Luka, tidak memerlukan orang hebat untuk menyembuhkannya. Ia lebih memerlukan kasih dan kehangatan dari seseorang yang mempunyai ketulusan untuknya
Andrea baru saja kembali ke rumah sakit pasca istirahat makan siangnya. Sebelum menuju ke ruangannya, ia akan menemui Dokter Sitha. Salah satu dokter spesialis kanker yang dimiliki Centra Medika.
Namun, langkahnya terhenti ketika melewati sebuah ruangan di bangsal anak. Ruangan tersebut berada tepat di depan salah satu taman rumah sakit sehingga memang sering dilalui banyak orang.
Andrea mengintip dari balik jendela sebuah interaksi seorang dokter muda dengan pasiennya. Mereka terlihat dekat.
Sang dokter mengajak pasiennya itu mengobrol ringan sembari menyuapinya makan siang. Di sisi lain, tampak seorang wanita paruh baya yang tengah makan seporsi ayam panggang.
"Tante Dokter, aku mau minum." pinta gadis kecil itu. Sang dokter meletakkan sendoknya kemudian mengambil jus strawberry dan menyerahkannya pada anak di hadapannya. Setelah beberapa saat, anak kecil itu mengembalikannya, dan keduanya melanjutkan aktivitas yang sempat terhenti. Keduanya tampak bahagia. Ada tawa kecil di setiap ucapan mereka. Sang anak terlihat nyaman berada di dekat dokternya.
Yup. Mereka adalah Vania dan Linzy.
'Ternyata dua porsi makanannya buat Linzy dan Bu Laras?'
'Nggak salah kan aku memberikan tanggung jawab itu padanya?' batin Andrea sembari tersenyum.
'Yang Linzy butuhkan saat ini bukanlah dokter terbaik, tapi seorang dokter yang bisa menjadi temannya. Membuat hari-harinya berwarna. Dan itu kamu, Vania.'
"Dokter Andrea!" Andrea sempat kaget. Namun ia segera menoleh ke sumber suara dan berjalan cepat sebelum orang-orang yang ada di ruangan itu menyadari keberadaannya. Andrea menghampiri wanita yang baru saja memasuki usia 30 tahun itu. Seorang wanita anggun yang merupakan kakak tingkatnya dulu di fakultas kedokteran. Dokter Sitha.
"Ma.. maaf aku terlambat," ujar Andrea gugup.
Sitha tersenyum dan menggiring Andrea ke ruangannya.
Secara posisi di rumah sakit ini, Andrea memang atasannya. Ia adalah calon anggota keluarga pemilik rumah sakit ini. Kakak kandung dari Andrea bahkan punya cukup besar saham di Centra Medika. Tapi, Sitha tidak pernah sungkan pada adik tingkatnya itu. Sebab, mereka sudah cukup dekat sejak masih kuliah.
Bahkan dulu Andrea sering meminta tolong padanya saat mendapat tugas yang ia anggap sulit.
Kedua dokter yang paling bersinar di Centra Medika itu duduk berhadapan di ruangan Sitha.
"Sedang apa kau disana tadi? Mengintip dokter magang itu ya?" goda Sitha.
"Ck.. aku ingin menemui Kakak bukan untuk membicarakan itu. Aku ingin menanyakan tentang pengobatan untuk Linzy. Kakak sudah memeriksanya kan?" Andrea.
Pria itu berusaha mengalihkan perhatian Sitha, agar seniornya saat kuliah itu berhenti mengejeknya. Sebab, ia sendiri pun tidak tahu apa alasan yang membuatnya tertarik untuk mengintip interaksi antara Vania dan Linzy tadi.
"Si batu mulai jatuh cinta ternyata," ejek Sitha lagi yang membuat Andrea semakin jengah.
"Kak!" tegur Andrea. Sitha terkekeh kemudian mulai memfokuskan pikirannya pada topik yang akan ia bahas dengan Andrea.
Sitha mengambil sebuah map berisi berkas-berkas tentang analisisnya mengenai penyakit yang di derita Linzy dan mulai membacanya. Sitha membolak-balik berkas itu dan mengabaikan keberadaan Andrea selama beberapa menit.
"Kak, kapan Kakak akan mulai membicarakannya? Aku sibuk." Andrea.
Sitha melirik kesal ke arah manusia tak sabaran di depannya.
"Keberadaanmu bahkan bukan yang utama disini. Aku sedang menunggu dokter yang kau beri tanggung jawab terhadap anak itu. Dan kau, diamlah!" ujar Sitha.
Andrea menyeritkan alisnya. Seingatnya, dia yang mengajak Sitha berdiskusi. Dan yang ia tau mereka akan bicara empat mata saja. Lalu, dokter yang bertanggung jawab tentang Linzy?
"Maksud Kakak, Vania?" tanya Andrea. Belum sempat Sitha menjawab, terdengar suara ketukan pintu. Sitha melirik ke arah Andrea.
"Tolong bukakan! Dia sudah datang," suruh Sitha santai.
"Kenapa harus ada gadis gila itu? Bukannya aku yang mengajak Kakak mendiskusikan masalah Linzy? Aku kira hanya akan bicara empat mata saja!" kesal Andrea. Sitha memutar bola matanya malas.
"Bukakan saja kalau kamu ingin pembicaraan ini segera dimulai!" kesal Sitha.
Andrea melipat tangannya. Ia tak mau melakukan apa yang Sitha perintahkan. Bahkan ketika kembali terdengar ketukan pintu dan sebuah suara khas perempuan dari baliknya.
"Astaga! Aku lupa kalau laki-laki di depanku ini memang mengesalkan," ujar Sitha sembari bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. Dokter wanita itu jelas menahan emosinya.
Andrea merasa ada yang aneh dalam dirinya. Perasaannya menjadi tidak tenang. Ia kembali teringat kejadian di rumah makan tadi, dimana ia meminum jus dengan sedotan yang sama dengan Vania.
Jantungnya berpacu lebih cepat dari yang seharusnya. Membuatnya refleks memegangi dadanya.
'Ku rasa aku sedang kurang sehat,' batinnya.
"Dok... dokter Andrea?" kaget Vania . Vania tak dapat menutupi kegugupannya. Kedua pipinya memerah, dan gadis itu membeku di posisinya, berdiri tak jauh dari tempat Andrea duduk. Sementara Andrea, pria itu berusaha mengontrol emosinya. Ia memasang wajah sedatar mungkin, seakan tidak terjadi apa-apa di antara dia dan Vania.
"Duduklah, Van! Aneh sekali sikapmu itu. Seperti bertemu orang yang baru saja mencuri ciuman pertamamu saja," canda Sitha yang membuat dua orang di hadapannya membulatkan mata-mata secara bersamaan.
"Tid.. tidak. Kami nggak sengaja dan itu...." Andrea berdehem keras memotong ucapan Vania. Ia benar-benar merutuki kepolosan gadis itu.
Sitha. Perempuan beranak satu itu tak mampu lagi membendung tawanya. Dua dokter muda itu terlihat sangat lucu di depannya. Andrea yang dulunya terkesan dingin dan hanya mau berkomunikasi dengan orang-orang tertentu saja, kini tampak lebih banyak bicara. Mukanya yang dulu lebih datar daripada tembok, kini tampak lebih ekspresif. Terutama ketika berinteraksi ataupun membahas mengenai Vania.
Entah keajaiban apa yang ada pada gadis itu, Sitha tidak mengetahuinya.
Selama ini Sitha kurang dekat dengan Vania. Apalagi mengingat masa kerja Vania yang belum terlalu lama di Centra Medika.
"Jadi kalian benar-benar..."
"Tidak seperti itu!" potong Andrea dan Vania cepat Hal itu kembali mengundang tawa Sitha. Bahkan ini pertama kalinya ia melihat Andrea se-ekspresif ini. Seperti orang kebakaran jenggot.
"Ck.. berhentilah tertawa, Kak!" kesal Andrea.
Sitha berusaha mengontrol tawanya. Ia kembali mempersilahkan Vania untuk duduk. Terpaksa, Vania duduk di samping Andrea. Sesekali Sitha melirik ke arah Vania yang tampak kurang nyaman dengan posisinya saat ini. Ingin rasanya ia tertawa, namun ia ingat bahwa waktunya tidak cukup panjang untuk itu. Ketiganya memiliki kesibukan cukup padat.
"Oke-oke. Maaf. Kalian membuatku kesulitan untuk tidak tertawa. Back to topic..." ujar ibu satu anak itu
"Princessa Linzy Manuela. Umur 6 tahun. Menderita kanker darah stadium tiga. Riwayat penyakit kemungkinan diturunkan dari ibunya yang meninggal dunia dua tahun lalu, dengan kasus yang sama." Sitha menghentikan aktivitas membacanya lalu menatap Vania.
"Kanker yang dimiliki anak itu diperkirakan penyakit genetik. Dimana penyakit itu diturunkan dari salah satu orang tuanya, dimana dalam kasus ini, penyakit itu diturunkan dari sang ibu," terang Sitha.
Vania mengangguk mengerti. Ia sudah membaca beberapa hal tentang penyakit Linzy. Dan itu sama seperti yang Sitha katakan.
"Seperti yang kalian tahu, kasus kanker memang sering terlambat diketahui. Bahkan riwayat sang ibupun, tidak membuat keluarga Linzy peka dan segera memeriksakan anaknya saat tanda-tanda itu muncul. Dan kau tahu kan, Vania, kalau kanker stadium tiga itu sudah termasuk berat. Apalagi untuk anak sekecil Linzy," lanjutnya.
"Lalu, kira-kira sebesar apa harapan Linzy untuk bertahan, Dok?" tanya Vania cepat.
Sitha menutup mapnya. Ia memperbaiki letak kaca matanya. Dan hal itu membuat Vania semakin cemas. Ia tau, penjelasan Sitha tadi menggambarkan bahwa kemungkinan kesembuhan Linzy sangat kecil, atau bahkan mungkin tidak ada.
"Sekecil apapun kemungkinan itu, tapi masih ada jalan kan? Dan... kalau semangat Linzy untuk sembuh tinggi, peluang kesembuhannya akan semakin tinggi kan, Dok? Saya juga mendengar manusia memiliki sel yang dapat menyerang kanker dengan sendirinya ketika penderita merasa senang. Kalau tidak salah namanya sel NK," lanjut Vania.
Andrea yang baru pertama kalinya mendengar nada serius dari mulut Vania pun segera menoleh ke arah gadis itu. Matanya memancarkan harapan yang cukup tinggi. Bahkan ia tak menyangka jika gadis itu bisa berekspresi demikian, hanya demi seorang pasien yang baru ia kenal.
"Leukemia. Sejauh yang ku tahu, hingga sampai saat ini pengobatan terbaik adalah dengan kemoterapi. Tapi aku tidak begitu yakin jika itu akan berjalan baik. Kita belum tahu, apakah tubuh Linzy akan menerima zat kimia itu atau tidak. Dan kalaupun bisa, itu artinya Linzy harus mengalami kesakitan yang cukup panjang selama proses kemoterapi itu." Sitha. Air mata Vania menetes. Dan hal itu berhasil menyita perhatian Andrea.
'Sebenarnya seperti apa kepribadian gadis ini?' batin Andrea.
"Berapa besar peluangnya?" tanya Vania.
"Kita akan mengetahui setelah proses kemo yang pertama. Dari sana kita baru akan tahu respon tubuh Linzy. Kalau tubuhnya mampu menerima, Linzy bisa melanjutkan proses kemo selanjutnya." Sitha.
"Oh iya. Dan yang harus kamu tahu, Vania. Kemoterapi itu bukan pengobatan sembarangan. Biayanya sangat mahal. Dan yang aku tahu gadis itu tidak punya keluarga yang..."
"Saya yang akan bertanggung jawab penuh atas Linzy. Saya akan carikan biayanya," potong Vania cepat.
Andrea membulatkan matanya sempurna. Sedari tadi ia hanya dapat menyimak. Ia kesulitan menyela pembicaraan Sitha dan Vania. Dan kini, ia benar-benar tak mengerti seperti apa Vania sebenarnya. Yang ia tahu, Vania bukan dari kalangan berada. Bahkan gadis itu sering memerasnya akhir-akhir ini hanya untuk makan.
***
Bersambung ...