Vania berlari kecil ke arah lift. Untung saja, masih jam makan siang sehingga lift tidak ramai dan tidak mengharuskan Vania menunggu lama. Lima menit kemudian, Vania memasuki sebuah ruangan. Ruang rawat Linzy tepatnya.
"Hay, Tante Dokter balik lagi." sapa Vania. Linzy tersenyum. Kemudian, ia dibantu duduk oleh Christy.
"Christy, masih ada sedikit waktu buat kamu makan siang. Buruan sana!" usir Vania yang segera mengambil posisi duduk di samping tempat tidur Linzy. Christy pun menurut dan segera keluar dari ruangan itu.
"Ini serius Tante Dokter yang masak? Bukan penjualnya?" Linzy.
"Serius dong. Kamu meragukan Tante Dokter?"
"Udah yuk sekarang kamu makan ya! Tante Dokter suapin." tambah Vania. Ia membuka bungkus nasi gorengnya. Untunglah, nasi gorengnya masih hangat. Sehingga rasanya pasti tidak akan mengecewakan. Vania menyuapkan sesendok nasi goreng buatannya pada Linzy.
"Hm...enak, Tante.. Linzy suka." ujar Linzy. Vania tersenyum dan kembali menyuapi anak itu.
"Oh iya, Bu. Itu tadi saya bawain es teh untuk kita. Tadinya sih untuk Christy juga, tapi saya lupa." Vania. Bu Laras menoleh ke arah yang ditunjuk Vania.
"Ya sudah, saya siapkan dulu ya, Dok." Bu Laras Vania kembali menyuapi Linzy. Setelah nasi goreng Linzy tandas, Vania membantu gadis kecil itu untuk minum es teh yang tadi ia beli..
"Sudah kenyang? Duduk dulu sekitar sepuluh sampai dua puluh menit, baru tiduran lagi ya!" ujarnya. Linzy mengangguk
Vania meraih es tehnya kemudian meminumnya dalam diam.
"Tante Dokter, sampai kapan Linzy akan di rumah sakit? Lama ya?" tanya Linzy.
"Wah..kalau itu Tante Dokter belum tahu. Tapi, kalau semangat Linzy untuk sembuh tinggi, pasti Linzy akan segera sembuh dan keluar dari rumah sakit ini. Makanya, Linzy harus semangat ya!" Vania. Linzy mengangguk. Vania melirik jam tangannya. Ternyata jam istirahat telah usai. Iapun segera berpamitan untuk menjalankan tugasnya yang lain.
Saat jam pulang kerja, Vania bergegas pamit pada dokter-dokter yang satu ruangan dengannya. Ia ingin segera sampai rumah dan menggoreng telur dadar untuknya mengisi perut. Saat hendak memasuki lift, ternyata ada Dokter Andrea disana.
"Eh..Dok. Selamat sore," sapa Vania sebelum akhirnya masuk ke dalam lift.
"Hari ini saya bekerja dengan baik loh, Dok. Semua pasien saya senang karena kehadiran saya." lapor Vania.
"Oh iya. Pasien Bougenvil A25 besok sudah boleh pulang loh. Selama ini saya yang merawatnya."
"Dok, kerja saya ini sebenarnya bagus loh. Sayang kan kalau harus di keluarkan dari rumah sakit ini karena masalah pribadi?" Ocehan Vania tak Andrea hiraukan. Ia masih memasang wajah datarnya sembari menatap lurus ke depan.
Ting
Pintu lift terbuka. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Andrea melangkah. Meninggalkan Vania yang kini tengah mendumel tak jelas.
"Kalo bukan atasan gue, gue pastiin sendal ini nyungsep di kepalanya." gumam Vania geram.
Vania keluar dari lift di detik-detik terakhir sebelum pintu lift kembali menutup. Bahkan ia nyaris saja terjepit hingga refleks ia berteriak. Malu, ia segera berlari keluar rumah sakit untuk menghindari tatapan-tatapan aneh orang di sekitarnya. Seperti akhir bulan biasanya, Vania pulang dengan jalan kaki. Jarak yang harus ia tempuh dari rumah sakit hingga kostnya sekitar 500 meter. Tidak terlalu jauh sebenarnya. Tapi rasa lelah pasca bekerjalah yang selama ini memaksanya untuk naik kendaraan umum.
Vania berjalan sembari memegangi perutnya yang sejak tadi sudah bergemuruh. Ia ingat bahwa sejak pagi ia memang belum sempat makan. Sekarang mau beli makan di jalan pun sayang uangnya. Dia sudah membeli tiga butir telur ayam tadi pagi saat menunggu air bak mandinya penuh.
Hari mulai gelap. Hanya tinggal 200an meter lagi Vania akan sampai. Namun, aroma harum kwetiaw yang dijual di pinggir jalan membuat langkahnya memelan.
"Pengen kwetiaw.. abangnya nggak ngadain give away apa ya? Coba tanya ajalah. Siapa tahu memang lagi ada give away." Lirihnya. Baru dua langkah. Suara pintu yang tertutup dengan cukup keras berhasil mengagetkannya.
"Astaga! Gak sayang apa kalau mobilnya rus...ak..eh Dokter Andrea lagi?" kagetnya. Vania menoleh ke kanan dan kiri, mencari sesuatu yang membuat pria berwajah tembok itu berhenti disini.
"Kamu selalu pulang jalan kaki?" tanyanya masih dengan wajah dingin.
"Nggak kok, Dok. Cuma kalau keuangan menipis aja." balas Vania sambil nyengir.
"Jadi keuangan kamu sekarang lagi menipis?" Andrea. Vania mengangguk.
'Kesempatan emas.' Batinnya.
"Maka dari itu, maafin kesalahan saya hari ini ya, Dok. Jangan pecat ataupun memindahkan saya jadi asisten Ibu kantin. Saya masih sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk hidup saya." ujar Vania memelas.
'Krrruuukk..'
Jelas sekali bahwa suara itu berasal dari perut kecil Vania. Membuat sang empu menggigit bibirnya menahan malu.
'Aduh... kondisinya pas sih, tapi malu-maluin kalo ini, sumpah,'
Vania melihat Andrea menghela napas dan memijat keningnya.
"Kita duduk di sana! Saya lapar." ujar Andrea sembari berjalan ke arah penjual kwetiaw yang sejak tadi menjadi incaran Vania. Antara senang, takut, dan malu berkumpul menjadi satu.
"Ini perasaan udah kayak gado-gado spesial Mpok Ningsih aja." lirih Vania sembari mengikuti langkah lebar Andrea. Sampainya di depan gerobak kwetiaw, Andrea memesan dua porsi kwetiaw dan dua teh hangat kemudian mengajak Vania duduk lesehan.
"Dok, saya makan kwetiawnya di bayarin Dokter kan?" tanya Vania memastikan.
"Matre sekali sih kamu?" Andrea.
"Kalau nggak di traktir saya pulang nih," ancam Vania sembari mengambil ancang-ancang berdiri.
"Yaudah sana pulang saja!" usir Andrea. Vania mendelik sebal.
"Loh kok gitu? Harusnya kan di tahan kalau saya mau pergi. Gimana sih?" kesal gadis itu.
"Memang situ siapa saya?" balas Andrea. Vania kembali ke posisinya. Duduk di hadangan pria berwajah dingin yang berstatus atasannya itu.
"Jadi bagaimana Dok, saya tidak akan di pecat kan?" tanya Vania lagi.
"Kamu cerewet sekali sih." ejek Andrea. Tak berselang lama, pesanan Andrea datang.
"Pak, yang pesan berarti yang bayar kan? Ini berhubung kwetiawnya wanginya enak, saya mau makan, tapi yang bayar Dokter Andrea ya, Pak. Kan dia tadi yang pesan dua." ujar Vania tak sabaran melihat hidangan di depannya. Aroma kwetiaw itu juga sudah menusuk indera dokter perempuan itu, seakan menggoda agar segera disantap. Andrea menghela napas. Ia baru sadar kalau keputusannya mengajak Vania makan adalah suatu kesalahan besar. Memalukan.
"Iya, Neng. Lagian kan biasanya kalau nge-date memang cowoknya yang bayarin." jawab penjual kwetiaw itu. Refleks, Vania yang baru saja mau menelan suapan pertamanya tersedak.
"Makan disini nggak ada asuransi kematian akibat tersedak kan, Pak?" tanya Andrea santai. Vania mendelik kesal. Bukannya membantu, pria itu malah membuat tensinya semakin naik.
"Tidak, Den. Eh ini Neng di minum! Maaf saya nggak tahu kalau kalian sedang marahan. Tapi emang gitu. Saya dulu pas masih pacaran sama istri saya juga sering marahan. Nggak papa, insyaAllah tetap langgeng kok. Saya bantu doa." ujar penjual kwetiaw itu.
"Astaga, Bapak! Dia bukan pacar saya loh. Masak iya saya pacaran sama orang pelit dan pendendam kayak gitu? Mana pantes, Pak? Lagian kasian nanti tembok kos-kos an saya pada iri kalo saya kerja jauh-jauh dapetnya tembok juga sementara mereka yang setia nemenin saya aja saya anggurkan." balas Vania.
Andrea yang geram kemudian berdehem keras, membuat Vania tertawa kaku menyadari kesalahan yang entah ke berapa kalinya ia lakukan di depan Andrea hari ini.
"Keceplosan," ujar Vania.
"Pak kalau ada racun tikus, racun serangga, apa aja tolong campurin ke kwetiaw dia! Nanti saya bayar double." Andrea.
"Wah...kesenjangan ekonomi mulai tampak ini. Uang berbicara, apalah daya rakyat biasa seperti saya." Vania.
"Omonganmu itu!" gemas Andrea. Sungguh. Andrea tidak tahu lagi bagaimana cara menghadapi dokter muda di hadapannya. Ingin sekali ia meraup wajah itu dengan tangannya kemudian memencet keras hidung itu.
"Sudah Den, Neng lebih baik sekarang kalian makan, nanti kwetiawnya dingin, nggak enak loh." lerai penjual kwetiaw yang mulai jengah dengan tingkah kedua pelanggannya itu. Akhirnya, keduanya sama-sama fokus dengan makanannya meski sesekali saling melirik dan melemparkan tatapan mengancamnya.