecil yang indah. Penduduk di kota kecil ini biasa menggunakan perahu kecil sebagai transportasi atau berjalan kaki melalui jembatan. Jika ada yang mempunyai mobil, maka mobil harus mereka letakkan di luar kota Giethoorn. “Kenapa? Oma sudah meninggal. Kamu akan sendirian di sini,” ungkap Barend. “Ada Oom dendrick,” ujar Shanaya. Tentu saja Barend tidak akan mengizinkan putrinya tinggal berdua saja dengan Dendrick. Dendrick seorang duda yang sudah lama ditinggal istrinya. Meskipun ia sangat mempercayai Dendrick sebagai orang yang membantu ibunya selama ini, tapi mengizinkan Shanaya untuk tinggal bersama Dendrick adalah hal yang tidak wajar bagi Barend. Dan jelas, Rumi akan mengamuk jika mengetahui hal ini. Barend dan Rumi tidak akan tenang di Jakarta jika hal itu sampai terjadi. “Shan, mamamu tidak akan mengizinkan hal ini. Ia sangat merindukanmu.” bujuk Barend. “Aku ingin di sini, Pa! Aku akan mengunjungi oma setiap hari.” “Papa berjanji, kamu boleh kesini kapanpun kamu mau. Tapi untuk tetap tinggal di sini, Papa tidak bisa izinkan.” Barend sudah memperlihatkan kekuasaannya pada ucapannya. Sorot tajam matanya tepat memandang mata Shanaya, tatapan Barend membuat Shanaya menundukkan kepala. "Sayang, maafkan Papa. Papa hanya ingin membawamu untuk tinggal bersama Mama dan Anaya." Suara Barend mulai melembut. "Mereka juga merindukanmu." “Pergilah patuhi Papamu,” ucap Dendrick. Mendengar perintah Dendrick, Shanaya menganggukkan kepalanya. “Berkemaslah, kita berangkat besok pagi,” perintah Bared. Shanaya segera beranjak dan masuk ke kamarnya, ia mengambil tas dan mulai mengumpulkan satu persatu barang kesayangannya yang akan ia bawa ke Jakarta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD