~DUA BELAS~

1251 Words
Waktu menunjukkan pukul 16.07. Itu artinya jam kerja Vania sudah habis sejak tujuh menit yang lalu. Vania bergegas naik ke lantai tiga, ke tempat ruangan Andrea untuk membereskan ruangan itu, sama seperti yang Andrea arahkan. Cklek Perlahan, Vania membuka pintu ruangan itu. Ia sempat kaget melihat Andrea masih ada di ruangan itu. Duduk tenang sembari memandangi sebuah bingkai foto. "Dokter belum pulang?" tanya Vania memecah keheningan. Andrea yang merasakan kehadiran Vania pun menolehkan kepalanya. Namun ia tampak tak begitu mengindahkan kedatangan gadis itu. Andrea menyimpan album itu di dalam lacinya kemudian mulai berkemas. Mata Vania menyipit. Ia merasakan ada sesuatu yang janggal pada atasannya itu. Seperti seseorang yang kehilangan semangat hidupnya. Untuk banyak hal, Andrea memang tampak pasif dan cuek. Tapi ini berbeda. Seperti ada sesuatu yang tengah mengganggu pikiran pria itu. "Dok, lagi ada masalah ya?" tanya Vania hati-hati. Andrea kembali melirik ke arah Vania, kemudian mendengus. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan melewati Vania. "Dok, ada orang tanya kok di cuekin sih?" Suara langkah kaki itu terhenti sebelum pintu terbuka. Vania yakin jika Andrea baru saja menghentikan langkahnya. Tapi entah mengapa, pria itu masih tak merespon ucapannya. Vania jadi kesal sendiri dibuatnya. "Dokter capek? Sama, saya juga. Saya juga baru selesai kerja langsung kesini. Anda sih enak, sepulang kerja bisa istirahat, nah saya, masih harus kerja sampingan lagi." Masih tak ada jawaban. Vania pun semakin geram. "Dok, telinga Anda sedang sakit ya? Dari tadi saya ngomong nggak didengerin." "Apa Anda sakit gigi? Kok say...." Deg Ucapan Vania terhenti saat merasakan sesuatu yang hangat menghantam punggungnya. "D..dok..?"  Vania membeku saat menyadari kehangatan itu berasal dari Andrea. Pria itu tiba-tiba saja memeluknya dari belakang. "Saya rindu Ibu saya." Vania masih bungkam. Ia dapat mendengar jelas nada kesedihan di setiap kata yang Andrea ucapkan. Ia seperti baru saja menemukan sosok baru di balik ekspresi datar pria itu. Apakah selama ini ia menyimpan luka? Vania berusaha memutar tubuhnya. Menghadap ke arah Andrea dan sedikit memundurkan tubuhnya. Menciptakan jarak diantara keduanya. "Dokter sedang ada masalah?" Andrea hanya diam dan membalas tatapan Vania dengan tatapan yang sulit diartikan. "Memangnya Ibu Dokter Andrea dimana? Di luar kota ya?" tanya Vania yang masih tak menyerah. Andrea menggeleng. Ia melangkah mendekati Vania. Matanya semakin berkaca-kaca. "Dok, ada apa sih?" bingung Vania. "Kamu mau kan menemani saya ke makam ibu saya?" "Hah?" Vania benar-benar bingung dengan tingkah atasannya itu. Kenapa saat ini dia tampak benar-benar berbeda? Terkesan rapuh, seperti ada sesuatu yang baru saja membuka luka lamanya. "Kamu antar saya ke makam Ibu saya, ya!" ulangnya lagi dengan nada lemah. Vania mengangguk pasrah. Ia bahkan baru tau kalau Ibu Dokter Andrea ternyata sudah meninggal. Dan karena itu, pria yang biasanya tampak garang itu kini terlihat rapuh di hadapannya. "Saya temani, Dok. Ayo!" ragu, Vania meraih lengan Andrea kemudian menggandengnya menuju parkiran. *   Dan kini, dua manusia berbeda jenis kelamin itu tengah saling terdiam di tempat yang sangat sepi.  Vania menatap pilu punggung yang terlihat rapuh itu. Matanya terasa pedih melihat pemandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya itu. Saat ini Vania dan Andrea berada di sebuah pemakaman umum. Tepatnya di samping sebuah nisan bertuliskan Amelia yang Vania yakini sebagai ibu Andrea. Dari tanggal yang tertera di batu nisan itu, Vania tau kalau wanita yang telah melahirkan Andrea itu telah meninggal sejak lama, hampir delapan tahun. Tapi, kenapa Andrea tampak sesedih ini setelah hampir delapan tahun lamanya? "Dok, sudah hampir malam!" ujar Vania mengingatkan. Andrea menoleh sebentar, namun kembali menatap ke arah pusara ibunya. "Dok, saya belum nyuci baju nih, udahan yuk!" lanjutnya. Vania dapat mendengar decakan kesal dari Andrea yang dapat dipastikan jika itu ditujukan untuknya. Selang beberapa detik, Andrea bangkit dan berdiri di hadapan Vania. "Ayo pulang!" ajaknya. Andrea melewati tubuh mungil Vania dan berjalan mendahului gadis itu menuju mobilnya. Vania pun memilih diam dan mengikuti langkah pria itu. Ia merasa, ini bukan saat yang tepat untuk berdebat.  Andrea segera menjalankan mobilnya sesaat setelah Vania memasang seat beltnya. "Dokter ingat kontrakan saya kan?" "Hmm.." "Dok, Dokter lapar tidak?" Kali ini Andrea menoleh. Ia memandangi wajah polos di sampingnya. 'Kenapa tadi aku ngajak dia ke makam Ibu?' bingung Andrea ketika menyadari jika saat ini ia tengah bersama gadis yang ia anggap aneh itu. "Dok, saya lapar nih. Kalau makan dulu bagaimana?" Vania. "Kamu mau traktir saya?" tantang Andrea. "Ck. Langsung ke kontrakan saya saja! Nanti saya buatkan mie instan yang murah." kesal Vania. Vania tahu betul selera pria di sampingnya itu. Semua serba high class. Bisa habis gajinya sebulan untuk mentraktir orang itu. "Enak saja, saya tidak makan mie instan. Apalagi buatan kamu." balas Andrea yang sesekali melirik ke arah Vania. Vania kembali berdecak dan melipat tangannya di depan d**a. Selama beberapa menit, tak ada suara yang keluar dari mulut kedua insan itu. Mereka saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.  Yang ada hanya Andrea yang sesekali melirik ke arah Vania, dan Vania yang menatap ke arah jalanan dengan tatapan yang sulit diartikan. "Eh!" Suara itu berasal dari mulut Vania. Dokter muda itu menegakkan tubuhnya yang seketika terasa kaku saat Andrea meminggirkan mobilnya di halaman sebuah restoran. Ia menatap kesal Andrea. Tidak terima dengan pilihan Andrea. Ia khawatir Andrea benar-benar akan menguras kantungnya, atau bahkan membuatnya harus mencuci ratusan piring di restoran itu. "Serius loh, Dok! Ini tanggal tua. Saya belum gajian." Vania. "Saya lapar!" balas Andrea sebelum ia turun dari mobilnya. Vania melirik kesana kemari. Namun, ia kembali di kejutkan disaat Andrea membuka pintu yang tepat berada di sampingnya. "Dokter mau traktir saya? Kalau iya saya turun, kalau enggak, saya disini saja deh." Vania. Andrea tak mengindahkan ucapan gadis berambut hitam pekat itu. Andrea meraih lengannya dan menariknya turun dengan sedikit paksaan. "Buruan saya lapar!" kesal Andrea yang masih terus menarik lengan itu hingga memasuki restoran. Andrea sedikit mendorong Vania hingga gadis itu duduk di sebuah kursi. Kemudian, ia meraih kursi untuk dirinya sendiri, tepat di hadapan Vania. Tak lama berselang, seorang waitress datang membawakan buku menu. Andrea pun segera meraihnya. Andrea membolak-balik buku menu itu hingga akhirnya pilihannya jatuh pada beef steak dan matcha latte. Ia segera mengucapkan pesanannya agar ditulis oleh waitress yang sedari tadi menunggu. Merasa ada yang aneh, Andrea menoleh ke arah Vania yang tampak membeku dan melemparkan tatapan membunuhnya. "Kamu tidak pesan?" tanya Andrea santai. "Kok Dokter pesennya yang mahal-mahal semua sih? Dokter sengaja? Uang saya mana cukup? Yang ada saya nanti disuruh nyuci piring di belakang!" kesal Vania. Waitress yang mencatat pesanan mereka nyaris saja tertawa mendengar ocehan Vania, begitu pula dengan Andrea. "Saya paling anti makan dibayarin perempuan. Cepat pesan!" Andrea. Vania masih terdiam. Ia butuh waktu untuk mencerna ucapan Andrea. "Saya yang bayar. Anggap saja sebagai sogokan agar kamu tidak menceritakan tentang semua yang terjadi hari ini pada siapapun." lanjut Andrea. "Serius?" tanya Vania dengan mata berbinar. Andrea masih memasang wajah datarnya. Seakan tak peduli dengan pertanyaan Vania. Baginya, tak perlu mengulangi perkataan yang tidak terlalu penting. "Okey. Siap. Sebentar ya, Kak! Saya milih dulu." ujar Vania pada waitress perempuan itu. "Hmm... sup asparagus satu, fish fillet satu, fried frize satu, milk shake cookies satu, hmm....." "Kamu bisa menghabiskan semua itu?" tanya Andrea. "Bisa!" jawab Vania yakin "Nah.. lemon tea nya juga satu." lanjut Vania. Andrea menggeleng heran dengan gadis di hadapannya. "Dok, Dokter kaya kan? Kalau nanti saya minta bungkusin makan buat malem masih sanggup kan?" bisik Vania. "Kamu masih mau lagi?" kaget Andrea. Vania mengangguk polos. "Hmm. Pesan saja semua yang kamu mau. Tapi kamu harus janji, jangan sampai ada orang tahu tentang kejadian hari ini, terutama tentang saya yang tiba-tiba menangis." Andrea.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD