Bab 15. Ulang tahun ke-27

1416 Words
Flashback Sejak kecil, aku selalu diajarkan untuk jangan membuang barang-barang yang sekiranya masih bisa dipakai. Ibu sering berkata jika aku mau beli barang baru, barang lama harus di berikan ke saudara atau seenggaknya di sumbangkan. Jadi aku gak pernah punya koleksi barang apapun. Suatu hari, aku ingin membeli buku-buku baru. Jadi aku harus menyumbangkan buku lamaku dan kebetulan di dekat rumah ada acara Carity 'Berbagi Senyum Sesama'. Di situlah, aku bertemu pertama kali dengan mas Win. Dia salah satu inisiator acara itu. Penampilannya seperti pemuda laki-laki pada umumnya, celana jeans, sneakers, dan kaos hitam. Yang membuat dia menjadi mencolok adalah cara dia mengkoordinir panitianya dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelancaran acara itu. Aku yang waktu itu datang sendiri, sambil menunggu giliran mengisi form untuk donatur, tatapanku tak lepas dari lelaki yang aktif kesana-kemari itu. Dari kejauhan, kulihat dia dengan gesit menghampiri satu per satu panitia. Tangannya bergerak-gerak sambil menjelaskan sesuatu. Keringatnya menetes dari saping jidadnya, turun ke depan telinganya. Sesekali lelaki itu mengusap keringat seadanya dengan telapak tangan. Aku belum pernah tertarik pada lelaki yang baru kutemui, bahkan belum ku kenal dan gak tahu namanya pula, sebelumnya. Tapi kali ini ada perasaan yang menjalar aneh di dadaku saat melihat mas Win pertama kali melintas di depanku dengan senyum tipis yang terngiang-ngiang di ingatanku. Rasa deg-degan itu akhirnya aku rasakan. Lelaki itu terlihat sangat berkarisma dan passionate sekali di pekerjaannya. Tipe-tipe lelaki yang serius tapi pekerja keras dan peduli. Entah ada angin apa, tiba-tiba aku menyeletuk ringan kalau aku menginginkan pasangan seperti lelaki itu suatu hari nanti. Singkat cerita, aku udah selesai mengisi form dan menyerahkan buku-buku itu pada panitia di stand donasi. Aku gak pernah berharap apa-apa pada sesuatu yang sekiranya gak bisa aku dapatkan atau aku wujudkan. Aku juga selalu mudah melupakan apa aja yang baru aku khayalkan. Tapi kayaknya alam sedang menangkap celetukan dan keinginan kecilku itu. Hingga aku bertabrakan dengan lelaki itu. Kita kenalan, namanga Winengku, dia ramah dan sopan. Lalu kita saling tukar nomor telepon dan beberapa minggu jalan bareng lalu jadian. Lima tahun pacaran dengan mas Win, membersamainya bertumbuh, melihatnya lulus S2, menemaninya merintis usahanya dan pencapaian-pencapaian lainnya cukup membuat ku dan dia yakin untuk segera menuju ke jenjang yang lebih serius. Aku merasa selama ini mas Win udah banyak mengusahakan kebahagiaanku, di hari ulangtahunnya yang ke-27, dua hari sebelum acara lamaran digelar, aku berinisiatif memberinya kejutan yang gak biasa. Jadi, aku minta tolong ke adik dan sepupu-sepupu mas Win yang udah aku kenal akrab karena mas Win sering membawaku ke rumahnya, untuk membantu menyukseskan surprise ini. Bhaga, adik kandung mas Win yang orangnya lempeng-lempeng dan diam-diam aja, berhasil aku tarik dan bujuk untuk mengikuti skenario ini. Aku banyak meminta tolong padanya untuk menemani mencari kado, menyusun rencana dan mengeksekusinya. Mas Win baru aja mengirim pesan kalau mau ke rumah temannya mengambil flashdisk dan baru akan pulang. Sedangkan aku bilang kalau aku sedang lembur di kantor. Gak ada kecurigaan sama sekali. Para sepupu udah menyeting ruang tengah sedemikian rupa, aku dan Bhaga bersiap di halaman belakang untuk menyiapkan kue dan lilin. Mas Win biasanya akan memarkirkan mobilnya dan masuk lewat ruang depan. Nanti para sepupu dan kedua orangtuanya akan mematikan lampu dan memberikan surprise dengan segala peralatan tempur masing-masing. Sementara aku dan Bhaga baru akan muncul, setelah mas Win mendapat semburan party poper. "Oke, udah siap." Ujarku merapikan kue yang agak berantakan karena terkena kardus dan menancapkan lilin. "Kira-kira mas Win udah mau nyampe belum ya, Ga?" "Sepuluh menit yang lalu bilangnya otw pulang." Aku mengangguk. "Apa harus seperti ini kasih kejutan ke Win?" Tanya Bhaga tiba-tiba. Alisku terangkat, "Maksudnya?" "Dia udah dewasa, dan dari kecil juga gak pernah dikasih surprise begini. Ini agak berlebihan." cibirnya. "I know. Mas Win pernah cerita kok, kalau seumur hidupnya gak pernah merayakan ulangtahun. Dan aku orang yang gak pernah melewatkan momen ulangtahunku. Makanya, aku ingin melakukan ini supaya setidaknya sekali dalam hidupnya, dia pernah merasakan disurprise-in. Demi melihat seulas senyuman orang yang kita sayang, boleh kan?" jelasku menatap Bhaga dengan satu senyuman. Sebenarnya Bhaga juga kasihan sih, sama seperti kakaknya yang gak pernah merasakan disurprise-in begini dan Ulangtahun Bhaga masih lama. "Ga, tujuh bulan lagi, aku surprise-in begini ya. 1 September kan?" ucapku sambil menepuk-nepuk bahunya. Bhaga hanya menoleh agak kaget lalu sedektik kemudian berubah menjadi tatapan meremehkan, "Mana ada surprise yang di kasih tahu di awal?" Aku tertawa. "Iya juga..." Lalu suara deru mobil memasuki halaman rumah mas Win. Aku segera mengangkat kue itu agak terburu dan menyuruh Bhaga menyalakan lilinnya. Sebelum keluar, aku dan Bhaga mengintip dulu di balik tembok yang tertutup tanaman Anthurium punya mama. Suara kasak-kusuk di ruang tengah udah mulai terdengar, lalu sedetik kemudian, riuhnya pun pecah. Suara terompet, teriakan, nyanyian selamat ulangtahun pun jadi satu. Saat itu pula aku dengan antusiasnya segera menuju ke kemeriahan itu. Aku udah gak sabar dan menginteruksikan Bhaga yang ada di belakangku pun untuk siap-siap keluar. Happy brthday to you Happy brthday to you ... Aku menghampiri mas Win dan mempersembahkan kue dengan lilin angka 27 yang sudah hampir meleleh separuhnya. Menyuruhnya untuk segera meniup sebelum leleh sepenuhnya dan menutupi bentuk kue. Setelah tertiup, semua bertepuk tangan dengan meriah. Sayangnya, wajah mas Win seperti biasa aja. Gak menyiratkan sebuah kebahagiaan seperti orang-orang pada umumnya waktu diberi kejutan. Mas Win tertawa sumbang sambil membersihkan serpihan-serpihan kertas di rambutnya. "Kalian gak ada kerjaan apa?" Katanya melihat satu per satu orang-orang yang ada di situ. Semua orang pun terdiam mendengar perkataan mas Win. Wajah mereka agak kecewa karena kejutan itu gak berhasil. Dan aku sebagai pencetus ide semua ini, hatiku rasanya seperti tercubit. Aku pikir mas Win akan senang dengan semua ini. Nyatanya.... "Yang, aku emang gak pernah dikasih kejutan ulangtahun. Tapi bukan berarti aku juga suka beginian. Berlebihan tahu gak!?" Kesal mas Win saat udah berhasil bawa aku ke taman belakang. Lalu, Mas Win meninggalkan aku sendirian dan masuk ke kamarnya. Di remangnya cahaya lampu taman dan perasaan yang udah campur aduk begini. Aku gak nyangka aja, kalau usahaku untuk menyenangkan hati mas Win malah berujung membuatnya marah. Semua orang juga kecewa dan menyayangkan sikap mas Win yang seolah-olah gak bereyukur punya keluarga yang peduli dan ingat dengan ulangtahunnya. Air mataku menetes, apalagi mendengar mas Win bicara dengan nada yang tinggi itu. Dia gak pernah begitu selama ini. Marahnya selalu terkontrol di depanku. Tapi kali ini? "Aku udah bilang kan tadi?" Sebuah suara terdengar di balik punggungku dan membuatku menoleh. Aku gak tahu sejak kapan Bhaga ada di sana, tiduran di Gazebo. Tubuhnya terbangun dan berjalan menuju arahku. Dia menatapku dengan tatapan kasihan dan iba. Ya, aku emang pantas dapat tatapan itu. Malam itu, aku diantar Bhaga pulang karena mas Win sama sekali gak keluar dari kamarnya. Aku pikir mungkin dia capek karena seharian bekerja dan memikirkan acara lamaran lusa. Jadi, mama menyuruh Bhaga yang mengantarku pulang. "Kenapa sih mas Win harus bersikap begitu?" Ujarku kesal diatas motor Bhaga menuju jalan pulang. Bhaga tak bergeming dan fokus mengendarai. Daritadi, aku emang ngomong sendiri, ngomel dan meluapkan kekesalanku pada mas Win. "Mas Win gak pernah bentak aku begitu, rasanya sakiiiiiit banget, Ga. Kamu ngerti kan perasaanku?" Tanyaku padanya yang hanya dibalas deheman singkat. Dadaku mulai sesak gak karuan. Tapi gak lucu kalau aku nangis di jalan begini. Saat itu juga, Bhaga membelokkan motornya melewati jalan yang agak sepi tapi tetap jalur menuju rumahku dan memelankan motornya. Tangan kiri Bhaga menepuk-nepuk pahaku pelan, "Kamu boleh nangis sepuasnya." Ujarnya. Dan di jalan yang sepi itu, dengan kecepatan motor Bhaga yang rendah-sedang, aku menutup kaca helm dan menangis sekencangnya. Mengeluarkan segala emosi dan rasa sakit yang menekan d**a sejak tadi. Udara malam yang membelai, kurasakan pelan-pelan menerbangkan rasa sakit itu dan sedikit demi sedikit perasaanku menjadi lebih lega. Sampai gak terasa motor Bhaga udah berhenti di depan rumah. "Makasih Ga. Tolong bilangin ke para sepupu, aku minta maaf karena ngajakin mereka dan berujung mengecewakan begini. Oh ya dan ini," jedaku sambil merogoh tasku mengambil sesuatu. "Buat kamu, karena udah bantuin aku muter-muter cari kado, bantuin menyusun rencana surprise, yang sayangnya gagal." Kataku sambil menurunkan sudut bibirku dengan mimik sedih, karena ini kejadian yang miris banget. Aku memberikan satu kotak kecil berisi cassette player yang aku beli di Festival kesenian, beberapa waktu lalu. Barang ini sangat cocok dengan persona Bhaga yang pendiam dan sok misterius tapi baik, Selain juga aku pernah lihat dia bawa kasetnya Oasis, jadi aku berikan aja padanya. "Memang bukan barang baru, tapi... Semoga kamu suka ya, calon adik iparku." Aku tersenyum lebar dan meninju bahunya tanpa tenaga. Bhaga mengangguk santai tanpa ekspresi dan menerimanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD