Suara decitan pintu membuat gadis kecil yang tengah merenung itu terusik. Tanpa menoleh, ia berujar,
"Linzy nggak mau makan. Linzy mau ketemu Papa. Linzy kangen Papa." Dari suaranya, Vania tau kalau gadis itu sedang menangis. Vania terus melangkah mendekat lalu menyentuh puncak kepala anak itu. Membuatnya sedikit terpenjat kemudian menoleh.
"Do...dokter?" kagetnya. Vania tersenyum hangat. Tangannya tak henti-hentinya membelai puncak kepala gadis cantik itu.
"Hay.. perkenalkan, aku Dokter Vania. Dan aku adalah doktermu mulai hari ini." ujar Vania memperkenalkan diri. Linzy tak merespon apapun. Ia hanya menatap Vania dengan malas kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain.
"Bagaimana kondisimu, Linzy? Kamu merasa baikan?" tanyanya lagi.
"Loh..sarapan kamu belum dimakan?" tambahnya setelah melihat sepiring bubur yang masih utuh. Linzy masih enggan menjawab. Ia kembali memiringkan tubuhnya, berusaha acuh dengan dokter cantik yang berdiri anggun di samping tempat tidurnya.
"Non Linzy tidak mau makan selain nasi goreng buatan papanya, Dok. Tapi..." Vania memotong ucapan wanita paruh baya itu dengan cepat.
"Biar saya buatkan. Tunggu sebentar, saya akan ke kantin dulu." potong Vania
"Linzy maunya nasi goreng buatan Papa, nggak mau yang lain. Linzy juga maunya di suapin Papa. Linzy kangen Papa," teriak Linzy
"Mama, Papa dimana? Kenapa Mama sama Papa ninggalin Linzy? Kalian nggak sayang ya sama Linzy?" isaknya.
"Sst..hey! Kamu nggak boleh bicara seperti itu, sayang. Tidak ada orang tua yang tidak sayang terhadap anaknya." Vania.
"Tapi Mama sama Papa ninggalin Linzy. Linzy sakit, tapi mereka nggak nemenin Linzy." isak Linzy.
"Tuhan punya alasan, mengapa mentakdirkan Linzy berpisah dengan kedua orang tua Linzy sekarang. Dan Linzy harus yakin, ini semua adalah yang terbaik untuk Linzy. Nanti kalau udah saatnya, Tuhan pasti akan menggantikan masa-masa sulit ini dengan kebahagiaan yang tidak pernah Linzy bayangkan." terang Vania sembari membelai rambut Linzy. Linzy mulai mendengarkan ucapan dokter cantiknya itu. Isakkannya pun mulai berhenti.
"Semacam surga?" tanya gadis polos itu. Bukan itu maksud Vania. Vania hanya ingin gadis kecil itu kembali bersemangat dan tegar menerima takdirnya.
"Tante Dokter pinter loh kalo bikin nasi goreng. Kamu mau coba?" tawarnya mengalihkan topik. Linzy mengangguk kecil.
"Enakan? Lebih enak dari buatan Papa? Kalau iya, Linzy mau." balas gadis kecil itu sembari bangkit duduk.
"Okey. Tante Dokter akan buatkan kamu nasi goreng spesial. Tunggu sebentar ya!"
Setelah berpamitan, Vania bergegas keluar dari ruang rawat Linzy. Ia berjalan cepat ke arah kantin rumah sakit yang letaknya ada di lantai satu. Saat di lift, ia bertemu Dokter Andrea. Ia teringat kejadian pagi tadi saat Andrea mendengar keluh kesahnya. Takut dan malu berkumpul menjadi satu. Ia pun hanya menunduk dalam selama ada di dalam lift.
Begitu sampai di lantai satu, Vania bergegas pergi dan seolah tidak menyadari keberadaan Andrea. Ia jadi salah tingkah sendiri.
"Bu, itu alat masaknya lagi nganggur kan? Boleh Vania pinjam?" tanya Vania to the point.
"Mau buat apa, Dok? Cek kebersihan ya?" tanya Iibu kantin itu polos.
"Nggak kok, cuma mau buat masak nasi goreng. Ibu punyakan bahannya?" Vania. Ibu kantin itu mengangguk.
"Bu, tapi kalau masak sendiri gratis kan?" Orang-orang yang mendengarnya melongo tak percaya. Bahkan Vania belum melepas jas kebanggaannya. Wajahnya juga tidak menunjukan seperti orang kesusahan. Tapi apa yang baru saja dia katakan?
"Bu, gratis ya? Kan saya masak sendiri. Bahannya juga nggak banyak kok, cuma untuk satu porsi. Nanti ayamnya sedikit aja deh," ujarnya masih berusaha menawar
"Ck. Sekarang apa? Kamu kelaparan dan lupa nggak bawa dompet?" tanya seseorang dari arah belakang. Vania membolatkan matanya, namun tak berani menoleh. Langkah kaki itu kian mendekat. Perlahan, orang di sekeliling mereka kembali ke rutinitas masing-masing. Mengabaikan kegilaan dokter magang satu itu.
"E..eh..Dokter Andrea lagi. Selamat siang, Dok!" sapa Vania.
"Dok..Dokter kesini mau apa? Nggak mau mecat saya kan? Jangan memasukan masalah pribadi ke pekerjaan loh, Dok! Itu nggak profesional namanya. Lagi pula Anda kan lulusan terbaik luar negeri, pasti tahu dong mana yang baik dan mana yang tidak?" ujar Vania panjang lebar. Andrea menghela napas kemudian menyegarkan matanya beberapa saat dengan mengalihkan pandangannya.
"Biar saya yang bayar. Biarkan saja dia masak. Tapi kalau dia membakar kantin ini, jangan libatkan saya." ujar Andrea pada ibu kantin.
"Ba..baik, Dok." balas Ibu kantin. Vania melotot tak percaya. Seorang Andrea mau mengeluarkan uang demi pembuat onar sepertinya?
"Ini maksudnya saya dipecat terus pesangonnya sepiring nasi goreng, atau bagaimana?" bingung Vania.
"Saya cuma masak buat satu porsi kok, Dok. Saya bayar sendiri saja deh, yang penting saya jangan di pecat ya? Please..." lanjutnya.
"Saya membayarkan kamu ini juga tidak gratis. Enak saja. Buat untuk dua porsi. Yang satu antar ke ruangan saya." jawab Andrea.
"Ini Bu, uangnya untuk dua porsi. Kembaliannya kasih es teh aja buat dia." tambahnya sembari memberikan selembar uang Rp100.000 pada Ibu kantin. Vania melongo. Andrea memintanya membuatkan nasi goreng? Tidak salah? Bahkan Vania tak pernah melihat dokter itu berkeliaran di kantin saat jam makan siang. Ini pertama kalinya bagi ia melihatnya, dan langsung diperintah untuk membuatkan nasi goreng.
"Eh, Dok..nasib saya bagaimana? Saya dipindah tugaskan menjadi asisten Ibu kantin? Dok.. jangan gantungin saya dong!" teriak Vania. Andrea tak menghiraukannya. Pria itu tetap acuh dan berjalan meninggalkan kantin.
Vania menghela napas. Ia melirik selembar uang berwarna merah muda yang masih bertengger manis di tangan Ibu kantin.
"Dokter Vania nggak jadi masak?" tanya Ibu kantin.
"Jadi kok, Bu. Tapi...itu sisa uangnya cukup nggak kalau buat beli es tehnya lima?" tanya Vania. Ibu kantin itu tertawa sembari mengangguk.
"Iya, Dok. Cukup kok. Saya buatkan dulu ya," balas Ibu kantin. Vania pun segera melepas jas dokternya dan menyiapkan bahan nasi goreng untuk Andrea dan Linzy.
Lima belas menit kemudian......
"Tok..tok..tok.."
"Masuk!" Vania membuka pintu bercat putih itu kemudian masuk ke dalam ruangan berukuran 3×3 meter yang beraroma mint itu.
"Ini Dok, nasi gorengnya. Saya mintain es teh juga loh." ujar Vania . Andrea, pemilik ruangan itu meletakkan pulpennya dan menatap kantung plastik yang ada di meja kerjanya.
"Makasih," Andrea.
"Dok," panggil Vania ragu. Andrea kembali menoleh dengan malas.
"Tapi saya nggak di pecat kan? Saya rasa kesalahan saya tadi tidak terlalu besar," Vania.
"Menghina atasan dan mengatainya dengan hal-hal kotor bukan masalah besar? Mungkin bagimu masalah besar itu adalah ketika kamu berhasil membakar rumah sakit ini." balas Andrea geram.
"Eh...saya nggak ada niatan buat bakar rumah sakit ini kok walaupun saya kesal dengan Anda." Vania. Ingin sekali Andrea menendang perempuan itu hingga jatuh ke lantai satu.
"Kamu tidak saya pecat. Tapi cepat habiskan makan siangmu! Lima belas menit lagi istirahat makan siang selesai." Andrea.
"Makan siang? Maksudnya ini buat saya?" tanya Vania antusias sembari menyabet kantung yang tadi sudah ia letakkan di atas meja. Andrea bangkit dan merebut kembali kantung itu.
"Ini punya saya. Itu punya kamu." Andrea menunjuk kantung yang masih ada di samping Vania
"Eh..ini bukan untuk saya. Ini untuk Linzy." Vania.
"Ya sudah, saya pamit ya dok. Mau mengantar ini ke ruangan Linzy." pamit Vania dan langsung pergi. Andrea melengos. Namun, pikirannya melayang.
"Jadi, itu bukan buat dirinya sendiri?" lirihnya. Ia menatap nanar kantung plastik di depannya. Ragu, ia meraihnya. Menyingkirkan berkas-berkas pentingnya dan mulai membuka kantung itu. Isinya adalah sebuah es teh di dalam palstik dan sesuatu yang dibungkus kertas minyak yang ia yakini berisi nasi goreng buatan Vania.
"Aromanya harum." Pujinya. Andrea membukanya, kemudian mulai mencicipinya.
'Semoga ia tidak memberi makanan ini racun.'
Dan....
"Enak," lirihnya.
"Ini serius dia yang masak?" Dia tertawa kecil sembari menggeleng.
"Tidak. Pasti Ibu kantin yang membuatnya. Besok aku akan kesana sendiri untuk membuktikannya." Ujarnya.