Bab 17. Kangen

1067 Words
"Ngapain senyum-senyum!!" Aku terlonjak kaget dan melompat dikakiku. Lengkungan di bibirku lenyap begitu aja tatkala melihat Sapta dengan pakaian dinasnya, berdiri sekitar satu meter di depanku. Mampus! Dengan gelagapan dan gerakan seribu, aku memasukkan lagi surat itu ke dalam paperbag dan ku ayunkan di belakang punggungku. "Ngagetin aja sih, Sap! Ngapain ke sini?" "Malah balik tanya. Ini kan rumah orangtua aku. Bebas lah. Itu apaan?" "Apasih, cuma kiriman dari pak kurir barusan." Sapta mendekatiku dan melongokkan kepalanya ke belakang punggungku. Dia pasti penasaran dan pasti gak akan lolos kalau udah di radarnya begini. Memang menyebalkan sekali punya kakak yang suka kepo maksimal begini. "Mobilmu mana? kok gak ada?" Tanyaku mengalihkan topik. "Tuh, di jalan." Sapta menoleh ke belakang seolah menunjukkan kemana mobilnya di parkir dengan pandangan matanya, "Nih dari Anki. Kemarin beli kebanyakan." Dia pun menyerahkan satu kantong plastik yang aku terima dengan tangan kanan. Isinya buah-buahan. "Tahu aja aku gak sempet belanja." "Flora rame?" Sapta berjalan dan duduk di kursi teras, akupun langsung menyerongkan badan. "Lumayan... Aku kemarin ngerjain orderan sampai malam sama Jeje. Pak Minto gak masuk pula, untung dibantu Bhag..." Mulutku menganga dan berhenti berkata saat kusadari aku hampir aja keceplosan. "Ba apa? Siapa? Bagong?" Tanyanya nyolot. "Bagus, iya Bagus. Sopir jasa angkut pick up. Kemarin minta tolong dia. Ya, meski bayar sewanya dihitung per hari dan agak mahal sih." Kilahku, sebab aku gak tahu lagi mau alasan apa. Tatapan Sapta sama sekali gak santai. Kayaknya dia sedikit gak percaya. Matanya menyipit dan terus mengikuti pergerakanku sekecil apapun. "Ngapain sih liatin begitu?" "Enggak, aku dari tadi nyium sesuatu." Aduh! Apa Sapta mencium bau parfum maskulin itu? Gawat kalau iya. Kecurigaannya pasti bertambah dan bentar lagi bakalan jadi detektif dadakan. Aku yakin. "Nyium apaan?! Udah sana berangkat. Kamu cuma dikasih mandat kirim buah doang kan? Nanti telat loh." "Tunggu! Kayaknya baunya dari itu deh paperbagmu. Apa itu? Makanan? Bagi lah sini." Tangan Bhaga otomatis mengatung semakin maju dan maju mencoba meraih paperbag itu. Aku memutar-mutar tubuhku menghindari tangannya. "Ini jatah sarapanku! Lagian kamu udah dimasakin sama istri masih kurang?" "Anki tadi gak masak, repot ngurusin Yasya yang habis numpahin bedak di kasur. Udah sini, ntar kamu beli lagi!" Minta tapi maksa. "Enteng banget ngomongnya. Gak mau!" "Atau sebenernya itu dari seseorang, sampai aku gak boleh minta? Diam-diam kamu punya pacar ya? Dari siapa sih itu?" Tuduh Sapta dengan mata melototnya. Benar kan? Jiwa wartawannya keluar. Sepertinya drama kakak dan adik ini akan terus berlanjut seharian kalau aku gak ngasih apa yang dia mau. Sungguh kakak laknat, tapi sayang. Aku mencebikkan bibirku, "Apasih, gak ada! Yaudah nih makan." Akhirnya aku menyerah dari pada Sapta gak kunjung pergi dan terus menuduhku dengan omelan pedesnya itu. Aku mengeluarkan salad itu dan kuberikan ke Sapta. "Nah gitu dong. Enak nih kayaknya. Dari restoran ternama pula. Kaya juga kamu, belinya beginian." Ujarnya tanpa dosa sambil membuka saladnya dan meniknati dengan penuh senyum. Aku hanya bisa menarik bibirku sebelah dan geleng-geleng kepala melihatnya. Nurun dari siapa sih sifat menyebalkannya ini. Perasaan almarhum bapak dan ibu orangnya kalem, lembut, gak aneh-aneh. Kok anak pertamanya kayak begini? Astaga... Tapi aku sayang, sayang banget sama dia. Sapta satu-satunya keluarga yang aku punya sekarang, ya sekarang udah tambah Anki dan Yasya juga. Akhirnya, kuikhlaskan Wasabi salmon salad -yang terlihat menggiurkan- itu, dihabiskan oleh Sapta sekaligus dengan Smoothies-nya. *** "Terimakasih, hati-hati di jalan." Customer terakhir udah mengambil pesanan buketnya. Udah hampir pukul sembilan malam. Aku mulai membereskan meja kasir lalu menata ulang bunga-bunga yang berantakan, memotong batangnya dan mengganti air supaya besok masih tetap segar. Sementara Jeje merapikan kembali peralatan-peralatan yang seharian digunakan. Meski udah lelah, rasanya menyenangkan hati orang dengan bunga-bunga yang kita rangkai, adalah kebahagiaan tersendiri. Aku mulai menghitung orderan dan pendapatan hari ini. Ini tanggal biasanya aku membagi hasil dengan Jeje. Walaupun itungannya Jeje bekerja di sini, tapi gaji yang seharusnya dia dapat aku tambahkan meski gak seberapa. Jeje udah banyak bantu aku selama ini. Mungkin dari awal Flora buka, dia yang banyak ngasih masukan ini dan itu sampai berkembang seperti sekarang. Jeje udah kayak saudara sendiri bagi aku. "Je, makasih ya untuk kerja keras kita beberapa hari ini. Ini buat kamu." Ujarku sambil memberinya amplop putih berisi uang. "Kembali kasih, Yas, Udah kayak sama siapa aja. santai lah saling bantu. Oh ya aku balik duluan ya, Pidi gak sabar tuh pengen di traktir." Katanya sambil menunjuk Pidi, pacarnya yang udah duduk manis di jok motor depan toko. "Aaaa... kalian bikin iri aja sih." Jeje terkekeh, "Makanya nyari Yas. Biar gak kesepian. Udah ya, Bye!" Jeje pun berlalu di bonceng Pidi dengan motornya. Mereka ini hampir tiap hari ketemu, entah Pidi mengantar atau menjemput Jeje. Gak pernah juga aku lihat mereka berantem. Pernah suatu hari aku tanya, apa gak bosen tiap hari ketemu? Lalu Jeje menjawab, 'kalau bosen udah pisah dari lama kali Yas. Toko udah beres dan aku menguncinya dari luar. Saatnya istirahat dan bersantai. Setelah mandi air hangat, aku membaringkan tubuhku di kasur. Merentangkan kedua kaki dan tangan selebar-lebarnya. Rasanya enak sekali, Tulang-tulangku bergemeletuk kembali ke posisi yang nyaman. Mataku menatap langit-langit mengingat hari ini, aku merasa bahagia. Lalu aku runut kembali hal-hal yang membuatku bahagia hari ini. Buah-buahan pemberian Anki lumayan membuatku happy karena aku belum sempat belanja, customer-customer yang baik dan loyal, pendapatan yang didapatkan Flora juga lumayan meningkat dari biasanya. Oh ya, sarapan pemberian Bhaga tadi pagi juga gak dipungkiri membuat aku tersenyum, meski agak aneh. Lagipula aku gak menyicipi sedikitpun makannya karena diembat Sapta. Harusnya aku berterimakasih setelahnya, tapi aku kan gak punya kontaknya dia. Baru sadar selama ini kita kalau ketemu gak pernah janjian dulu lewat chat, atau saling mengabari satu sama lain. Semuanya kayak dilakukan dengan kesadaran dan senatural itu aja. Apa karena kita udah sama-sama dewasa? -Mengingat umurku dan Bhaga sama- Hal kayak gini gak jadi masalah rumit. Mulai dari kedatangan Bhaga yang gak terduga, mempersilakan dia masuk rumah, membuatkannya makan, serta ngobrol ini itu yang sialnya nyambung. Aku yakin bahwa sebenarnya aku gak sebenci itu sama dia. Dan sekarang... Kenapa aku jadi merasa Bhaga dekat sekali denganku? Rasanya dadaku penuh mengingat bau parfum Bhaga dan kehadirannya selama beberapa hari ini. Aku lalu meraih buku yang Bhaga pinjamkan kemarin di atas nakas. Reflek, aku menciumnya. Benar-benar bau parfumnya masih terasa. Aku buka halaman pertamanya dan mulai fokus membaca. Sayangnya setelah beberapa menit, konsentrasiku gak kunjung terbentuk. Malah yang ada di kepalaku hanya lelaki yang meminjamkan buku ini. Apa aku merasa kangen dengan Bhaga? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD