Bab 8. Pelukan yang tak seharusnya

1148 Words
Perceraianku dengan mas Win berawal dari dia yang tiba-tiba menalakku saat acara makan malam di depan keluarga besarnya. Papa, mama, Bhaga, tante Marta dan Om Hari, tante Salma dan om Andre, dan semua keponakan. Jujur, aku gak ngerti kenapa mas Win menalakku di depan banyak orang. Beberapapa orang di ruangan itu sama syoknya denganku. Tapi aku berusaha tenang waktu itu, barangkali ini hanya becandaan mas Win yang mau kasih surprise dan harus mengerjaiku dulu, mengingat dua hari lagi adalah ulangtahunku. Tapi tidak, setelah beberapa menit, muka mas Win, papa dan mama jadi semakin serius. Mas Win juga bukan tipe lelaki yang suka mengerjai orang hanya untuk sebuah kejutan. Itu sama sekali bukan gayanya. Hening. Cukup lama. Senyumku mulai surut. Satu per satu ku pandangi wajah-wajah di ruangan itu. Aku tanya ini serius atau enggak, pada tante mama, pada tante Salma, pada tante Marta, tapi tak satupun jawaban ku dapat. Mereka diam. Saking kalutnya, aku sampai mau menelepon Sapta dan Anki, yang rupanya mereka udah tiba di rumah keluarga mas Win sebelum aku sempat menelepon. Aku gak tahu siapa yang menghubungi mereka duluan. Wajah Sapta dan Anki sama bingungnya denganku. Dan setelah semua duduk. Barulah, mas Win bicara. Di sampingku, rahang mas Win mengeras, wajahnya yang tampan berubah jadi kaku dan tak mau sekalipun menoleh dan menatapku. Dia bilang, dia ingin bercerai denganku dengan alasan kita gak punya anak selama tiga tahun. Anehnya, papa dan mama juga mengharapkan perceraian ini terjadi. Bahkan mama sempat bicara padaku kalau aku harus melepaskan mas Win untuk bisa bahagia. Air mataku tak terbendung lagi saat itu. Aku adalah orang yang paling hancur hatinya bukan? pernikahan yang udah 3 tahun kita jalani dan harmonis, tiba-tiba berakhir tanpa ada pembicaraan sebelumnya denganku atau dengan keluargaku. Kalau masalah anak, kita masih bisa kompromi kan, toh kita belum maksimal berusahanya. Yang membuatku semakin hancur, aku juga dipermalukan di depan keluarga besarnya dengan menuduh bahwa aku selingkuh. Selingkuh katanya? Kepikiran aja enggak! Bagaimana mas Win bisa menyebut aku selingkuh kalau aku aja gak pernah keluar rumah tanpa ijin darinya, aku selalu ada di saat dia berangkat dan pulang kerja, aku melayaninya. Sepenuh hati. Dia hanya memberikan bukti sebuah foto yang memperlihatkan aku sedang mengobrol dengan Ekram-teman SD-ku. Padahal kita hanya gak sengaja ketemu di supermarket dan mengobrol pun di tempat umum. Setiap aku ingin menjelaskan, mas Win menyuruhku diam. Mereka yang ada di ruangan itu semua menatapku tak percaya. Kalau bisa bersumpah, aku akan lakukan karena nyatanya aku gak melakukan perselingkuhan itu. Gak adil sekali, mereka sama sekali gak mau dengar penjelasan bahkan pembelaan untuk diriku sendiri. Hati mereka udah tertutup tanpa ada celah lagi. Sapta hampir aja menghajar mas Win kalau waktu itu gak banyak yang melerai dan itu rumah keluarganya. Akhirnya, Sapta hanya bisa membawaku segera pulang dari sana dan bersumpah tidak akan lagi berurusan dengan keluarga mas Win. Siapapun itu. Dan aku... Diam-diam mengamininya. Proses perceraian terjadi begitu cepat, keadaanku udah kalud, sedih dan hancur jadi satu. Aku seperti dipaksa sepakat bahwa perceraian ini adalah keputusan dua belah pihak. Padahal gak sama sekali, aku belum bisa terima alasan itu. Udah di ceraikan dengan alasan yang sangat egois, dipermalukan, dicap yang tidak-tidak pula sama tetangga di sekitar rumah ku dan mas Win, dulu. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Hidupku benar-benar ada di titik terendah. Berkelahi dengan diri sendiri melawan rasa sakit hati, sedih dan putus asa. Aku menyalahkan diri sendiri karena bisa jadi aku juga yang salah. Andai mas Win kasih aku kesempatan kalau memang aku yang salah, aku jelas akan mempertahankan rumah tangga ini apapun caranya. Tapi semua udah tertutup bagi mas Win. Gak ada kesempatan. Aku hampir gila, kewarasanku hilang separuhnya. Andai... andai waktu itu... ah, percuma juga aku berandai-andai. Semua udah terjadi. Dan gak bisa mengubah apapun. Hal itu juga yang mengubah hidupku dan memposisikan aku di titik sekarang ini. "Yas, aku gak bermaksud mengasihanimu!" Jelas Bhaga yang masih terus mengikutiku setelah keluar dari mobil, sampai di depan pintu rumahku. Tujuan aku share tentang perasaanku adalah supaya paling tidak kita bisa jaga jarak. Aku gak nyaman ada di circle yang berhubungan dengan mas Win. Aku pikir dia paham, tapi sikapnya yang tiba-tiba lembut malah membuatku merasa dia mengasihaniku. Dan sekarang dia berusaha bilang kalau dia gak bermaksud mengasihaniku? "Ga, Stop!" Aku menyuruhnya berhenti mengikutiku. "Harusnya kamu paham apa yang aku maksud dari pembicaraanku tadi. Kita gak usah sok-sokan beramah-tamah lagi. Kita hanya mantan ipar yang bahkan hubunganku dengan keluargamu berakhir dengan cara yang buruk. Atau lebih mudah kalau kamu juga membenci aku seperti orang-orang di ruangan itu." Tubuhku gemetar, ada getir yang tak bisa ku jelaskan ketika mengingat kejadian itu. Rasanya berat sekali menguak kembali luka lama yang ternyata, masih basah. Bhaga melangkah maju "Yas, kamu juga harus paham. Aku. Bukan. Win! Aku bukan mereka!" Aku mendongak menatap Bhaga menantang. "Kalau kamu merasa beda, terus kenapa waktu itu kamu diem aja sama kayak yang lain?" Bhaga terdiam. Kan? Dia gak bisa menjawab. Cukup muak melihat ekspresi Bhaga yang hanya diam. Mau membela diri aja gak bisa karena aku yakin ucapanku seratus persen benar. "Apa kalau aku membela kamu waktu itu semua akan jadi baik-baik aja? Kita semua tahu Win kaya apa kerasnya." Ujarnya. "I believe you, Yas! Tapi bukan berarti aku bisa gitu aja ikut campur urusan rumah tangga kalian." Aku tersenyum sinis dan kembali menatap Bhaga. "Mas Win aja berani menceraikan aku di depan kalian semua, itu artinya dia ingin kalian ikut campur juga ke dalam masalah rumah tanggaku. Oh... apa jangan-jangan kalian bersekongkong mau mempermalukan dan menjatuhkan aku? Begitu? Terbukti kalian membela dan membenarkan segala tuduhan mas Win padaku sampai aku terintimidasi." Kedua tanganku berayun ke atas seperti menyembah "The power of keluarga pak Haryadi!" Nada bicaraku naik dua kali lipat menyebut nama keluarganya. Bhaga lagi-lagi diam. Aku pun diam memperhatikannya sambil mencoba meredakan gejolak emosi dalam diri ini. Meski d**a rasanya udah sesak dan mata pedas. Air mata ini udah hampir keluar kalau gak susah payah aku tahan. Sabar Yas, sabar! Aku menghembuskan nafas lelah, "Sebaiknya kamu pulang! Dan makasih udah mengantar. Tapi aku harap ini pertemuan terkahir dan kalaupun kita gak sengaja ketemu lagi, kamu udah tau kan harus bersikap gimana? Gak saling kenal kayaknya lebih baik." Aku bergegas mengambil kunci rumah di dalam tas dan membuka grendel yang sialnya amat susah dan butuh kesabaran. Aku mengutuk Sapta yang membuat aku selalu kesulitan karena buka kunci aja sebegini ribetnya. Sementara dari ujung mataku, Bhaga masih terdiam mematung dan tidak segera pergi. Lalu... Aku merasakan sebuah tarikan di lengan baju belakangku dan secara cepat tubuhku berbalik hingga menubruk tubuh besar Bhaga dan... Astaga! Mataku terbelalak tak percaya dan telapak tangan yang mulai terkepal kaku mendapati kalau, lelaki di depanku ini memelukku, Erat. Tanpa kusadari, otakku langsung membawaku pada mimpi beberapa hari yang lalu. Yang sampai sekarang masih ku ingat meski setengah-setengah. Dan terkahir, ingatanku berhenti pada seseorang yang menarik baju belakangku dan orang itu apakah... Bhaga? Orang itu Bhaga? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD