Bab 7. Merasa dikasihani

1536 Words
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan yang aneh. Konon, mimpi hanya bisa diingat 50 persen saat bangun. Benar juga, aku hanya bisa mengingat garis besarnya. Aku mimpi tenggelam di sungai yang airnya sangat amat jernih, normalnya jika tenggelam aku akan panik dan meminta tolong kepada siapapun karena kemampuan berenangku sangat nol besar. Tapi, aku sama sekali gak panik, justru menikmati saat tubuhku ditelan air pelan-pelan dan melihat keindahan bawah sungai itu. Saat aku melongok ke atas permukaan, di sana udah ada banyak sekali orang-orang random yang di dunia nyata gak mungkin mereka saling kenal dan seakrab itu. Mataku melihat satu per satu wajah-wajah itu. Ada Erkan teman SD super jail, Minda teman SMA, Akram anaknya sahabat ibu, Yasya anaknya Anki, Jeje, Pidi pacarnya Jeje terus di sebelah paling pojok, aku melihat kakak beradik mas Win dan Bhaga dan di belakang masih banyak lagi tapi aku gak tau itu siapa aja. Mereka memperhatikan aku dengan ekspresi yang sama, datar. Tatapan-tatapan itu membuatku jengah, dan aku menenggelamkan diri lagi ke dalam air. Sepenuhnya. Lalu tiba-tiba ada seseorang yang menarik bajuku dari belakang. Dan saat aku menengok ke belakang ternyata dia adalah... Kringggggg!!! Alarm ponselku berbunyi dengan kencang. Cukup bikin aku kaget dan kembali kehilangan memori yang dari tadi coba ku ingat. Rupanya udah waktunya aku bangun. 06.15 Aku beringsut dari ranjang, minum air putih, membuka jendela dan meregangkan otot. Mimpi tenggelam apalagi aku merasa gak bisa berenang membuat badanku pegal-pegal. Sebelum mandi aku mau masak sederhana aja untuk sarapan, nasi goreng dan telur. Lalu membuka toko dan mulai bekerja. Hari ini jadi hari yang sibuk, dari kemarin banyak order yang masuk dan akan diambil hari ini. Di akhir bulan Agustus ini, memang banyak mahasiswa yang memesan buket sederhana untuk temannya yang wisuda dan Flora selalu kebanjiran pesanan. Biasanya periode wisuda ada pada bulan Mei, Agustus dan November. Aku udah mulai bisa membaca ritme datangnya customer sekarang, berkat Jeje juga sih. Dua hari ini, suasana toko sangat ramai. Jeje bahkan hampir menginap saking jam duabelas malam kita masih beberes dan menyiapkan printilan untuk orderan esok hari. Tapi pacarnya Pidi, udah menjemput dan rela menunggu Jeje selesai beberes. Punggungku udah pegal maksimal minta direbahin. Malam ini, bertemu dengan kasur dengan perasaan yang bahagia dan segera ingin tidur adalah sesuatu yang lama aku rindukan. Hari-hari sebelumnya aku harus mandi air hangat, membaca buku, menyalakan lilin aromaterapi, kadang minum s**u dulu sebagai ritual untuk membuatku cepat mengantuk. Kerana di umur 32 tahun ini, menghitung domba aja jelas gak mempan. *** Masih ingat mbak Sasi? Iya pelanggan setia Flora yang suka order lily, anak pertamanya menikah. Kemarin dia mengirimiku undangan via w******p dengan tulisan tambahan di chat selanjutnya 'Aku bakalan seneng kalau kamu datang ya say *emot love*'. Karena dia adalah pelanggan yang setia, baik dan ramah, malam ini aku pergi ke kondangan dan terpaksa sendirian lagi karena Yasya sedang panas badannya. Sapta lembur jadi tidak ada yang bisa dititipi Yasya. Dulu, pergi ke kondangan sendirian adalah perasaan yang aneh sih. Aku gak biasa. Tapi sekarang kayaknya aku harus terbiasa meski tatapan dan pertanyaan mainstream orang-orang harus ku terima, dengan lapang d**a. Memang pada kenyataannya aku tidak punya pasangan sekarang dan kalau di tanya kapan nikah lagi, tinggal ku jawab udah pernah. Tampak gampang kan? tapi setelah itu aku jelas kepikiran. Gimana ya kehidupanku kedepan? Apakah aku akan terus begini, Kalau mulai suatu hubungan lagi aja aku belum siap. Kuamati diriku di kaca. Dress brokat lengan panjang warna salem ini jarang sekali kupakai karena selama ini kalau kondangan style ku hanya blouse polos dan jarik lilit. Itu udah yang paling nyaman menurutku. Kali ini, aku harus berpenampilan lebih formal lagi karena ini pesta pernikahan keluarga terpandang. Mbak Sasi tentu aja gak mempersiapkan pernikahan apalagi anak pertamanya secara kaleng-kaleng dong. Dilihat dari lokasi gedungnya aja, orang juga tahu kalau ini pesta berkelas. Aku gak mau mempermalukan diriku sendiri lah, makanya aku berdandan lebih dari biasanya. Lipstick, bulumata, maskara, alis, semua on point. Tinggal pakai kitten heels warna hitam yang masih tersimpan di kardus -saking lamanya gak dipake- lalu berangkat. Aku udah order taksi online dan bentar lagi nyampe. Paling gak suka nyetir sendiri kalau lagi dandan begini, pasti ribet banget. Jadi naik taksi online aja biar praktis. Aku memasuki sebuah ballroom dengan dekorasi mewah, aku berdecak kagum. Gak heran sih. Ah iya, kenapa akhir-akhir ini aku sering kondangan di tempat-tempat sultan ya? Kemarin Aira, sekarang anaknya mbak Sasi, besok siapa lagi yang bakal aku kagumi dekorasi pernikahannya? "Hai hai sayang!" Tak sulit mencari keberadaan mbak Sasi dengan suara hebohnya dan tentu dandanan yang cetar membahana. "Mbak, selamat ya, turut bahagia." Ujarku setelah cipika cipiki. "Thankyou sayang." Dia memelukku sekilas. Lalu membawaku ke singgasana sang mempelai, aku memberi selamat kepada anaknya dan turun lagi ditemani mbak Sasi. "Sendiri aja?" Tanyanya. "Iya." Mbak Sasi menoleh ke sana kemari seperti mencari seseorang. Lalu seolah menemukanannya, matanya berbinar dan senyumnya lebar. Tangannya melambai ke atas "Mas Bhaga!" Wait... What!? Bhaga? Sejurus kemudian aku menoleh. Dan apa yang aku lihat benar-benar Bhaga. Dia memakai kemeja batik lengan panjang dan celana kain warna hitam. Rambutnya yang ikal agak panjang, kini sangat klimis kebelakang. Terlihat formal seperti tamu-tamu lainnya. Padahal aku berharap saat mengambil mobil di rumah Bhaga itu adalah pertemuan terakhir. Tapi malah ketemu lagi di sini. Lelaki tinggi menjulang itu menghampiriku dan mbak Sasi. Dengan gaya cool-nya dia tersenyum ke arah mbak Sasi lalu ke aku. Ku balas dengan senyum tipis yang hampir tak terlihat. "Aku tau mas Bhaga juga ke sini sendirian. Kalian katanya kerabat kan?" Tanya mbak Sasi seraya memegang lenganku dan sedikit mendorongku dekat dengan Bhaga. "Biar ada temen ngobrol. Mas Bhaga, jagain bestie satu ini ya. Takut ilang soalnya dia juga sendirian." Hah? Bercanda nih mbak Sasi minta Bhaga jagain aku segala. Saat ku lihat, Bhaga juga sama bingungnya denganku. Aku tertawa ingin protes kalau aku bukan anak kecil yang muati dijagain "Mbak..." "Okay, enjoy ya, aku mau sambut tamu yang dulu." Aku dicuekin, Mbak Sasi keburu melenggang pergi dan benar-benar menghilang dari keramaian para tamu. Meninggalkan aku dan Bhaga yang masih sama-sama diam berdiri. Oh aku baru ingat kalau Bhaga ini kan tetangganya mbak Sasi, ya jelas dia diundang lah. Kok aku gak kepikiran dari tadi? "Hai Ga." Sapaku jelas basa-basi. "Kamu gak wajib jagain aku sih kayak yang disuruh mbak Sasi. Jadi... Jangan dianggap serius." Bhaga tersenyum miring "Well, I know. Tapi gak ada salahnya bareng, dari pada kayak orang ilang." Aku mengangguk seolah setuju. Tapi sebenarnya "Tapi aku udah mau pulang sih. Ini baru order taksi online." Kutunjukkan ponselku di tangan yang memang lagi buka aplikasinya. Udah mikir pasti bakalan lebih akward dari pertemuan-pertemuan sebelumnya, jadi setelah mbak Sasi menyerahkan aku ke Bhaga, dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dari tas berniat pesan taksi online secepatnya. Bhaga masih memperhatikanku. "Oh..." Malam ini kayaknya semesta ngajakin bercanda lagi. Sayang seribu sayang, driver-nya gak ada yang nyangkut satupun di aplikasi taksi online milikku ini. Aku coba refresh beberapa kalipun, nihil. Mungkin karena acara ini, lalu lintas di depan gedung ini macet lalu para driver enggan melewatinya. Ah sial... Bhaga yang masih di depanku, malah bilang salahku gak bawa mobil sendiri. Dia kira gampang bawa mobil sendiri saat dandan rempong begini? Kalau dandannya masih nyaman sih, aku pasti bakalan bawa mobil. Dan... Aku berakhir di sini sekarang. Di dalam mobil Porche putih milik Bhaga. Setelah melihat aku agak frustasi, dia menawariku untuk mengantar pulang. Alasannya dia juga mau pulang. Mau menolak tapi dia udah tahu aku kesusahan nyari taksi. Jangan sampai kejadian aku ngeyel di rumah Aira berujung malu, terjadi lagi. Perjalanan ini sangat hening tanpa ada yang mau mencoba membuka obrolan satu sama lain. "Kenapa dari sekian banyak orang, aku ketemu kamu terus sih Ga?" Aku tertawa yang sumbang. Gak disangka Bhaga juga melakukan hal yang sama "Mungkin emang kita harus ketemu lagi." "Untuk alasan apa kita harus ketemu lagi? Aku gak pernah berharap ketemu orang-orang masa lalu lagi." "Sorry. Tapi aku juga gak menyengajakan ketemu, kan." Ujarnya pelan. Hening. Aku hanya melihat lalu lalang kendaraan lain dari kaca, sementara dia masih menyetir dalam diam. "Maksud aku, masa lalu harusnya dikubur aja gak sih? Sekarang aku malah ketemu kamu yang notabene-nya adalah orang terdekat dari sumber rasa sakit hati yang harus aku lupakan itu." Kulihat, Bhaga sontak menoleh padaku. Tanpa kata. "Sekeras apapun aku berusaha berdamai dengan itu semua, ketemu kamu tuh kayak memori yang udah lama aku kubur dalam-dalam otomatis diputar lagi di otakku. Ya aku tau kamu gak ada hubungannya langsung dengan masa lalu itu. Tapi kamu satu-satunya orang terdekatnya dan itu bikin aku ngerasa... Gak nyaman." Harusnya aku gak bilang kalau aku merasa cemas ke Bhaga kan? Gimana kalau dia ngadu ke masnya tentang perasaanku ini? Apa mereka malah jadi merasa menang melihat keadaanku sekarang? Mobilnya berhenti, dan ternyata udah sampai di halaman rumahku. Oh ternyata dia masih ingat rumah ini. Sebelum turun, aku melihat dia menatapku intens. Apa aku menyinggungnya? Lalu tangan Bhaga meraih tangan kananku dan di genggamnya. Satu dua detik, otakku sama sekali gak bisa berpikir setelah transisi gerakan yang begitu cepat ini. "Yas, kamu akan baik-baik aja." Katanya lirih. Aku pelan-pelan mencerna, genggaman tangan ini dan perkataannya membuatku berasumsi kalau dia kasihan padaku. Setelah aku sadar, aku menarik tanganku paksa "Apaan sih Ga, Aku gak suka dikasihani!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD