Dalam sepersekian detik, Andrea menolehkan kepalanya ke arah Vania. Ia benar-benar tidak mengerti cara berpikir gadis itu.
"Hey... kamu lupa, gajimu saja terkadang tidak cukup untuk membiayai hidupmu sendiri." Andrea. Vania meringis. Apa yang dikatakan seniornya itu benar. Bahkan ia juga punya tanggungan hutang pada Helen yang belum bisa ia bayar. Dua bulan lagi juga sudah jatuh tempo p********n kontrakan kecilnya, dan sekarang ia belum punya uang.
"Benar, Vania. Aku dengar kamu juga hanya mengontrak selama ini. Apa kamu yakin mampu membiayai pengobatan Linzy juga? Ku pikir gajimu juga belum seperti dokter pada umumnya." Sitha.
Vania kembali berpikir. Benar. Selama ini ia sering hidup kesusahan dalam hal ekonomi. Dia belum resmi menjadi seorang dokter tetap, dan ia memiliki tanggungan kehidupan yang cukup tinggi, utamanya dalam hal tempat tinggal. Menyewa kontrakan di tengah kota bukanlah sesuatu yang murah. Biaya hidup disana pun cukup tinggi. Tapi...bagaimana dengan Linzy jika ia juga lepas tangan. Ia tau, Linzy hanya punya Bu Laras. Dan Bu Laras juga bukan berasal dari kalangan berada.
Mencari ayah Linzy? Bukankah itu juga akan memakan waktu panjang? Apakah Linzy akan baik-baik saja jika harus menunggu ayahnya datang? Bahkan seorangpun tak ada yang mengetahui keberadaannya.
"Saya akan usahakan. Dokter Sitha dan Dokter Andrea hanya perlu membantu dalam hal medis, selebihnya, biar saya yang cari jalan keluar termasuk biayanya." ucap Vania mantab. Andrea menggeleng tak mengerti dengan jalan pikiran gadis itu.
"Saya mohon, lakukan yang terbaik untuk Linzy, Dok. Saya butuh bantuan kalian. Linzy adalah pasien pertama saya, dan saya tidak ingin gagal memegang tanggung jawab besar ini." pinta Vania memohon. Terdengar helaan napas dari samping Vania. Yup, suara itu berasal dari Andrea.
"Lakukan saja! Untuk biaya kemo yang pertama, biar aku yang menanggungnya." ujar Andrea pada Sitha
"Kamu yakin?" Sitha. Andrea mengangguk yakin. Vania membolatkan matanya. Benarkah Andrea akan melakukannya?
"Anda serius?" tanya Vania meyakinkan. Andrea kembali mengangguk.
"Terima kasih, Dok. Saya janji akan segera mengganti uangnya begitu saya dapat uang." Vania
"Tidak perlu. Kamu bisa fokus untuk biaya kemo selanjutnya. Kamu harus tahu kalau dalam satu seri kemoterapi, Linzy harus menjalani sebanyak enam kali pemasukan zat kimia dalam tubuhnya, kecuali kalau kanker itu hilang sebelum satu seri itu selesai. Tapi dalam khasus Linzy, sepertinya akan memakan waktu yang lebih lama." terang Andrea panjang lebar. Vania menyimaknya dengan seksama. Sesekali ia mengangguk paham.
"Baik, saya akan bekerja lebih keras dan segera mencari jalan untuk dapat lebih banyak uang." Vania.
*
Vania beristirahat di taman rumah sakit. Ia menatap hampa ke arah benda persegi panjang yang ada di tangannya. Ia memikirkan cara agar ia bisa mendapatkan uang untuk biaya pengobatan Linzy. Dia hanya mempunyai dua teman dekat. Helen dan Kinan. Tapi, ia tidak mungkin meminta bantuan pada kedua temannya itu. Hutangnya pada Helen sudah menumpuk, dan Helen bukanlah berasal dari kalangan berada. Sementara Kinan, gadis itu kini tengah menempuh pendidikan di Belgia dan sangat sulit dihubungi. Ia kembali berpikir sembari melihat isi kontak di handphonenya. Hingga ia menemukan satu nama yang membuatnya terdiam. Ia menggeleng cepat. Tak mungkin ia meminta bantuan pada orang itu. Ia sudah berjanji tidak akan melibatkan orang-orang dimasa lalunya. Ia ingin berdiri dengan kakinya sendiri.
"Mungkin aku bisa bekerja paruh waktu seperti saat aku kuliah dulu." guman gadis itu pada akhirnya. Ketika Vania bangkit dan hendak meninggalkan taman, sebuah suara berhasil menyita perhatiannya. Ia sangat hafal dengan pemilik suara itu. Ia menoleh kesana kemari dan mendapati pria pemilik suara itu tengah berdiri membelakanginya. Berdiri dengan jarak sekitar lima meter dari tempatnya dan tengah berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon.
"Ya. Aku rasa aku butuh seorang asisten. Kamu tahu, jam terbangku sangat tinggi di rumah sakit ini."
Vania menyerit. Asisten? Bukankah di rumah sakit ini sudah banyak perawat yang bisa membantu kerja dokter? Lagipula dokter yang tengah membelakanginya itu memiliki pangkat yang lebih tinggi dari kebanyakan dokter di rumah sakit ini. Pasti sangat mudah mendapatkan bantuan dari mereka.
"Terserah mau pria ataupun wanita, berapa saja usianya, asal dia punya ilmu dibidang kesehatan dan rajin bekerja." Dan lagi, Vania menyadari satu keanehan. Pria itu bicara dengan suara yang cukup keras, padahal suasana taman cukup sepi.
"Aku juga tidak bisa menerima orang berisik bekerja di sekitarku."
"Gaji? Aku bisa memberikan seperempat gajiku untuknya kalau dia memang bisa bekerja." Mata Vania membolat sempurna. Seperempat gaji orang itu Vania yakini lebih tinggi dari gaji bulanannya. Apakah dia serius? Tanpa pikir panjang, Vania berlari menghampiri pria yang masih sibuk dengan ponsel di tangannya itu.
"Dokter Andrea!" panggilnya ketika tiba di belakang pria itu. Pria itu memutar tubuhnya. Dan benar saja, dia adalah Andrea. Dokter spesialis bedah terbaik sekaligus salah satu pemegang saham rumah sakit ini. Vania tersenyum ramah meski hanya dibalas dengan tatapan datar.
"Anda butuh asisten?" tanya Vania.
"Dari mana kamu tahu?" bukannya menjawab, pria itu malah bertanya balik pada Vania.
Vania tersenyum kikuk kemudian menjawabnya dengan jujur jika ia mendengar pembicaraan Andrea dan lawan bicaranya tadi.
"Ya. Lalu?" Andrea.
"Syaratnya apa saja, Dok?" tanya Vania antusias. Andrea menatap penampilan dokter muda di hadapannya dari atas hingga bawah.
"Aku rasa kamu tidak masuk kriterianya." ujar Andrea kemudian berbalik dan meninggalkan Vania. Vania berdecak kesal. Tapi bukan Vania namanya kalau akan menyerah begitu saja, apalagi dalam menghadapi orang seperti Andrea. Vania berlari menyusul langkah lebar Andrea.
"Dok.." panggil Vania pada Andrea. Andrea tidak menghiraukannya dan segera masuk ke dalam lift. Jam kerjanya sudah habis. Dan dia berniat merapikan barangnya agar dapat segera pulang. Pintu lift tertutup sesaat sebelum Vania berhasil memasukinya. Lagi, gadis itu berdecak kesal. Ia beralih ke lift yang satu dan memencet tombolnya berkali-kali. Setelah beberapa saat, pintu lift terbuka. Vania menghela napas kemudian masuk menerobos kerumunan orang yang bersiap turun. Akibatnya, Vania kembali terdorong keluar dari lift. Bahkan ia nyaris jatuh. Namum, dengan segera ia kembali masuk dan memencet angka tiga.
Ting
Pintu lift terbuka. Vania segera keluar dan berjalan menuju ruangan Andrea. Baru saja ia akan mengetuk pintunya, Andrea muncul dan membuat Vania memekik kaget.
"Astaga kaget!" ucapnya latah. Andrea sempat tersenyum tipis. Tidak! Laki-laki itu berusaha menahan tawanya melihat ekspresi terkejut Vania. Ia sudah tahu kalau gadis itu pasti akan menyusulnya.
"Dok, saya boleh ya daftar jadi asisten Anda? Saya janji akan bekerja dengan baik kok." ujar Vania memelas. Andrea tersenyum miring.
"Bekerja dengan baik? Berangkat saja selalu terlambat masih mau jadi asisten saya?" Andrea. Vania mengangguk ragu.
"Saya janji akan berubah. Saya akan datang sebelum Anda datang. Saya akan merapikan ruangan Anda sebelum dan setelah Anda bekerja. Saya juga..." Vania menghentikan ucapannya. Sesungguhnya ia tidak tahu apa saja tugas seorang asisten.
"Kamu bisa tepati ucapanmu?" tanya Andrea. Vania mengejapkan matanya. Ia mengangguk mantab meski sesungguhnya ia tak yakin. Yang ia tau, saat ini ia tengah butuh banyak uang untuk biaya kemoterapi Linzy. Dan Andrea menawarkan gaji yang cukup menggiurkan untuk pekerjaan itu.
"Baiklah. Kamu bisa bekerja mulai besok. Dan saya mau, ruanganku sudah bersih dan rapi sebelum saya datang." ujar Andrea. Vania membungkuk sopan.
"Baik, Dok. Saya akan bekerja dengan lebih sungguh-sungguh mulai besok. Saya akan melakukan semaksimal mungkin agar Anda tidak menyesal telah memilih saya." Vania.
"Jangan lupa siapkan teh hijau hangat tanpa gula setiap pagi!" Andrea. Vania kembali mengangguk. Setelah itu Andrea berjalan melewati Vania yang masih terdiam di tempatnya.
"Sekali lagi terima kasih, Dok!" teriak Vania
"Yes!!" girang Vania sembari melompat-lompat seperti anak kecil yang dapat mainan baru. Ia tau, Tuhan tidak pernah tidur. Tuhan memberinya bantuan saat ia benar-benar membutuhkan melalui sosok dingin itu. Dan tanpa Vania sadari, pemilik punggung yang kian menjauh itu tersenyum mendengar teriakan Vania.
*