Bab 16. Kiriman

1412 Words
Pada akhirnya, kita semua punya struggle-nya masing-masing, "Sejak?" "Hari ulang tahun Win ke-27. Ingat?" Jelas aku mengingat hari itu. Hari dimana aku berinisiatif memberi kejutan ulangtahun untuk mas Win tapi berujung dia marah padaku dan mengucapkan kata-kata dengan nada tinggi. Membuatku sakit hati. Mas Win marah karena gak suka dengan kejutan semacam itu. Baginya, itu terlalu berlebihan. Sedangkan bagiku, kejutan ulanbtahun seperti itu adalah hal yang membahagiakan karena aku tahu, itu artinya masih ada yang peduli dan sayang denganku. Dan hari itu juga hari dimana aku diantar pulang oleh Bhaga untuk pertama kalinya -karena perintah mama- aku menaiki motor custom-nya. Menangis di sepanjang jalan pulang dan menjadi malam yang menyedihkan, tapi gak mengurungkan niatku untuk memberi Bhaga Cassette player sebagai rasa terimakasih atas bantuannya seharian. Jujur, aku masih bingung dengan pengakuan Bhaga ini. Aku bahkan gak pernah sekalipun kepikiran sejauh itu. "Ingat, tentu aku ingat. Tapi... Momen yang mana?" Tanyaku, karena seingatku, seharian itu, aku selalu sama dia mempersiapkan mulai dari mencari kado, kue dan mengatur skenario. Pasti ada satu momen yang memantik perasaan itu muncul. Bhaga mengerjapkan matanya, menatapku lebih dalam dan duduknya udah sepenuhnya mneghadapku. "Pas kamu ingat ulangtahunku dan terang-terangan berencana kasih surprise." Keningku berkerut dan mulutku terbuka lebar otomatis, mendengar jawaban Bhaga dan terheran. Hanya karena aku mengingat tanggal lahirnya, terus bisa bikin dia suka sama aku? Bagian mana yang spesial ketika seseorang mengingat ulangtahun teman atau saudaranya, yang tentu saat itu dia udah aku anggap sebagai saudara sendiri. Bukankah mengingat tanggal-tanggal penting adalah hal yang biasa dan wajar? Aku membuang muka, meihat apapun di sekitar ruang tengah demi memalingkan tatapan itu. Bhaga terlalu serius. Kupikir, pertemanan yang baru kemarin kita sepakati terialin ya karena kita sebaya, suka membaca dan nyambung ngobrolnya. Tipe pertemanan pada umumnya. Bodohnya aku, menghiraukan banyak fakta tentang gak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan sedekat ini. Saling memuji, membelikan buku, memberikan makanan serta membantu dengan tulus dan perhatian lainnya, kalau bukan salah satunya punya rasa. Astaga, bodohnya aku baru sadar sekarang. Like... Laki-laki yang memendam rasa untuk mantan kakak ipar? Itu gak lucu! Tapi di sisi lain, aku bisa apa? aku cuma manusia biasa yang gak punya power buat mengontrol perasaan oranglain terhadapku. Aku menantang matanya, "Tolong jelasin. Aku masih gak ngerti kenapa kamu bisa memendam perasaan selama itu." Tatapan Bhaga meredup, kedua bahunya terangkat ke atas. "Aku gak tahu. Aku udah berusaha lupain kamu dan menghapus perasaan itu setelah kamu menikah dengan Win. Tapi nyatanya gak bisa. Apalagi, setelah itu kamu lebih sering menginap di rumah mama dan intensitas kita ketemu lebih banyak. Dari situ, aku jadi tahu kebiasaan kamu, hobi kamu, cara kamu memperlakukan orang dan lain-lain. Perasaan itu justru terus tumbuh. Sampai akhirnya, Marsya datang dan aku mencoba membuka hati untuknya. Tapi, you know... Aku berusaha keras Iyas." Bhaga menggelengkan kepalanya. Hening. "Well, Ga... sebelumnya makasih. Makasih udah mau mengngkapkan itu ke aku. Aku tahu perasaan itu menyiksamu selama ini. Tapi... apa yang mau kamu harapkan setelah pengakuan ini?" aku mendesah lelah. "Maksudku, kamu tahu kan, sebelum ini hubungan kita gimana?" "Aku paham. Pengakuan ini mungkin gak akan merubah apapun antara aku dan kamu sekarang. Aku cuma mau ngungkapin aja dan aku lega. Terbalas atau enggak, biar waktu aja yang menjawab." Aku menahan nafas, sungguh gak bisa berkata apa-apa sekarang. Lidahku kelu, gak ada kata-kata apapun yang terlintas dikepalaku untuk aku katakan. Badanku sekalipun sama sekali gak bereaksi dan masih terduduk kaku dengan satu kaki tertekuk diatas sofa. "Jangan terlalu dipikir. Kamu istirahat. Udah malam, aku pamit pulang dulu." tambahnya sambil menepuk punggung tanganku dan kurasakan jempolnya mengelus lembut dua kali. "Jangan lupa kunci pintu." Lalu dia beringsut dari sofa dan menghilang dibalik pintu. Sementara aku, hanya bengong dengan tubuh kaku seperti patung. Semua seolah terjadi sangat cepat dan aku gak sempat mencerna satu per satu perkataan dan tindakan Bhaga baru aja. *** Semalaman overthinking karena mencerna pengakuan Bhaga yang mengejutkan itu, membuat kepalaku cenat-cenut pagi ini. 'Biar waktu yang menjawab' kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. Lebih baik aku membuat teh tawar dan menikmatinya di sofa sambil membaca buku yang belum selesai k****a sejak berhari-hari lalu. Konon, minum teh tawar bisa meredakan sakit kepala. Barangkali ini bisa menyelamatkanku, karena hari ini akan sangat sibuk, orderan Flora sama banyaknya dengan kemarin. Pelan-pelan ku seruput teh itu dan hangatnya menjalar di d**a dan perut. Limabelas menit, lumayan dapat tujuh halaman membaca dan menghabiskan tehnya. Aku lanjut beberes rumah. Menyapu dari sudut ke sudut, membenahi barang yang seharusnya gak ada di tempat itu, mencuci baju, menyedot debu dan yang lain. Namun sejak tadi sepertinya ada yang salah dengan hidungku. Apapun yang aku cium, baunya sama, dimanapun juga. Seperti parfum tapi aku gak pernah punya parfum dengan aroma semaskulin ini. Dan seingatku ini adalah parfum Bhaga. Ternyata masih menempel baunya di sofa, karena kemarin dia sempat tidur di sini. Di handuk dekat wastafel kamar mandi tamu, di kursi ruang makan dan di pegangan kulkas juga. Aku gak tahu apakah tanganya dia beri parfum juga sampai-sampai apapun yang dia pegang akan bau wangi. Aku rasa dia pakainya bukan di semprot tapi di tuangin gitu aja makanya semua bagian tubuhnya sewangi itu. Oh yaampun... Ngapain aku mikirin Bhaga lagi pagi ini. Lebih baik aku mandi aja dan segera membuka toko. Tapi sayang, di kamar kenapa juga masih bau parfum itu? Aku mencari-cari sumbernya. Bhaga jelas gak mungkin masuk kamarku dan dia gak ada keperluan apapun untuk masuk sini. Jadi dari mana sumber baunya? Aku membuka selimut dan bantal. Melongok di kolong ranjang, bahkan mengelilingi kamar dengan tatapan detail mencari dan hidung mengendus-endus bagai anjing pelacak. Nah, ketemu. Ku angkat buku yang Bhaga pinjamkan kemarin lalu ku cium lagi baunya. Bener kan? dibuku ini juga bau parfum Bhaga. Oh my God. Kenapa rumah ini jadi bau Bhaga semua? Apa aku harus tanya juga ke dia merk parfumnya apa, supaya aku bisa beli dan menggantikan bau ini? Reflek, aku semprotkan parfum milikku ke sudut-sudut ruangan terutama pada benda-benda yang kemarin terjamah oleh Bhaga. Gak bisa kayak gini. Ini rumahku tapi baunya bukan mencerminkan aku banget. Kalau Sapta datang tiba-tiba, pasti dia mencurigaiku macam-macam. Bisa diinterogasi 1x24 jam. Ah... aku benci memikirkan hal itu. Ting!!! Aku menajamkan telinga mendengat suara bel pintu. Siapa itu? Tunggu, akhir-akhir ini yang bertamu ke rumah ini cuma dua orang. Ada dua kemungkinan, Kalau gak Bhaga ya Sapta atau Anki. Jadi kalau orang di luar itu Sapta, artinya aku harus buru-buru menyemprot parfum ini sampai gak ada sisa bau parfum Bhaga. Kalau itu Bhaga? Aduh! aku musti bersikap gimana setelah pernyataan perasaannya kemarin. Aku panik! Tinggg!! Bel itu terus berbunyi dan menunggu dibukakan pintu. Sedangkan aku bergerak kesana-kemari menyemprotkan parfum sana-sini sekaligus menenangkan diri. Sapta dan Bhaga punya presentase kemungkinan yang sama untuk ada di balik pintu itu. Kenapa aku bisa manganalisis dan menyimpulkan begini, karena beberapa hari lalu Bhaga datang juga di jam-jam segini. Sedangkan Sapta, kalau datang memang selalu pagi sebelum berangkat dinas. Sapta sangat sibuk dan biasanya hanya punya waktu pagi hari untuk sekedar mampir atau mengantar Anqi dan Yasya. Dan saat aku buka, tidak ada Sapta maupun Bhaga, yang ada hanya kurir yang masih mengenakan helm dan membawa satu paperbag warna coklat di tangan kanannya. "Permisi, dengan mbak Englias, benar?" Tanya pak kurir sembari membaca sesuatu di ponselnya, memastikan. "Iya betul pak." Jawabku. "Ini ada kiriman mbak." Ujar kurir itu sambil menyerahkan paperbag-nya padaku. "Izin foto ya mbak." Aku menerimanya, "Dari siapa pak?" Tanyaku tapi gak dapat jawaban langsung karena Pak kurir itu mundur dua langkah demi mendapatkan angle foto yang pas. Aku tersenyum kaku karena bingung mau berpose seperti apa. Wajah berminyak, belum mandi dan berpakaian serampangan serta bulir-bulir keringat di dahi adalah gambaran diriku saat ini. Sumpah, kenapa sih kurir selalu datang di saat manusia sedang kucel-kucelnya? "Gak tahu mbak, kan di sini udah di set nama dan alamat mbaknya. Kalau gitu saya permisi mbak." Jelas kurir itu dan pamit. Setelah kurir itu pergi, aku masih berdiri di depan pintu dan mengintip isi di dalam paperbag berlogokan sebuah restauran. Ternyata Wasabi salmon salad dan satu botol smoothie serta sebuah kertas kecil dengan bunga baby breath kering yang ditempel pakai wax seal. Bertuliskan : Have a nice day B Surat kecil yang manis dengan dekorasi vintage ini aja udah bisa bikin aku tiba-tiba senyum. Gak tahu kenapa. Di tambah isinya yang... apaan sih B ini pasti Bhaga kan? Aku tertawa sumbang melihat ini semua. Aku gak mau mengakui kalau dia bisa-bisanya melakukan hal ini. Ini jelas bukan Bhaga banget. Tapi... Astaga kok aku senyum lagi. "Ngapain senyum-senyum!!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD