Bab 6. Kekhawatiran Sapta 2

1057 Words
"Kan... firasaktu udah gak enak sih pas kamu bilang mau berangkat sendiri. Terus?" "Yaudah, pertemuan yang singkat aja." Anki memakan puding yang aku buat tadi pagi dengan lahap, tapi wajahnya seperti gak puas dengan penjelasanku barusan. Aku sengaja memberitahunya sampai situ aja, takutnya dia malah ember ke Sapta. Nanti jadi panjang urusannya. Sapta itu kadang gak seperti yang aku bayangin. Dia bisa jadi kakak yang kalem dan penyayang tapi sekali waktu juga bisa jadi kakak yang galak dan tegas. Dan kalau udah menyangkut hal yang menyakitiku, dia akan maju paling depan untuk membela dan melindungi. Aku sendiri sebagai adiknya kadang takut. Jadi, sebaiknya aku gak cerita banyak dulu sama Anki. Gitu-gitu dia kan istri Sapta merangkap informan. Hal sekecil apapun deh, pasti Anki ceritakan ke Sapta. Sejak kejadian empat tahun lalu kami memang udah memutus hubungan dengan keluarga mas Win. Sapta juga antipati dengan apapun yang menyangkut masa laluku itu. Sebuah mobil masuk ke halaman rumah Anki yang aku yakini itu mobil Sapta. Dari jendela, aku bisa melihat Sapta dengan seragam lengkapnya turun dari Jeep Wrangler merahnya. Anki menaruh puding yang baru setengah di makan lalu beranjak membukakan pintu dan menyambut suaminya. Yasya yang tahu ayahnya pulang juga ikut antusias di pangkuanku, dan aku langsung berdiri menggendong bocah satu setengah tahun ini, menyusul Anki. Tapi kayaknya aku salah menyusul mereka dan seketika menutup kedua mata Yasya dengan tanganku. Oh my God. Iya aku tahu kalau mereka udah gak ketemu tiga hari dua malam, tapi gak melespas rindu dengan ciuman di depan pintu juga kali. Ah, aku juga ikutan berdosa nih nonton beginian. "Oh please, can you guys do it in the bedroom instead?" Seruku menginterupsi acara kangen-kangenan mereka yang gak bermoral itu. Anki memukul d**a Sapta dan aktifitas mereka pun berhenti. "Mas malu!" "Yaelah Iyas doang, yang." Ujar Sapta memeluk istrinya mesra. Ya, aku tahu gimana perasaan mereka tiga hari gak ketemu karena Sapta harus dinas ke luar kota. Tapi hello... di sini ada aku nih, ada anak di bawah umur juga. Bener-bener deh mereka. Sengaja banget bikin aku mati gaya. Ujung-ujungnya aku pamit pulang nih biasanya. Sebalnya, setelah Sapta melepas boots dan PDL lorengnya, bukannya bebersih dulu malah mencomot puding buatanku di meja ruang tengah. Oh, iya. Sapta ini seorang TNI angkatan darat. Dia sebenarnya ditempatkan kerja di Jogja, tapi sekali waktu dia juga ditugaskan ke daerah-daerah lain selama beberapa hari, lima sampai sepuluh hari biasanya, tapi itu jarang. Makanya, Anki gak terbiasa ditinggal lama oleh suaminya. "Main comot aja, mandi dulu kek!" cetusku. "Nanti ah, mau gendong Yasya dulu ya. Uhh anak ayah kangen ya?" tangan Yasya udah mengatung ingin di gendong ayahnya, namun secepat kilat Anki menarik tangan Sapta ke kamar. "Eits! Bebersih dulu ya mas." Aku Cuma geleng-geleng kepala melihat mereka. Yasya mulai manggil-manggil ayahnya dan nangis kencang. Ku alihkan perhatian anak ini dengan menumpahkan semua lego yang ada di box mainan Yasya. Biarin deh nanti Anki beresin lagi, anaknya udah nangis-nangis nih. Gak sulit membuat Yasya berhenti menangis ternyata. Cuma berantakin lego aja dia ketawa-ketawa, seolah-olah ini adalah pertunjukan sulap luar biasa dimatanya. Aku juga jadi semakin semangat menghiburnya. "Wuaaaaa....nte Yas... agi... agi..." Seru Yasya yang mau aku melakukannya lagi. Baiklah. Ku raup lego-lego itu dengan tangan dan aku sebar di karpet. "Wuhuuu..." Seraya menunggu urusan kedua orang tuanya kangen-kangenan di kamar selesai. Gak apa-apa deh aku jadi babysitter dadakan, sekaligus jadi obat nyamuk beneran di rumah ini. Benar kata orang kalau kakak udah punya anak kita yang jadi babysitter. Selang beberapa lama, Yasya kecapean dan akhirnya tertidur di pangkuanku. Aku pindahkan dia di kamarnya supaya tidurnya lebih nyaman. Anki dan Sapta keluar dengan wajah yang sama-sama segar. Gak heran sih lama banget di kamar ngapain aja. Aku juga pernah berumah tangga. Aku berniat untuk pamit pulang, "Aku pulang ya, Ki, Sap." "Eh, tunggu." Pinta Sapta. "Kata Anki, kamu ketemu Bhaga kemarin, bener?" "Iya." "Terus?" "Ya ketemu biasa aja." "Kamu... gak kenapa-kenapa kan?" ujar Sapta agak ragu menanyakan itu. Dia tahu aku trauma bertemu mas Win terutama. Tapi keluarganya yang bisa juga punya kemungkinan membuat traumaku muncul. "Kalau aku kenapa-kenapa ya aku gak ada di sini kali." "Iya sih. Bagus deh. Terus itu tangan kenapa?" tanya Sapta sambil melotot. Aku memang pakai lengan panjang tadi dan Anki gak tahu soal luka di tanganku. Barsusan karena gerah bermain dengan Yasya, aku melipat lengannya sampai atas siku. Dan sekarang Sapta tahu, siap-siap di interogasi nih. "Eh iya ini kenapa Yas?" Tanya Anki khawatir saat memegang dan memperhatikan lenganku. "Jadi kemarin kan aku nganter bunga ke pelanggan, terus pulangnya mau beli martabak, karena jalannya rame, aku nyeberangnya jalan kaki aja. Terus kesrempet motor dikit. Udah diobatin kok. Aman." "Iyas! Kalau ada apa-apa tuh bilang bisa gak sih? Ya aku emang gak lagi di Jogja kemarin, tapi bisakan ngabarin. Anki juga ada di rumah kok. Terus yang lain aman? Ada yang luka lagi gak? Ke dokter deh ayo." "Astaga Sap, Cuma lecet doang kok ini udah diobatin juga." Sapta memang suka berlebihan kalau lagi khawatir terutama tentang aku. Kalau aku perhatiin, dia mulai begini sejak orangtua kita gak ada dan bertambah protektif saat aku bercerai dengan mas Win. Sapta bahkan sempat gak bolehin aku untuk tinggal sendiri. Tapi setelah aku bujuk-bujuk dan minta tolong Anki buat bicara sama Sapta, akhirnya di bolehin dengan syarat aku harus udah di rumah di bawah jam 9 malam. Gak boleh masukin orang sembarangan. Terus Sapta juga memasang CCTV di sudut-sudut rumah, memasang teralis besi di pintu dan jendela serta grendel pintu anti maling. Bahkan rumahnya sendiri gak se-safety rumahku. Sempat mikir kalau yang dilakukan Sapta ini berlebihan, tapi lama-lama aku sadar kalau ini bentuk perhatian dan perlindungannya padaku karena dia juga gak selalu stand by di rumah dan bisa aku hubungin kapan aja. "Ck... itu kenapa aku gak rela kamu tinggal sendiri. Setelah cerai, kamu tuh jadi tanggung jawab aku Yas. Sama kayak Anki dan Yasya. Ya amit-amit ya terjadi lagi, tapi kalau sampai iya, aku bakal jadi orang yang merasa bersalah banget biarin kamu tinggal sendiri. So please! Jadi adik yang kooperatif ya. Kamu tau siapa orang yang pertama kali harus kamu hubungin kalau terjadi sesuatu." Ujar Sapta tegas dan panjang. Nasehatnya memang selalu panjang ngalah-ngalahin rel kereta. "Udah mas, Iyas juga gak apa-apa sekarang." "Iya... iya masku yang paling perhatian yang paling peduli yang paling sayang sama adiknya. Siap laksanakan!" "Bagus. Yaudah sana boleh pulang." Ujung-ujungnya ngusir. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD