Selena keluar dari kamar Thomas dan berjalan ke arah kamar Isabelle. Pintunya terbuka sedikit dan Selena mengernyit saat mendengar percakapan di dalamnya. Dengan siapa Isabelle berbicara ? Tanyanya dalam hati.
Gadis itu tidak bisa melihat lawan bicara Isabelle sama sekali. Yang bisa dilihatnya hanyalah Isabelle yang menunduk karena merasa bersalah. Ia sebenarnya tidak berniat menguping pembicaraan mereka, hanya saja ia segan untuk memotong percakapan itu.
“...Ingat, setiap malam kau harus memastikan semua orang sudah berada di dalam rumah dan aku tidak mau kau mengulangi kesalahan yang sama. Dengar itu, Isabelle ?” sebuah suara serak aneh membuat Selena mengernyit. Sepertinya ada orang lain yang tinggal bersama kami dan dia pastilah pengurus permainan ini... pikir Selena dalam hati.
“Ba... baik, tuan...” jawab Isabelle dengan ketakutan. Selena cukup terkejut melihatnya karena selama ini Isabelle selalu terlihat cuek dan ia tidak pernah melihat ekspresi ketakutan darinya.
“Kalau perlu, kau harus membuat absen malam agar mereka semua tetap aman. Ini hanya antisipasi agar kejadian 70 tahun yang lalu tidak terulang !” tegas suara itu lagi hingga membuat rasa penasaran Selena semakin besar. Ia ingin melihat siapa orang itu.
Selena langsung mengetuk pintu kamar Isabelle pelan dan wanita itu tersentak terkejut mengetahui ada yang berdiri di depan pintu kamarnya. Sebelum Isabelle yang menghampirinya, Selena langsung membuka pintu itu lebih lebar dan melongokkan kepalanya ke dalam. Matanya memandang isi kamar yang sederhana itu dan ia melirik ke belakang pintu tempat seharusnya orang yang berbicara dengan Isabelle berdiri. Tidak ada siapa-siapa hingga membuat Selena cukup heran. Ia jelas-jelas baru saja mendengar Isabelle berbicara dengan seseorang.
“Ada apa nona Walter ?” suara Isabelle kembali terdengar seperti biasa seakan tidak ada yang terjadi.
“Ah.. aku ingin bertanya padamu, apakah kau punya mesin penghangat ruangan ? Thomas membutuhkannya.” kata Selena kembali memandang Isabelle.
“Tentu saja, silahkan ikut saya.” Isabelle langsung mendorong Selena keluar dari kamarnya dan melewati gadis itu menuju gudang yang biasa selalu dikunci olehnya.
Ia membuka gudang itu dan mengambil mesin penghangat ruangan di sudut ruangan. Diserahkannya mesin itu pada Selena yang langsung membawanya kembali ke kamar Thomas.
Saat Selena masuk ke kamarnya, Thomas sudah menghabiskan separuh makanan yang ada di baki hingga membuat gadis itu tersenyum. Ia menyalakan mesin penghangat itu dan nampaknya Thomas sudah tidak terlalu kedinginan lagi. Gadis itu duduk di depannya.
“Jadi, apa yang kau temukan ? Kenapa kau bisa tersesat ? Bukannya aku telah memberikanmu penanda jalan ?” tanya Selena bertubi-tubi. Thomas perlu menelan semua makanan yang ada di mulutnya sebelum menjawab pertanyaan gadis itu. Ia sudah tidak terbata-bata lagi.
“Aku tidak berhasil menemukan apapun, Sel. Bahkan kertas yang kau berikan itu hilang saat aku mau pulang karena hujan. Aku tidak bisa menemukan satu kertas pun di pepohonan dan akhirnya aku menebak-nebak jalan mana yang harus kuambil... hanya saja aku benar-benar heran...” Thomas mengernyit memikirkan sesuatu dan tangannya yang memegang roti isi terhenti di udara.
“Apa itu ?” Selena juga mulai penasaran.
“Aku berputar-putar di tempat yang sama... aku ingat tempat dimana aku beristirahat memakan apel darimu, Selena. Dan saat aku mencari jalan keluar, aku malah kembali ke tempat itu lagi bahkan aku masih bisa melihat bekas apelku tadi di tanah... aku mencoba jalan lain tapi hasilnya tetap sama ! Aku kembali ke tempat itu berkali-kali hingga aku letih dan tepat pada saat itu hujan turun... setelah itu aku berjalan lagi mencoba jalan lain dan tersesat entah kemana... aku baru bisa kembali setelah aku memanjat pohon dan melihat dimana atap mansion... aku memotong jalan beberapa kali dengan menembus semak belukar hingga akhirnya bisa sampai kemari... tapi tidak ada yang membukakan pintu setelah aku menggedor beberapa kali sekuat tenaga... dan aku tidak ingat apa yang terjadi setelah itu...” cerita Thomas. Selena baru memperhatikan banyak luka goresan di lengan Thomas akibat menerobos semak-semak berduri.
“Aku lebih dulu sampai darimu nampaknya, Tom... karena aku juga tidak bisa masuk ke mansion. Untungnya aku melempar batu ke jendela ruang bersantai dan Ian melihatku.” kata Selena.
“Yah... setidaknya kau lebih beruntung dariku...” gumam Thomas dan ia kembali melanjutkan makannya yang tertunda. Selena beranjak dari tempat duduknya dan Thomas mengerling ke arahnya.
“Kau mau kemana ?” tanyanya dengan heran.
“Kurasa aku akan mencari cincin itu di luar lagi. Kau lebih baik beristirahat di rumah, Tom. Kau masih demam.” Selena tersenyum padanya dan ia keluar dari kamar Thomas.
Ada begitu banyak hal yang mengusik rasa penasaran gadis itu. Selena mulai bertanya-tanya mengenai sosok berjubah hitam, lembah itu, penanda jalan yang menghilang, serta kata-kata orang yang berbicara dengan Isabelle tadi. 70 tahun yang lalu ? Ada kejadian apa ??? pikirnya saat ia memasukkan buku tulis yang baru saja dimintanya dari Isabelle.
Selena keluar dari mansion dan mulai menggambar peta di buku itu. Ia mulai membuat sketsa patung air mancur dan memutuskan mengambil jalan sebelah kiri. Ia terus membuat setiap peta jalan yang dilaluinya hingga akan memudahkannya jika ia akan mencari jalan keluar. Khusus untuk hari ini, Selena hanya akan membuat peta jalan di hutan dan bukan mencari cincin seperti yang dikatakannya pada Thomas.
Ia berhenti hanya untuk beristirahat dan menikmati makan siang yang dibawanya. Kali ini persiapannya sudah sangat matang. Selena membawa mantel hujan, jaket, senter, pemantik api, bekal, dan bahkan ia sudah memakai celana olahraga panjang agar kakinya tidak tergores seperti kemarin saat ia berusaha keluar dari lubang.
Buku yang dibawanya hampir penuh dengan sketsa setiap rute jalan yang diambilnya dan Selena beberapa kali berakhir di tepi pantai tempat pelabuhan mereka pertama kali datang walaupun ia telah mengambil jalur yang berbeda. Ia mengambil kesimpulan ada banyak jalan menuju pelabuhan.
Gadis itu masih sibuk hingga sore hari karena ia mengambil jalan lain dan akhirnya menemukan lubang yang kemarin dimasukinya. Selena kembali menandai lokasi itu dan ia masih penasaran dengan lembah aneh itu. Lagi-lagi, Selena melongokkan kepalanya ke dalam lubang hanya untuk memastikan lembah itu masih sama seperti kemarin.
Ia menyorot lembah dengan senter yang dibawanya dan berhenti cukup lama di dek raksasa. Jantungnya berdegup kencang karena penasaran apakah sosok berjubah hitam itu akan muncul kembali.
Selena hampir keluar dari lubang sebelum matanya tiba-tiba menangkap sesuatu yang janggal. Ia kembali menoleh ke arah dek dan melebarkan matanya berusaha melihat apa itu. Ada sesuatu yang berwarna hitam di tepi dek dan Selena memicingkan mata untuk melihatnya lebih jelas. Sesuatu itu bergerak dan nampaknya berusaha merayap naik.
Selena terkejut setelah mengetahui apa itu. Sebuah tangan ! Ada tangan yang berusaha naik ke atas dek. Selena bukannya melarikan diri dari tempat itu. Ia malah masuk ke dalam lubang secara mendadak karena yang dipikirkannya adalah sosok berjubah hitam itu pastilah manusia yang kemarin jatuh ke dalam rawa-rawa dan sekarang membutuhkan pertolongan.
Selena berlari ke arah dek dan langkah kakinya bergema di tempat itu. Pandangannya tidak beralih dari tangan yang kesulitan untuk meraih dek.
Dengan cepat, Selena langsung menarik tangan itu dan membantunya untuk berusaha naik ke atas. Cukup berat hingga membuat Selena kesulitan untuk menariknya. Ia mengeluarkan semua tenaga yang dimilikinya dan akhirnya berhasil menarik tangan itu ke atas.
Selena terduduk di dek karena kelelahan dan ia masih berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Tiba-tiba, ia tertegun karena ada yang menggenggam pergelangan kakinya. Selena membuka matanya dan memandang ke arah kakinya.
Matanya langsung membelalak lebar dan hanya dalam hitungan detik, teriakan Selena membahana di tempat itu.
Tubuhnya mulai gemetar ketakutan dan raut wajahnya berubah menjadi pucat pasi. Ternyata yang diangkatnya tadi adalah sepotong tangan tanpa tubuh. Tangan itu bahkan berkerak hitam dengan beberapa warna hijau lumut. Nampaknya bekas luka yang telah membusuk hingga berlendir dan aromanya menusuk hidung.
Yang menjadi masalah adalah tangan itu masih mencengkeram pergelangan kaki Selena dan kelihatan hidup. Gadis itu meronta dan berusaha melepaskan diri dari tangan mengerikan itu.
SYUUTT !!! Tubuh Selena ditarik oleh tangan itu menuju tepi dek seakan ingin menenggelamkannya di rawa-rawa. Selena semakin berontak dan ia mengambil senter yang sempat terlepas dari tangannya. Dipukulnya tangan itu berkali-kali agar terlepas. Tapi, nampaknya si tangan tidak bergeming sama sekali. Tangan itu masih mencengkeram kaki Selena sekuatnya hingga gadis itu mulai meringis.
Selena menahan tubuhnya dengan berpegangan pada celah lantai kayu dek. Tangan itu masih menariknya terus hingga Selena berteriak kembali karena ketakutan.
Dengan menggunakan tangan kirinya, Selena membongkar isi tasnya dengan terburu-buru. Ia mencari apapun yang mungkin bisa membantunya. Matanya berhenti di pemantik api yang dibawanya jika ia merasa kedinginan lagi. Cepat-cepat dihidupkannya pemantik api itu dan Selena mengarahkan apinya ke tangan hitam yang akhirnya merespon pada panas. Cengkeraman pada kaki Selena merenggang dan otomatis Selena semakin menyerang tangan itu dengan api hingga akhirnya tangan itu melepaskan cengkeramannya dan kembali lagi ke dalam air.
Selena masih terduduk di dek kapal dengan napas yang tersengal-sengal. Keringat telah membanjiri tubuhnya dan gadis itu masih bisa merasakan gemetar di sekujur tubuhnya. Ia takut untuk memeriksa apakah tangan itu akan kembali lagi. Tapi, dirasanya lebih baik ia segera keluar dari lembah itu dan Selena cepat-cepat bangkit.
Ia tidak menoleh lagi ke belakang dan langsung memanjat panik ke arah lubang keluar. Saat ia keluar dari tempat itu, Selena merangkak terburu-buru menjauhi lubang. Ia mengutuki dirinya sendiri yang terlalu polos dengan menganggap ada yang membutuhkan pertolongan padahal bahaya bisa saja menyerangnya.
Kali ini gadis itu yakin bahwa lembah itu berhantu dan tangan tadi telah menjadi buktinya. Bagaimana mungkin sepotong tangan bisa hidup dan menyerangnya ??? Ia berusaha mengingat letak lubang itu agar tidak kembali ke dalam sana lagi.