~TUJUH~

1173 Words
Setiap orang pasti punya sisi baik. Maka dari itu, jangan menilainya dengan sebelah mata saja. Lebih baik tidak menilai daripada salah menilai   Vania membersihkan mulutnya yang berminyak dengan tiVssue. Iya menatap Andrea dengan alis menyerit karena baru sadar akan suatu hal. "Dokter Andrea tadi ngapain berhenti disini?" tanya Vania. "Memang ini jalanan punya kamu?" Andrea balas tanya yang membuat Vania geram. "Saya...saya mau pulang." jawab Andrea pada akhirnya. "Pulang? Sepertinya ini bukan arah rumah Dokter. Rumah Dokter Andrea kan perumahan apa itu yang terkenal?" Vania mencoba mengingat-ingat. Andrea berdehem kemudian membenarkan posisi duduknya. "Ya saya mau lewat mana kek, kan terserah. Memangnya urusan kamu?" Vania menghela napas. Mungkin kalau Andrea ini bukan atasannya, Vania sudah menabok wajah pria itu dari tadi. "Ck. Bilang aja kalau Dokter ngikutin saya!" ujar Vania PD. Andrea mengusap wajahnya kasar. Tingkat ke-PDan gadis itu memang jauh di atas ambang batas. "Oke, saya jujur. Saya mau minta maaf sama kamu karena sudah berkata kasar kemarin." ujar Andrea dalam sekali tarikan napas. Vania melongo. Ia melemparkan tatapan tanya ke arah Andrea yang kembali berhasil membuat geram pria itu. "Jangan menatap saya seperti itu, Vania!" tegur Andrea. "Memangnya Dokter membuat kesalahan apa kemarin? Dokter nyindir saya ya karena saya tadi ngejekin Dokter waktu di toilet?" Vania. Andrea berdecak. Ia memutar bola matanya malas. Niat baik untuk meminta maafnya kembali goyah. Namun, ia harus melakukannya. "Soal kemarin saya marahin kamu, karena mengira kamu lalai saat pasien Linzy dibawa ke IGD." Andrea. Mulut Vania membentuh huruf O dengan mata yang tak jelas menyorot ke arah mana. "Saya kira kamu Dokter jaga, tapi malah kelayapan di jam tugas." tambah Andrea "Iya, nggakpapa. Lagian memang saya kemarin lagi kurang beruntung aja, Dok. Jadi nggak bisa tepat waktu." balas Vania sembari nyengir kuda. "Hmm..saya dengar kaki kamu sakit? Sekarang bagaimana keadaannya?" tanya Andrea ragu. Dalam hati, rasa bersalah itu masih ada. Ia merasa sudah sangat keterlaluan kemarin. Ia melakukannya karena terlanjur menganggap Vania trouble maker selama ini. "Kaki?" bingung Vania. Detik berikutnya, ia teringat akan kakinya yang terluka kemarin. “Ck. Iya. Saya dengar kamu sempat terluka kemarin. Bahkan kamu sempat berjalan pincang. Tapi apa-apaan ini? Kamu malah pulang jalan kaki padahal kos kamu cukup jauh.” Omel Andrea. "Oh, sudah nggakpapa. Lagian hanya luka kecil. Dan memangnya Dokter lupa kalau saya juga seorang dokter?" lanjutnya. Andrea terkekeh kemudian menggeleng. Meski sedikit mengesalkan, ternyata gadis itu memang benar-benar polos. Hal-hal bodoh yang ia ucapkan benar-benar berasal dari hatinya tanpa ada suatu apapun yang ia palsukan. Ya. Ia memang kelewat polos di usianya yang sudah 24 tahun. "Wah...keren banget tembok bisa senyum. Kalo senyum gitu Dokter lebih ganteng dari tembok di kos saya loh." puji Vania setengah-setengah. Andrea kembali menggeleng dengan ekspresi putus asanya. Ia bangkit berdiri dan berjalan ke arah penjual kwetiawnya. "Ini, Pak uangnya. Terima kasih." ujarnya kemudian pergi "Loh Dok, saya ditinggalin?" tanya Vania sembari berusaha mengejar Andrea. "Dok! Dokter Andrea! Dokter tembok! Woy!" teriak gadis itu. Andrea menutup wajahnya dengan tangan. Ia sungguh frustasi menghadapi spesies langka semacam Vania itu. Dengan malas, ia menoleh. "Kok saya ditinggalin sih? Eh, tadi makanan saya udah di bayar kan ya?" tanya Vania. Andrea tidak langsung menjawab. Ia melirik ke arah kaki Vania. Ia baru sadar, ternyata gadis itu masih sedikit pincang. Dan seketika, kekesalannya musnah. Ia berdiam diri menunggu Vania yang kini tengah berjalan ke arahnya. "Sudah tobat ya, makanya nungguin saya? Mau nganterin saya balik? Wah...kos saya tinggal deket sih sebenarnya. Harusnya dari tadi pas di rumah sakit. Tapi kalau Dokter maksa, yaudah saya mah ayo." ucap Vania santai. Vania dengan tak tahu malunya berjalan mendahului Andrea ke arah mobil. Sadar keadaan mobil masih terkunci, Vania diam di tempat hingga terdengar suara alarm kunci mobil yang terbuka. Setelah itu, Vania segera masuk dan duduk tenang. "Kamu tunjukan jalan menuju kosmu ya! Saya belum tahu." Andrea. "Siap, Dok. Deket kok. Masuk gang soalnya, jadi nanti saya turun di depan gang saja." Vania. Tanpa menucapkan apa-apa lagi, Andrea menyalakan mesin mobilnya dan mengendarainya ke arah kos Vania. Tidak sampai lima menit, mobil mewah itu kembali berhenti. "Kos kamu yang mana? Yang itu?" tanya Andrea. "Ya kalik rumah mewah begituan buka kos-kos an. Rumah pejabat itu." balas Vania. "Tuh. Kos saya jalan 50an meter masuk gang itu. Mobil mah nggak muat kesana. Makanya Dokter saya suruh sampe sini aja. Dokter mau mampir? Boleh, tapi gula saya habis, jadi kalau mau saya buatin teh atau kopi, beli gula dulu gih!" Vania. "Tidak usah, sudah malam." balas Andrea. Vania keluar dari mobil. Belum sempat ia mengucapkan terima kasih. Mobil itu sudah kembali berjalan. Vania menggeleng melihat kelakuan seniornya yang paling terpuji itu. Hari berganti. Ini adalah pertama kalinya dalam seminggu Vania tidak telat masuk kerja. Ia bahkan terlihat rapi, menandakan bahwa ia tidak terburu-buru sejak di kos. "Dokter sudah berangkat?" kaget suster Ari. "Sudah dong.. Saya mau menemui pasien saya. Memastikannya sudah sarapan atau belum." Vania. "Siapa? Linzy ya Dok?" suster Ari. "Iya.. Oh iya, Christy mana?" Vania. "Dia sift siang, Dok. Saya saja ya yang menjadi asisten Anda hari ini." suster Ari. "Boleh. Ayo ke ruangan Linzy!" ajak Vania. Saat Vania masuk, tampak Bu Laras tengah membacakan buku cerita untuk Linzy. Gadis kecil itu, bersorak senang menyambut kedatangan dokter kesayangannya. "Yey..Tante Dokter datang." girang Linzy. Vania dan Ari berjalan ke arah Linzy. Tak lupa, senyum hangat selalu menghiasi bibir keduanya. "Wah.. Linzy udah kelihatan agak sehatan ya?" Vania. "Iya, Dok. Badan Linzy udah nggak lemes lagi." jawab Linzy. Vania mengecek kondisi Linzy. Mulai dari suhu tubuh, denyut nadi, hingga detak jantungnya. "Bagaimana Dok?" tanya Bu Laras. "Semuanya baik. Nanti akan coba saya bicarakan tentang pengobatan kanker Linzy dengan dokter spesialis kanker rumah sakit ini." Vania. Bu Laras bernapas lega. Vania tak langsung pergi. Ia duduk di sebuah kursi yang ada di samping tempat tidur Linzy. Tangannya terulur untuk merapikan rambut anak itu. "Maaf ya Tante Dokter, Linzy belum mandi." ujar anak itu polos. "Iya nggakpapa. Tapi Linzy sudah makan kan?" Vania. "Sudah kok. Tadi di suapin Bi Laras." Linzy. Vania mengangguk. Ia melirik jam tangannya. Sudah saatnya ia memeriksa pasiennya yang lain. "Linzy, Tante Dokter pergi dulu ya! Nanti Tante Dokter kesini lagi. Linzy mau dibawakan apa untuk makan siang?" tawar Vania. Gadis kecil itu tampak berpikir. Ekspresinya sangat lucu. Ingin sekali rasanya Vania mencubit sepasang pipi menggemaskan itu. "Linzy mau ayam panggang sama jus strawberry, Tante Dokter. Boleh?" tanya Linzy. "Boleh. Nanti Tante Dokter bawakan ya! Harus habis loh tapi." Vania. Linzy mengangguk dan bersorak senang. "Eh.. tidak usah dibelikan, Dok. Kalau memang boleh, nanti biar saya saja yang belikan." Bu Laras. "Tidak usah sungkan, Bu. Saya tidak keberatan kok. Ya sudah, saya pamit dulu ya." pamit Vania. Bu Laras mengangguk. "Tante Dokter pergi dulu ya, sayang." pamit Vania pada Linzy sembari menoel hidung gadis kecil itu. "Iya, Tante. Kerjanya cepetan ya biar bisa segera kesini lagi. Linzy suka kalau Tante Dokter disini." Vania mengacungkan ibu jarinya sembari tersenyum. Setelah itu, ia memutar tubuhnya dan berjalan ke luar ruang rawat Linzy, diikuti Ari di belakangnya. 'Nggakpapa deh boros dikit buat Linzy, yang penting dia seneng.' batin Vania.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD