Vania melangkahkan kakinya penuh semangat memasuki area rumah makan yang berjarak sekitar dua puluh meter dari rumah sakit. Ia melihat list menu yang ada di rumah makan tersebut dan mulai mencari pesanan Linzy.
"Ayam panggang sama nasi tiga puluh lima ribu? Jus strawberry lima belas ribu? Pas banget jadinya lima puluh ribu." ujar gadis itu sembari mengalihkan pandangannya ke arah tangan kanannya yang terkepal berisikan selembar uang berwarna biru.
"Terus gue makan apa dong?" lanjutnya.
"Selamat siang, mau pesan apa, Kak?" tanya seorang pelayan yang baru saja menghampiri meja Vania. Pelayan wanita itu tersenyum ramah menantikan Vania melafalkan pesanannya.
"Hari ini lagi nggak ada promo beli ayam panggang gratis telur ceplok ya, kak?" tanya Vania sedikit berbisik Pelayan itu tak kuasa menahan tawanya. Selama hampir dua tahun ia bekerja di rumah makan itu, ini adalah pertama kalinya ia mendapati pembeli seperti Vania.
"Maaf, Kak nggak ada. Adanya kalau makan disini bisa free air mineral. Kakak mau?" tawar pelayan itu. Vania menghela napas.
"Ya kalik gue minum air putih doang." balas Vania tak santai.
"Eh, bentar. Ada uang datang." ujar Vania yang mengundang kebingungan pelayan itu. Vania bergegas bangkit dari duduknya dan menghampiri seseorang.
"Dokter Andrea!" panggil Vania yang membuat Andrea melotot kaget.
"Hampir saja kamu membuat jantung saya melompat dari tempatnya, Van." kesal Andrea.
"Ah dokter bikin malu aja.." balas Vania yang sepertinya salah mengartikan ucapan Andrea. Andrea menepuk mulutnya pelan, menyesali apa yang baru saja ia katakan.
Harusnya dia tahu bagaimana harus bersikap saat perempuan ajaib itu datang. Bukannya melemparkan kalimat teguran yang ambigu dan malah membuat aura ke-PD an gadis itu bertambah.
"Sudah, lupakan! Sekarang kamu mau apa?" tanya Andrea berusaha to the point.
"Makan." jawab Vania singkat. Andrea menoleh kesana-kemari. Membuat alis Vania menyerit bingung.
"Dokter nyariin siapa? Ada janji ya sama pacarnya disini? Loh.. emang Dokter punya pacar? Kata perawat-perawat, Dokter ini bujang lapuk." ucapan Vania yang terlontar begitu mulus bak tubuh belut itu berhasil mendapatkan pelototan tajam dari Andrea.
"Bisa tidak sih kalau sehari saja kamu tidak menghina saya?" tanya Andrea jengah.
Vania terkekeh geli. Detik berikutnya, Vania mengalihkan tatapannya ke arah list menu. Andrea semakin bingung.
'Apa sih sebenarnya kemauan gadis aneh ini?' batinnya.
"Van.."
"Dok.."
Keduanya saling menatap. Tapi bukan dengan tatapan romantis ala film India. Vania melemparkan tatapan sok akrabnya, sementara Andrea dengan tatapan malasnya. Andrea memilih mengalah. Membiarkan gadis itu bicara lebih dulu.
"Ayam panggang disini enak loh, Dok. Kemarin Christy makan disini, dan dia merekomendasikan ayam panggangnya. Katanya enak," terang Vania.
"Saya tidak suka ayam," Andrea. Vania memutar bola matanya malas.
"Kan saya nggak nawarin Dokter Andrea. Saya mau buat diri saya sendiri maksudnya," Vania.
"Ya sudah sana beli!" usir Andrea sembari mengibaskan tangannya.
"Ck.. Dokter ini nggak peka banget sih. Pantes aja awet jadi bujang lapuk." kesal Vania. Andrea menganga tak percaya. Diliriknya orang-orang yang ada di sekitar mereka. Dan...
BOOM!
Semua seakan tengah memperhatikan interaksi dua dokter muda itu. Ingin sekali rasanya Andrea melemparkan gadis itu ke Pluto.
"Jadi kamu maunya apa, Vania?" geram Andrea Muka masam Vania berubah menjadi ceria kembali. Ia menunjukan sesuatu dari list menu itu pada Andrea.
"Ayam panggan di bungkus tambah jus strawberry, dibayarin Anda tapi," ujar Vania seenaknya.
"Loh, enak saja. Kamu yang makan ya kamu yang bayar." Andrea.
Vania menghela napas. Ia berusaha mencari ide agar Andrea mau membayarkan pesanannya, agar ia juga dapat menikmati makan siangnya.
"Saya belum gajian loh, Dok. Lagian Dokter Andrea ini kan salah satu dokter terbaik dan memiliki gaji yang jauh dari kata cukup untuk mendukung kehidupan bawahannya ini. Jangan menunda untuk sedekah ke sesama Dok, belum tentu umur Dokter bakalan panjang. Nanti nyesel di akhir." Hati Andrea makin dongkol mendengar ceramah panjang Vania.
"Cepat pesan kalau itu bisa membuat kamu diam!" Andrea mengalah. Vania bersorak dalam hati kemudian segera mengangkat tangannya untuk memanggil seorang pelayan.
"Jadinya pesan apa Kak?" tanya pelayan itu ramah.
"Ayam panggangnya tiga, jus strawberrynya juga tiga, dibungkus ya kak!" Vania.
"Tiga?" bingung Andrea.
"Kok dibungkus? Setelah saya bayarin kamu, kamu mau pergi gitu aja?" lanjutnya.
"Saya tau diri kok, Dok. Kalau udah dapat yang saya mau, saya akan membiarkan Anda hidup tenang," balas Vania sembari tersenyum manis.
"Tidak!" tolak Andrea cepat.
"Yang dibungkus dua porsi saja, yang satu dimakan disini sama tambah gado-gado nya satu, nggak pedes." ujar Andrea pada pelayan yang masih berdiri di dekat meja mereka.
"Dokter mau makan sama saya?" tanya Vania.
"Memangnya kamu kira saya ini apa? Suruh bayarin makanan orang yang nggak karuan banyaknya terus ditinggal pergi," sungut Andrea.
Vania terkekeh kecil kemudian memperbaiki posisi duduknya. Ia tak henti-hentinya melemparkan senyuman pada Andrea.
"Makasih ya, Dok udah mau traktir saya makan," ujarnya.
"Hmm...." balas Andrea dingin.
Setelah pesanan mereka datang, dua dokter muda itu segera menyantap makanannya tanpa banyak bicara. Namun, bukan Vania namanya kalau membiarkan suasana menjadi tenang.
"Dok..Dok.." panggil Vania. Andrea melirik malas ke arah gadis yang masih menggembungkan pipinya itu.
"Telan dulu makanan kamu, Van!" kesal Andrea. Vania menelan makannya kemudian kembali fokus pada Andrea.
"Jadi Dokter sering makan di sini? Pantes nggak pernah kelihatan di kantin rumah sakit" oceh Vania.
"Kenapa sih Anda suka makan disini? Padahal Anda nggak kenal orang-orang yang makan disini juga. Sementara di kantin, kebanyakan Anda kan kenal orangnya," ocehnya lagi.
Tak ada sedikitpun niat Andrea untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Vania. Menurutnya, pertanyaan yang terlontar dari mulut gadis itu tidak ada yang penting dan perlu ditanggapi.
"Ck.. Dokter ada masalah ya sama Ibu kantin? Jangan-jangan dokter dulu pernah gebet anaknya Ibu kantin tapi ditolak terus...."
"Uhukk..uhukk..."
"Eh!"
Andrea terbatuk-batuk pasca tersedak akibat ucapan ngawur Vania. Gebet anak Ibu kantin? Bercanda? Apalagi sampai di tolak? Andrea bahkan tidak tahu se-suram apa hidup pria-pria diluar sana pasca mendengar penolakan cintanya. Yup. Andrea tidak pernah yang namanya ditolak. Jangankan ditolak, menembak saja dia tidak pernah.
"Aduh.. eh.. maaf Dok. Yah.. nih diminum!" ujar Vania dan refleks memberikan segelas air minum yang ada di meja Andrea pun menerimanya dan segera meminumnya melalui sedotan begitu saja. Setelah dirasa cukup, Andrea meletakan kembali gelas itu dan mengelus dadanya yang masih terasa sedikit sesak.
"Anda nggakpapa kan, Dok? Saya pernah dengar kasus kematian karena tersedak soalnya. Jadi saya khawatir kalau..." ucapan ngawur Vania terpotong oleh Andrea.
"Tunggu!" Tatapan pria itu tertuju pada satu titik. Sebuah benda bulat panjang yang ada di dalam sebuah wadah kaca berisi jus strawberry.
"Saya tadi minum dari situ?" tanya Andrea cepat. Vania mengangguk. Ia tak mengerti dengan apa yang salah dengan hal itu.
"Ada apa, Dok? Anda alergi jus strawberry?" Vania. Andrea menggeleng.
"Itu minuman kamu kan? Kamu tadi minum dengan..." ucapnya terhenti. Vania mulai berpikir. Dan...
"Ting!"
Refleks, Vania menyentuh bibirnya sendiri. Ia menatap lurus ke depan, berusaha fokus dan memusatkan pikirannya pada kejadian beberapa detik yang lalu. Mata gadis itu membulat sebelum akhirnya bertemu dengan tatapan Andrea yang tak jauh beda dengannya. Ekspresi kedua orang itu sudah seperti orang bodoh hingga sebuah suara menyadarkan keduanya.
"Ini pesanan Anda, Kak," ujar seorang pelayan sembari meletakan dua buah kantung plastik di atas meja Vania. Vania mengalihkan pandangannya. Sementara pelayan yang kini tengah menjadi pusat perhatian Vania itu hanya cengo melihat ekspresi kedua pembelinya itu.
"Maaf, ada apa ya, Kak?" bingungnya.
"Ti.. tidak apa-apa. Makasih ya. Hmm.. dia yang bayar," ucap Vania gugup sembari menerima kantung plastik itu dan bangkit berdiri.
"Hmm... Dok, mak... makasih untuk traktirannya. Saya permisi," pamit Vania sebelum akhirnya lari terbirit-b***t keluar dari area cafe. Andrea sempat membolatkan matanya melihat kecepatan lari gadis itu. Bahkan hampir saja ia menabrak seseorang yang hendak masuk ke rumah makan itu.
"Dasar perempuan aneh," gumam Andrea. Andrea mengurungkan niatnya untuk kembali makan. Ia menyentuh bibirnya sendiri ketika menyadari sesuatu.
"Yang tadi itu... tidak termasuk ciuman kan?"
"Hh.. sudahlah! Kau tidak perlu memikirkannya, Ndre! Itu tidak penting. Jangan sampai perempuan aneh itu meggerogoti kepalamu. Lihat, bahkan makanan saja tidak dihabiskan, padahal yang bayarin masih disini."
"Bodo amat! Toh dia pesen tiga. Nanti juga habis ini langsung di makan sama dia."
Andrea bahkan tak menyadari. Akhir-akhir ini ia lebih sering berbicara baik dengan orang lain maupun dirinya sendiri. Dari yang dulunya tidak pernah bersuara selain ketika menjawab pertanyaan dan memerintah, kini hampir di setiap jam ia berbicara. Dan yang paling sering ia ucapkan akhir-akhir ini adalah u*****n untuk Vania.
***
Bersambung ...