Bab 14. Pengakuan

1036 Words
"Apa dia... Fortune?" Bhaga sempat heran dengan memiringkan kepalanya, mungkin dia bertanya kenapa aku bisa menyimpulkan kalau perempuan itu adalah Fortune. Tapi ingatanku tentang pacar Bhaga ya hanya si Fortune itu. Perempuan misterius yang gak pernah Bhaga tampilkan wajahnya di hadapan keluarga dan saudara. Bhaga hanya sering menyebut perempuan itu Fortune. Dulu aku berpikir, entah keberuntungan apa yang Bhaga dapatkan setelah mengenal perempuan itu sehingga dia menyebutnya 'Fortune'. Yang kini ku tahu namana Marsya. Dan sekarang juga aku mengerti, Bhaga jelas sangat beruntung memiliki perempuan secantik Marsya. Dia terlihat lembut dan berkarakter baik. Anggun dan berpendidikan. Oh dan tadi Bhaga bilang, hampir menikahinya? Berarti mereka udah seserius itu. Tapi apa yang menyebakan... Ah sudahlah... meski banyak pertanyaan dikepalaku, gak perlu juga aku mengulik terlalu dalam tentang kehidupan pribadinya. Bhaga sendiri juga sangat tertutup tentang hubungan percintaannya kan sejak dulu? Itu cukup jadi batasan untuk aku gak tanya lebih jauh. Dari ekspresi Bhaga dan gerak-geriknya pun, aku tahu kalau dia gak mau topik ini terus berlanjut. Maka aku mulai membereskan meja, menumpuk piring kotor untuk ku cuci. "Kalau mau minum kopi or something, ambil aja di kulkas." Ujarku mengalihkan pembicaraan seraya berjalan ke wastafel dan mencuci piring. Nggak mau suasananya semakin aneh lagi. Aku mulai menuang sabun ke spon saat di belakangku, tendengar langkah kaki Bhaga beranjak dari kursi dan membuka kulkas. Bhaga seperti mengambil minuman kaleng dari suara dia membukanya. Meski aku mengurangi kopi dan soda, kulkas memang selaku ku penuhi dengan minuman bervariasi. Berjaga-jaga kalau Anki dan Sapta datang atau Jeje. "Iya, dia Fortune." Suara bassnya yang lirih menggelitik telingaku untuk menoleh. Bhaga sudah berdiri di sampingku dengan posisi tubuh terbalikan denganku. Dia bersandar di pinggiran kitchen set. Jujur, aku agak takjub. Mataku gak berkedip saat melihat posisi Bhaga berdiri agak membungkuk karena bersandar sambil menyeruput sodanya. Tangan kirinya menyugar rambutnya dan membuat lebih berantakan dengan bagian belakang agak mengembang. Bhaga seperti siluet di tengah dapur dengan lampu orange yang gak terang banget. Untuk pemandangan langka ini, aku tersenyum. Sekilas Bhaga jadi mirip aktor korea yang dramanya baru selesai ku tonton. Lalu pandanganku beralih ke piring lagi. "Pantes ya kamu nyebut dia Fortune. Pasti kamu seberuntung itu punya dia dulu." Bhaga terkekeh, "Iya." Dia menoleh ke arahku. "Awalnya." Lanjutnya. Lelaki mana yang merasa tidak beruntung memiliki wanita seperti Marsya? Aku rasa dia nyaris sempurna. Jujur aku gak puas dengan jawaban Bhaga. Aku melipat bibirku, bimbang mau bertanya maksud Bhaga, di sisi lain aku nggak mau tahu terlalu jauh. Tapi penasaran. "Aku bertemu dia di momen yang tepat. Saat aku lagi berusaha melupakan seseorang. Kita bertemu di cafe, dan aku tertarik. Kita lalu pacaran. Aku sayang sama dia, kupikir dia juga begitu. Jadi aku berani mengajak dia ke jenjang yang lebih serius. Tapi di satu hari sebelum lamaran itu terjadi, dia ngilang. Nomornya gak aktif dan rumahnya kosong. Dia cuma ninggalin surat kecil di dasboard mobilku. Isinya 'tolong tanya lagi ke dirimu. Apa kamu benar-benar mencintai aku?'" Bhaga mengambil nafas kasar disela ceritanya, yang aku yakin ini masih panjang dan aku masih mendengarnya dengan seksama. Tanganku masih aktif menyelesaikan cuci piring yang hanya beberapa ini. Lalu dia melanjutkan, "Aku marah, kenapa dia meragukan perasaanku padanya? Sementara kita pacaran udah lebih dari dua tahun. Aku melakukan apapun untuknya, selayaknya seorang lelaki pada wanita yang dicintainya. Dua minggu aku kelimpungan nyari dia kemana-mana. Tanya sana-sini. Dan di titik aku menyerah mencarinya itu, aku menyadari suatu hal. Bahwa selama ini yang aku cintai bukan Marsya, tapi sosok perempuan lain yang aku lihat ada di diri Marsya." Gerakanku terhenti, aku masih melihatnya, menunggu cerita kelanjutannya. "Marsya banyak sekali kemiripan dengan perempuan yang lagi berusaha aku lupakan waktu itu. Tutur katanya, kebiasaannya, cara dia berpakaian dan gaya rambutnya. Aku gak sadar, kalau sebenernya aku menyakiti Marsya selama ini. Ternyata dia hanya kujadikan sebagai manifestasi orang lain di mataku. Dan aku gak tahu dia maafin aku atau enggak sekarang. Kamu tahu perempuan yang gak bisa aku lupain itu?" Tanpa ku tanya, dia sudah menjelaskan semua padaku. Meski agak dipirit-pirit. Apa Bhaga sengaja ya mau bikin aku penasaran? Kalau memang iya, dia sukses membuat keningku berkerut semakin dalam sekarang. Aku juga mana tahu siapa perempuan yang dia maksud. "Siapa?" tanyaku sambil mengelap tangan dengan handuk dan mensejajari Bhaga berdiri. "Perempuan itu, kamu Iyas." Detik itu juga, tawaku pecah. Perutku sampai sakit hingga harus kupegangi dengan kedua tanganku. Apa ini puncak komedi? Bhaga sedang stand up comedy kan di rumahku yang sepi ini. Usahanya luar biasa sekali ya menghiburku. "Aku mau duduk, Ga. Gak kuat!" Ujarku di tengah tawaku yang masih kencang. Aku berjalan menuju sofa dan menghamburkan tubuhku di sana. Tawaku benar-benar nggak bisa berhenti. Malah semakin menjadi. Mataku juga keluar air mata saking kerasnya aku tertawa. Lalu ku rasakan, tubuh Bhaga juga terhempas di sofa sebelahku. Dengan susah payah aku membenahi dudukku dan mulai meredakan tawa ini. Pelan-pelan ku usap air mataku di sudut-sudut mata, lalu ku tegakkan tubuhku menghadap Bhaga yang sudah duduk kaku di sebelahku, tenang. "Are you kidding me?" Kini setelah aku bisa mengkondisikan tubuhku, aku bertanya masih dengan sisa tawa. Hening. Gak ada respon dari lelaki di sebelahku ini. Dia pasti bingung menghadapi sikapku ini. Lagian siapa yang mau percaya dengan pengakuan Bhaga? Aku yang disebut namanya aja gak percaya! Mana mungkin? Kita gak pernah punya kedekatan khusus. Kita memang sempat berteman sebelum aku manikah dengan kakaknya. Pertemanan biasa dan gak ada indikasi akan ke arah asmara karena kita berteman juga dengan banyak orang, termasuk dengan sepupunya juga yang seumuran. Setelah menjadi kakak iparnya pun, aku dan Bhaga jarang ketemu karena aku tinggal bersama mas Win dan dia masih tinggal di rumah orangtuanya. Ketemu paling hanya saat ada makan malam keluarga dan acara-acara besar lain. Itupun Bhaga lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya. "Apa aku terlihat lagi bercanda?" Tanyanya balik dengan wajah dan gestur serius. Dia menghadapku dan menatapku dalam dan aku cukup terdiam setelah beberapa detik, gak ada tanda-tanda dia berbohong dari matanya. Yang ada hanya tatapan teduhnya. Perasaan menggelitik yang aku rasakan baru aja, lenyap sudah, tanpa sisa. "Sejak?" Tanyaku tak kalah serius. Sejak kapan Bhaga mulai menumbuhkan perasaan itu padaku? Perasaan yang gak seharusnya dia pupuk hingga tumbuh subur sampai menyakiti perempuan lain. Sampai sini aku bingung, tapi... "Hari ulang tahun Win ke-27. Ingat?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD