9 - Slowly Cracking

1503 Words
            Petir kembali menggelegar hingga menyadarkan Selena agar ia segera pulang. Dengan cepat, gadis itu bangkit dan mulai berjalan tertatih-tatih ke persimpangan yang membuatnya ragu tadi. Selena masih tidak menemukan kertas merah yang ditempelnya di pohon. Ia langsung mengambil salah satu jalan ke sebelah kiri hanya dengan menebak-nebak saja.             Hujan terus mengguyur Selena dan gadis itu tidak peduli tubuhnya menggigil kedinginan. Selena hampir kehilangan kesadarannya dan ia masih berusaha untuk berjalan pulang ke mansion. Ia kembali menghadapi dua jalan yang berbeda dan berusaha menatap pepohonan yang ada di kanan-kiri kedua jalan. Ia mengarahkan senternya ke sana dan melihat ada tanda merah !             Selena langsung berjalan ke arah tanda merah itu untuk mencabutnya. Tapi, alih-alih menyentuh kertas yang basah, sesuatu yang lengket dan berbau amis malah menempel pada tangan Selena. Gadis itu mengernyit dan memperhatikan tangannya lebih teliti.             Ia membelalak saat melihat warna merah itu ternyata bukanlah sticky notes yang ditempelnya tadi melainkan darah ! Darah itu memudar karena tersiram air hujan dan membuat tangan Selena kembali bersih.             Gadis itu masih syok melihat noda darah itu dan ia cepat-cepat mengambil jalan yang ditandai dengan darah tanpa banyak berpikir. Ia bukan ingin memeriksa darah siapa yang ada di pohon. Ia malah merutuki dirinya yang mungkin saja berhalusinasi karena kelelahan. Selena segera menepis pikiran-pikiran aneh yang mulai masuk di pikirannya.             Setiap kali melihat tanda merah di pohon, Selena tidak akan memeriksanya lagi dan langsung mengambil jalan itu. Entah sudah berapa banyak belokan yang ia lalui hingga akhirnya Selena menunjukkan ekspresi penuh syukur saat melihat patung air mancur. Dari patung itu, Selena bisa melihat atap mansion hingga memudahkannya memilih jalan.             Gadis itu langsung berlari dengan tenaganya yang tersisa ke arah mansion. Pintu depannya tertutup dan Selena menggedornya beberapa kali. Tidak ada yang membukakan pintu dan gadis itu sadar bahwa suara gedorannya teredam oleh deru hujan lebat yang tiada hentinya.             Selena berteriak memanggil semua nama yang ada di dalam mansion. Masih tidak ada yang membukakan pintu sampai suaranya telah berubah menjadi serak. Selena menengadah ke salah satu jendela dan menebak-nebak jendela mana yang merupakan ruang bersantai. Ia setengah berlari ke sana dan mengambil salah satu batu kecil. Dilemparnya batu itu ke jendela dan Selena berteriak kembali.             Sekitar lima menit kemudian, Ian menoleh ke arah jendela sebelum Selena melempar batu lain lagi. Ia membelalak dan dengan segera Selena menunjuk pintu depan agar pria itu membukakannya.             Ian mengangguk cepat dan menghilang ke dalam lagi. Selena kembali ke pintu depan dan menunggu sambil menggigil kedinginan. Tidak berapa lama, pintu terbuka dan Selena hampir saja ambruk ke dalam karena ia bersandar pada pintu. Ian dengan cepat menangkapnya. “Astaga, Selena ! Kemana saja kau dari tadi ??? Kau basah kuyup !” seru Ian sambil memberikan handuk yang disampirkannya di bahu tadi.             Selena tidak menjawab karena bibirnya gemetar dan Ian langsung menyelimutinya dengan handuk. Ia menutup pintu depan kembali karena angin kencang dan hujan mulai merembes masuk.             Ian menuntun Selena naik ke lantai dua dan membukakan pintu kamar mandi untuknya. Selena tidak keberatan menerima pertolongan dari lelaki itu karena setidaknya dialah penyelamat Selena saat gadis itu merasa ia hampir pingsan. “Mandilah dengan air hangat. Kau bisa masuk angin.” kata Ian pelan dan ia menutup pintu kamar mandi kembali.             Selena meletakkan tasnya di wastafel dan menghidupkan shower. Ia membiarkan air shower hangat menyiraminya masih lengkap dengan semua pakaian yang dikenakannya. Air hangat membuatnya lebih lega dan kekakuan tubuhnya perlahan menghilang.             Selena memakai jubah mandi setelah membersihkan tubuhnya dari semua lumpur. Ia keluar dan kembali ke kamarnya untuk meletakkan semua barang-barangnya tadi. Selena mengeluarkan isi tasnya dan melihat memo kecilnya basah. Ia meringis dan menjemur memonya di meja samping tempat tidurnya. Beruntung tulisannya masih terlihat jelas hingga Selena berpikir untuk menyalinnya ulang besok pagi.             Ia mengganti pakaiannya dan tepat pada saat itu Grissham masuk ke dalam kamar. Gadis itu hanya melirik Selena sekilas sebelum merapikan ranjangnya. Ia nampaknya hendak tidur. Entah kenapa Selena merasa cukup kesal melihat reaksi temannya ini. “Apa... kau tidak peduli sama sekali kemana aku menghilang dari pagi dan baru kembali sekarang ?” tanya Selena memandangnya dengan kening berkerut. Grissham hanya meliriknya. “Itu urusanmu. Bukan urusanku, Selena. Kita memang teman tapi di sini kita rival. Bukan hanya kau yang mau memenangkan permainan ini. Aku juga dan terserah kemana kau mau pergi seharian. Aku bukan ibumu yang harus melarangmu.” jawab Grissham dengan cueknya. Selena membelalak mendengarnya. “Astaga, Griss... setidaknya rasa khawatir harusnya kau miliki ! Aku hampir mati di luar sana karena tidak ada yang membukakan pintu dan berteriak hingga suaraku serak !” jerit Selena dengan suara yang hampir menghilang. Ia terdengar seperti ayam yang hendak disembelih. “Siapa yang menyuruhmu tidak kembali ke mansion jika tahu hari akan hujan ? Jangan menyalahkanku atas kecerobohanmu sendiri, Selena. Kau setidaknya harus mengurus dirimu sendiri dan bukan aku yang harus mengingatkanmu terus-menerus. Apa kau mengharapkan aku akan bekerjasama denganmu agar memenangkan permainan ini ? Maaf, Selena. Aku punya kepentinganku sendiri.” Grissham memandang Selena dengan pandangan yang sedikit menghina. Selena semakin membelalak dan menghela napas panjang karena kesal. Ia sudah berkacak pinggang memandang Grissham yang dengan cueknya memakai selimut. “Tunggu sebentar, rasanya aku pernah mendengar kalimatmu ini... apa Warren mengisi otakmu dengan ketidakpercayaan dan rasa benci ?” selidik Selena. Grissham tidak menoleh padanya dan berbaring di ranjangnya. “Dia hanya memberitahuku kenyataan dunia yang sebenarnya. Tidak semua orang sepolos dirimu, Selena. Kukira obrolan kita cukup sampai di sini. Aku lelah. Selamat malam.” Grissham mengakhiri pembicaraan mereka dan berbalik memunggungi gadis itu.             Selena hanya menggertakkan gigi dan mengutuki Warren karena membuat temannya menjadi berubah seperti ini. Ia langsung keluar dari kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Tidak dipedulikannya Grissham yang mungkin mengumpat karena terkejut.             Ian menoleh dari meja billiard ke arah lorong kamar dan melihat Selena juga memandangnya. Ian hanya menaikkan alisnya dengan pandangan bertanya sementara Selena tersenyum singkat padanya. Walaupun ia merasa sangat marah, tapi perutnya terus saja bernyanyi keras. Ia perlu mencari sesuatu di dapur yang bisa membuat lambungnya diam.             Selena langsung berjalan cepat ke arah dapur dan menyalakan lampunya. Ia membuka kulkas mencari apapun yang bisa dimasaknya. Beruntung matanya menangkap sesuatu di atas kompor. Sebuah panci tertutup membuat Selena membukanya untuk melihat isinya. Ia bisa mengendus harum yang menggugah seleranya dan ternyata isi panci itu adalah sup krim jamur.             Selena langsung memanaskan sup itu dan mengambil roti Perancis di keranjang roti. Ia mulai berjongkok di depan kulkas lagi. Tiba-tiba sebuah suara menegurnya. “Nampaknya kau kelaparan.” Ian masuk ke dapur juga dan Selena mengerlingnya. “Sangat. Aku terjebak hujan dan tersesat di hutan hingga tidak tahu jalan pulang. Belum lagi cuaca di luar benar-benar dingin. Lengkap sudah penderitaanku tadi...” keluh Selena.             Gadis itu mengambil tuna kaleng dan membukanya. Diisinya roti tawar dengan ikan tuna dan beberapa lembar selada yang telah dicuci. Setelah membuat tiga potong sandwich, Selena memasukkannya ke dalam microwave. Ian hanya memperhatikan semua tindakannya.             Selena selesai menyiapkan makan malamnya dan membawa bakinya melewati Ian menuju meja makan. Pria itu bahkan mengekorinya kembali dan duduk di samping Selena sambil memperhatikannya makan begitu lahap. “Kenapa kau tidak menyuruh Isabelle saja ? Dia 'kan pembantu di rumah ini.” heran Ian. Selena tidak menoleh dari mangkuk supnya sama sekali. “Tidak perlu. Ini masih masalah kecil dan dia pasti sudah tidur. Aku tidak mau mengganggunya.” jawab gadis itu dan ia akhirnya menoleh pada Ian sambil menyorongkan piring sandwichnya untuk menawarinya. Ian hanya menggeleng pelan. “Rasanya tidak seburuk itu kok. Ayo, cobalah.” senyum Selena dan Ian mendengus hendak tertawa. Ia menerima sandwich Selena dan memakannya pelan. Mungkin baginya ini sudah terlalu larut untuk makan lagi. “Jadi, kau mencari cincin itu ke hutan ?” tanya Ian. Selena mengangguk dengan mulut penuh. “Bagaimana denganmu ? Kemana kau mencarinya hari ini ?” Selena baru bisa bertanya setelah menelan habis semua makanan yang ada di mulutnya. “Tidak ada. Aku tidak mencari cincin itu hari ini. Aku tidur hingga sore dan baru terbangun beberapa saat yang lalu.” jawab Ian dengan cuek. Ia menyandarkan dirinya ke kursi. Selena hanya menaikkan sebelah alisnya. “Kau tidak berniat mencarinya ?” heran Selena menatap pria berambut gondrong itu. Ian mendengus tertawa.             “Kalau aku tidak berniat mencarinya, untuk apa aku ikut permainan ini ? Hanya saja aku masih lelah dengan perjalanan kemarin, karena itu aku memilih tidur. Akan lebih mudah menemukan barang jika kau beristirahat cukup.” jawab Ian. Selena mendengus tersenyum mendengarnya dan mengangguk-angguk.             “Jadi, apa yang terjadi tadi ? Kudengar kau membanting pintu kamarmu.” Ian menoleh ke arahnya lagi. Selena kembali memberengut mengingat betapa mengesalkannya pembicaraannya dengan Grissham tadi.             “Aku benar-benar tak suka dengan Warren. Si b******k itu meracuni pikiran Grissham.” geram Selena menggertakkan giginya. Ian tidak bertanya penyebab masalahnya dan ia duduk lebih santai sambil menyilangkan kakinya. “Kau pasti kesal karena sekutumu beralih ?” tebak Ian menyilangkan kedua tangannya di d**a. Bola mata Selena membesar. Ian hanya tersenyum sambil memejamkan mata.             “Tidak perlu terlalu kesal. Sebenarnya mungkin dia juga sedang mencari sekutu ? Mungkin dia merasa ada potensi pada Grissham untuk membantunya.” simpul Ian. Selena langsung tertegun memikirkan ucapannya dan mulai berpikiran bahwa dirinya tidak termasuk dalam potensi yang dicari Warren sama sekali. “Yah, mungkin saja seperti itu.” Selena menghela napas panjang dan ia telah menghabiskan seluruh makanannya. Gadis itu duduk bersandar sambil menenggak air.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD