Vania terduduk di sebuah kursi empuk, berusaha mengatur napasnya pasca berlari sejauh lebih dari lima ratus meter. Ia meletakkan jas kebanggaannya di atas meja, mengipaskan tangannya ke wajah dan lehernya. Setelah beberapa saat, ia tersadar akan satu hal.
"Astaga! Green tea!" Vania kembali bangkit dari duduknya. Ia berjalan cepat ke arah pintu ruangan itu kemudian,
Cklek
Vania terpenjat. Sang pemilik ruangan sudah tiba. Dan ia belum melakukan semua tugasnya. Sang pemilik ruangan yang tak lain adalah Andrea menatap penampilan Vania dari atas hingga bawah. Berantakan. Satu kata itulah yang langsung terbesit di pikiran pria itu.
"Se... selamat pagi, Dok," sapa Vania.
Andrea dapat mencium aroma yang tidak beres pada gadis itu. Ia melangkah mendekat, kemudian berhenti ketika hanya menyisakan dua langkah antara dirinya dan gadis di hadapannya.
"Bagaimana tugasmu?" tanya Andrea.
Vania menelan saliva dengan susah payah. Ia menunduk. Tidak berani menatap ke mata Andrea.
"Sa... saya baru akan buatkan green tea nya, Dok. Saya memang berencana membuatkannya ketika Anda sudah datang supaya Anda bisa meminumnya ketika masih pan.."
"Sudah saya katakan saya mau yang hangat, bukan panas!" potong Andrea cepat. Vania kembali menelan salivanya dan melangkah mundur.
"Ma... maaf, Dok. Besok tidak saya ulangi lagi," ujarnya.
Untuk kali ini Vania benar-benar takut. Bagaimanapun Andrea memegang kuasa atas dirinya. Andrea bos, dan ia asistennya. Vania tidak ingin kehilangan pekerjaan sampingannya ini.
"Sudah kamu rapikan meja saya?" tanya Andrea lagi. Mata Vania membolat. Belum. Ia belum melakukan apapun pagi ini. Ia menoleh ragu ke arah meja yang ada di belakangnya. Ia bernapas lega, karena tanpa ia rapikan, ternyata meja itu memang sudah cukup rapi. Andrea mengikuti arah pandangan Vania. Ia berdecak sebelum berujar,
"Kau juga belum melakukannya. Masih sama seperti saat terakhir saya tinggalkan."
Vania memejamkan matanya. Selang beberapa detik, ia ingat dengan satu tugasnya. Green tea.
"Sa... saya minta maaf, Dok. Saya permisi mau membuat green tea Anda," ungkap Vania.
Baru dua langkah, Andrea mencekal lengan Vania. Membuat Vania membatu di tempatnya.
'Please, jangan dipecat, please!!!' jerit Vania dalam hati.
"Ikat rambutmu!" Vania mendongak.
Menatap Andrea yang kini juga tengah menatapnya. Namun ia segera tersadar dan melakukan apa yang bosnya itu perintahkan. Vania terpenjat ketika merasakan sesuatu menyentuh keningnya. Sebuah benda yang terbuat dari kain. Dan setelah matanya menelusuri, ia tahu darimana arah datangnya benda itu.
"Dok... dokter Andrea?" kagetnya.
Andrea menghentikan aktivitasnya. Ia menghela napas. Detik berikutnya, ia melemparkan selembar kain kecil yang terlipat rapi itu ke wajah Vania. Dan dengan sigap, Vania menangkapnya.
"Bersihkan sendiri!" ujar pria itu dingin.
Vania melongo melihat atasannya yang tampak aneh itu.
"Ck... kamu ini orang kesehatan, tapi jorok sekali. Lihat keringatmu ada dimana-mana!" tambahnya dengan volume yang lebih tinggi.
Vania memejamkan mata ngeri mendengar omelan Andrea pagi ini.
"Sekali lagi maaf, Dok!" ujarnya.
"Berhenti minta maaf! Cepat buatkan green tea!" Vania mengangguk kemudian berjalan cepat ke arah pantry yang ada di lantai satu.
Di pantry, Vania bertemu dengan office girl yang biasanya membuatkan green tea Andrea. Dan dengan arahan office girl itu, Vania berhasil membuat green tea seperti yang diintruksikan Andrea. Vania pun bergegas ke ruangan Andrea lagi sembari membawa secangkir green tea buatannya.
"Ini, Dok green tea nya," ujar Vania sembari meletakkan secangkir green tea itu di atas meja kerja Andrea. Andrea mengalihkan tatapannya dari laptopnya. Ia menatap ragu cangkir di hadapannya.
"Ya sudah, kamu boleh mengerjakan pekerjaan kamu yang lain," usir Andrea.
"Baik, Dok," balas Vania. Vania memutar tubuhnya dan menggerutu kesal.
"Makasih, green tea nya," gumamnya bicara sendiri karena gemas dengan sikap Andrea yang tidak tahu terima kasih sama sekali.
Andrea dapat mendengar ucapan gadis itu. Telinganya juga cukup peka akan nada sindiran itu. Tapi ia memilih diam dan tidak menanggapinya kali ini. Ia segera meraih cangkir itu dan menyeruput sedikit isinya.
"Hmm..." gumamnya.
'Ada yang aneh,' pikirnya.
"Tunggu!" Vania menghentikan langkahnya tepat di depan pintu. Ia kembali memutar tubuhnya menghadap Andrea.
"Ada apa, Dok?" tanya Vania.
"Kemarin kan saya sudah bilang kalau saya tidak suka ada gula di green tea saya," ucap Andrea.
"Ya, lalu?" bingung Vania. Andrea berdecak kesal dan meletakan minumannya.
"Lalu kenapa kamu memasukan gula ke dalam green tea saya?" selidik Andrea. Vania menggeleng cepat.
"Saya nggak ngasih gula kok. Serius." Vania.
Ekspresi Vania cukup meyakinkan. Andrea jadi menyerit bingung. Ia kembali mencicipi green tea itu.
"Tapi.. rasanya beda dengan green tea yang biasa saya minum," ujar Andrea.
"Beda bagaimana sih, Dok? Saya membuatnya ditemenin Yanti, kok. Office girl yang biasa buatin green tea Anda," kesal Vania yang merasa dipermainkan.
"Kok kamu jadi marah sih? Kan saya cuma tanya," bingung Andrea
"Marah? Saya nggak marah. Kesel aja sama Dokter. Ribet banget sih. Saya udah bikin itu green tea hangat, tanpa gula, sesuai sama yang Dokter minta. Bodo ah saya mau kerja!" balas Vania yang tidak terima dengan semua ucapan Andrea. Ia merasa benar-benar direpotkan oleh orang itu.
Vania memutar tubuhnya dan berjalan cepat keluar dari ruangan Andrea. Ia benar-benar kesal. Dan sekarang sudah masuk jam kerjanya sebagai seorang dokter di rumah sakit ini.
"Kok dia malah marah-marah sih? Aneh banget itu cewek," bingung Andrea. Ragu, ia kembali meminum green teanya.
"Memang rasanya beda. Ini lebih manis dari yang biasa. Kalau nggak dikasih gula, kenapa bisa manis gini?" Lagi, Andrea meminumnya.
"Bodo amat lah. Yang penting enak."
Sementara Vania, dokter berusia dua puluh empat tahun itu segera beralih ke pekerjaannya yang lain. Hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek kondisi Linzy. Kekesalan Vania akibat Andrea memudar kala ia melihat senyum lebar gadis kecil berambut panjang itu.
"Tante Dokter..." panggil gadis itu. Vania tersenyum dan segera berjalan mendekati gadis itu.
"Linzy sudah makan?" Vania. Linzy menggeleng.
"Makanannya belum datang, Dok," sambung Bu Laras. Vania menoleh ke arah wanita paruh baya itu.
"Bu Laras istirahat dan cari sarapan dulu saja, Bu! Biar Linzy saya yang jaga sebentar," ujar Vania.
"Ya sudah, Dok. Saya titip Non Linzy sebentar ya!" balas Bu Laras.
Vania mengangguk. Setelah Bu Laras keluar, Vania mulai memeriksa keadaan Linzy diselingi obrolan ringan agar suasana tidak canggung. Vania memang mempunyai keahlian khusus dalam hal mencairkan suasana. Sangat mudah untuk akrab dengan dokter muda itu.
"Bagaimana Tante Dokter, Linzy sudah sehat kan?" tanya Linzy.
"Sudah jauh lebih baik. Kondisi kamu selalu membaik setiap harinya. Itu pasti karena Linzy punya semangat yang tinggi untuk sembuh," jawab Vania.
"Iya dong, Linzy pengen cepet sembuh biar nggak ngerepotin Bi Laras dan bisa sekolah lagi."
Vania mengangguk paham. Namun selanjutnya ia kembali teringat tentang rencana kemoterapi yang akan segera dilakukan.
"Oh iya, Linzy, sebenarnya kalau Linzy mau cepat sembuh ada sebuah terapi yang harus Linzy jalani," terang Vania.
"Apa, Tante Dokter?" Vania menghela napas, ia bingung bagaimana cara menjelaskannya pada Linzy. Apalagi mengingat terapi tersebut memiliki rasa sakit yang luar biasa.
"Namanya kemoterapi. Rasanya agak sakit, tapi jika Linzy kuat Tante Dokter yakin Linzy benar-benar akan segera sembuh dan bisa sekolah lagi," terang Vania.
"Linzy itu kuat kok, Tante Dokter. Linzy mau asal Linzy bisa segera keluar dari rumah sakit. Linzy nggak mau ngerepotin Bi Laras terus. Linzy kasihan sama Bi Laras," ungkap Linzy.
Vania tersenyum sembari membelai rambut panjang Linzy yang halus.
Tak lama berselang, pintu ruangan Linzy terbuka. Menampilkan seorang suster yang membawakan makan untuk Linzy.
"Linzy mau disuapin sama Tante Dokter," pinta Linzy. Vania mengangguk penuh semangat. Ia segera meraih piring makan Linzy dan menyuapi gadis kecil itu dengan telaten.
"Rasanya hambar, tapi karena Tante Dokter yang nyuapin, Linzy suka," ujar Linzy. Vania tersenyum dan mencubit gemas pipi anak di depannya itu.
"Linzy kecil-kecil bisa gombal ya?" goda Vania.
Tanpa mereka sadari, dari balik pintu ada dua orang yang mengintip interaksi mereka. Dua orang yang mengintip interaksi antara Vania dan Linzy itu berbalik dan berjalan ke tujuan mereka sebelumnya.
"Sepertinya dia akan menjadi dokter yang lebih hebat darimu suatu hari nanti."
"Hm?"
"Jangan pura-pura tidak tahu. Dia punya jiwa yang sempurna sebagai seorang dokter. Ketulusan dan kasih sayangnya itu yang tidak dimiliki sembarangan orang. Bahkan mungkin termasuk kita."
Sang pria terdiam. Mencerna ucapan wanita yang pernah berstatus seniornya itu. Dua orang itu adalah Andrea dan Sitha. Keduanya secara tidak sengaja bertemu di depan ruangan Linzy dan mendengar percakapan akrab dari dalamnya. Hingga kemudian mereka mengintip dari celah pintu, dan akhirnya dapat menyaksikan interaksi antara dokter dengan pasiennya itu.
"Apa mungkin mereka punya hubungan kekerabatan ya?" pikir Sitha.
"Ck. Sudahlah, itu bukan urusan kita," gumam Andrea.
"Kamu tidak ada niat membantu dia? Aku lihat akhir-akhir ini kamu selalu memperhatikan gadis itu. Entah perasaanku saja atau memang gadis itu spesial buat kamu," goda Sitha.
"Kak!" tegur Andrea yang merasa tidak setuju dengan ucapan Sitha.
Sitha terkekeh. Beberapa hari terakhir dia sering melihat manusia tembok itu berekspresi lucu. Dari yang awalnya hanya punya satu ekspresi datar, kini pria berusia dua puluh delapan tahun itu juga bisa berekspresi kesal, malu, bahkan cemas.
"Sepertinya memang dia benar-benar spesial," lanjut Sitha.
Andrea berdecak kemudian berjalan cepat mendahului Sitha. Hal itu membuat Sitha semakin yakin kalau dugaannya benar.
"Dia bisa salah tingkah? Lucu juga."
***