Bab 13. Fortune

1258 Words
Hari ini adalah hari pertunangan Anki dan Sapta. Mereka memutuskan untuk membooking restauran untuk acara ini. Aku dan mas Win udah bersiap sejak satu jam yang lalu. Aku merapikan jas mas Win yang agak kusut padahal udah aku setrika sebelumnya. Mas Win juga gantian merapikan anak rambutku yang agak berantakan di samping kuping kiri. Aku tersenyum dengan sikap lembutnya ini. Rasa-rasanya, aku dan mas Win gak ingin pergi dan bersantai di rumah aja sambil mesra-mesraan. "Dari tadi aku pengen melakukan ini. Rambut kamu bagus." Puji mas Win setelah mencium puncak kepala kiriku. "Gimana kalau kita gak usah pergi? Atau telat aja?" Tanya mas Win dengan wajah merayu dan terus mengelus-elus bahuku. Tentu semua tahu apa maksud rayuannya ini. Kode-kode seperti ini udah qatam bagiku. Tapi jelas gak bisa. Mungkin kalau Sapta bukan kakak kandungnya dan Anki adalah sahabatku, aku pasti juga akan mengikuti mau mas Win untuk gak datang atau mungkin telat datang. Kami harus berangkat sekarang juga, karena acaranya akan dimulai pukul 8 malam tepat. Ini udah jam tujuh lebih sepuluh. Aku menggeleng tegas sambil tersenyum pada Mas Win untuk menanggapi rayuan tersembunyinya itu. Akhirnya, lelaki itu menurut juga meski dengan wajah yang agak kecut. Siang tadi, aku memang menyempatkan ke salon untuk potong rambut dan dibuat curly ujung-ujungnya. Ini hari spesial untuk dua orang penting dalam hidupku, makanya aku gak mau hanya berpenampilan sederhana seperti biasanya. Aku juga harus spesial. Dan siapa yang sangka, mas Win suka. Ya itung-itung juga buat menyenangkan suami. Sampai di restauran tempat acara, udah banyak tamu yang datang. Aku agak merasa bersalah sih sebenarnya. Harusnya aku bisa datang lebih awal sebagai keluarga inti Sapta. Tapi malah aku dan mas Win datang mepet. Ku percepat langkahku menuju tempat Sapta berdiri dan memeluknya. Raut mukanya sedikit tegang. Bagaimana enggak? Seumur hidupnya, dia baru kali ini pacaran, itupun dengan sahabatku sendiri dan sekarang dia mau melamar anak orang. Andai mendiang bapak dan ibu masih ada. Sayangnya di pernikahanku pun sama. Kesedihan yang lebih mendominasi adalah tidak adanya orangtua yang mendampingiku saat menikah. Aku yakin Sapta juga merasa begitu. Tapi dia jelas lebih kuat dari aku. Maka aku mengusap-usap lengannya, menenangkan. Dengan lirih berkata, "Everything will be okay." Mas Win yang pamit ke kamar mandi setelah bersalaman dengan Sapta, kini udah kembali dengan wajah bingung. Entah karena apa. "Kenapa mas?" Tanyaku. "Enggak, tadi aku kayak lihat kamu sama Bhaga." "Bhaga udah dateng?" Tanyaku lagi, "Aku daritadi di sini sih sama Sapta." "Iya, Iyas daritadi di sini, Win. Mungkin salah lihat." Celetuk Sapta. Mas Win hanya mengangguk-angguk. "Iya mungkin salah lihat, soalnya cuma kelihatan rambutnya aja sih. Modelnya sama kaya rambut kamu sekarang." "Nah itu Bhaga," seruku saat adik mas Win itu menghampiri kami. "Ga! Tadi aku pikir kamu sama Iyas. Dateng sama siapa tadi?" Tanya Mas Win menginterogasi. Bhaga sedikit bingung karena baru datang sudah ditanya-tanya. "Oh itu..." "Oh, jangan-jangan sama cewek yang suka kamu sebut Fortune itu?" Potong mas Win cepat. ** "Emang kamu gak capek bantuin di toko seharian? Gimana kalau aku masakin yang simple aja?" Aku menaikkan kedua alis, bertanya. Tahu apa ekspresi Bhaga? Matanya berbinar dan bibirnya menyunggingkan senyum lebar. Seperti anak kecil yang mau dikasih mainan kesukaannya. Aku jadi ikutan tersenyum lebar melihat ekspresinya itu. Sungguh lucu. Lalu ku persilakan dia masuk dan duduk di ruang tengah. "Aku mandi bentar ya Ga, gak apa-apa kan? Gak lama kok!" Teriakku karena aku buru-buru masuk ke kamar dan bersiap mandi karena badanku udah super lengket. Takut dia keburu lapar, perutku pun juga udah keroncongan. "Take your time, Iyas!" Seru Bhaga yang masih bisa kudengar dari dalam kamar mandi. Gak sampai limabelas menit. Aku udah selesai mandi dan menggunakan one-set motif abstrak. Saat ku hampiri Bhaga, ternyata dia tertidur di sofa dengan posisi duduk dan menyilangkan tangannya di d**a. Kepalanya menyandar agak mendongak di sandaran sofa. Kasihan juga sih, kayaknya dia capek banget. Jadi kubiarkan aja dia tidur. Sementara itu, aku menyiapkan bahan-bahan untuk masak. Kali ini aku mau bikin ayam pedas manis aja. Sebelumnya aku cuci beras dan menanaknya di rice cooker. Potong-potong ayam, bawang bombai, cabai lalu ditumis dan dikasih garam, gula, penyedap dan beberapa macam saos. Aku udah sering bikin menu ini kalau lagi malas bikin masakan yang bumbunya lebih kompleks. Gak butuh waktu lama, ayam pedas manis pun udah aku tiriskan di piring dan ditaburi daun bawang sedikit sedikit biji wijen untuk pemanis. Tinggal manggil Bhaga. Saat ku lihat, Bhaga masih belum bangun. Dia pulas banget tidurnya. Kayaknya beneran capek. Aku bener-bener jadi merasa bersalah. "Ga..." Panggilku sambil mengguncang pelan bahunya, meski agak gak tega banguninnya. Dia gak bangun juga. Apa tepukanku kurang kenceng? Apa suaraku yang kurang keras? Coba sekali lagi dan lebih kudekatkan ke telinganya supaya dia dengar "Bhaga..." Tangannya bereaksi. Lalu pelan-pelan matanya membuka. Aku sering melihat tanaman strawberry ku dari hari ke hari. Melihat proses tumbuhnya mulai berbunga, lalu kelopaknya satu per satu jatuh, dan menjadi buah kecil lalu pelan-pelan membesar dan semburat merah hingga merah sempurna. Sama menariknya kini aku melihat orang dihadapanku bangun dari tidurnya. Pelan-pelan menggerakkan kepalanya dan membuka matanya sedikit demi sedikit dan terbuka dengan sayu. Masalahnya, aku gak sadar kalau aku sekarang ada di posisi yang salah. Aku duduk di sampingnya dan kakiku naik satu di atas sofa. Wajahku sangat dekat dengan kuping Bhaga yang artinya sangat dekat juga dengan wajahnya. Bhaga menyoroti mataku yang entah sejak kapan. Tatapan itu juga yang membuat aku terpaku dan gak sadar menyelaminya. Sadar Yas! Kepalaku terus berteriak untuk sadar. Tapi anehnya sendi-sendiku kehilangan fungsinya untuk menggerakkan tubuh. Padahal jantungku berdetak normal, bahkan lama-lama makin kencang. Artinya aku gak lagi kena serangan struk atau semacamnya kan? Apa aku aja yang menganggap dan merasa momen melihat Bhaga bangun tidur, se-satisfying ini? "Maaf Yas, aku ketiduran. Aku cuci muka bentar." Ujar Bhaga dengan suara beratnya yang... Seksi? Oh kenapa aku jadi teringat tokoh lelaki favorit di novel yang baru kemarin selasai k*****a? Detik berikutnya, untungnya, Bhaga segera memecah keheningan dan otomatis juga menyadarkanku dari kekakuan ini. Dia pun beranjak dan menuju kamar mandi tamu. Lalu aku juga segera beranjak ke ruang makan. Kejadian tadi itu agak memalukan tapi, aku juga gak boleh membodoh-bodohi diri sendiri seperti biasanya. Aku harus lebih santai dan berusaha menganggap itu hanya kejadian yang gak bisa aku prediksi. Come on Iyas! "Tidurku lama banget ya? Kok gak bangunin daritadi sih, biar aku bantuin masaknya." Bhaga baru aja cuci muka dan wajahnya tampak lebih segar. Dia lalu duduk di depanku. Aku memberikan piring berisi nasi dan ayam pedas manis. "Ehmm gak sampai 20 menit kayaknya. Lagian pules banget. Aku jadi ngerasa bersalah mempekerjakan kamu seharian." Bhaga terkekeh, menerima piring itu lalu menyendokkan nasi dan lauk ke mulutnya seperti tidak sabar atau memang ini orang lapar banget. "Aku rela dipekerjakan tiap hari, kalau upahnya makanan seenak ini." Aku terbahak "Sejak kapan kamu bisa gombalan begitu?" Bhaga hanya tersenyum memperlihatkan giginya lalu kembali menyantap makannya. Aku pun pelan-pelan menghabiskan makanan milikku. Kami makan sambil diam. Gak sampai 10 menit, makanan Bhaga udah habis. Kayaknya emang dia tipe orang yang murahan kalau soal makanan. Sama persis kayak mas Win. Oh iya, dan aku baru ingat mau menanyakan sesuatu ke Bhaga. Mumpung udah selesai makan. "Ga, kamu kenal sama menantunya om Tony tadi ya?" Bhaga menaikkan kedua alisnya, lalu sedetik kemudian ekspresinya berubah datar. Aku menegakkan tubuh dan menunggu jawabannya dengan backsound denting jam yang berdetak. Karena tiba-tiba suasana ruang makan jadi sangat hening. "Dia... Wanita yang pernah kucintai dan hampir ku nikahi." Jawab Bhaga sama datarnya dengan ekspresinya. "Apa dia... Si Fortune itu?" Tanyaku agak ragu memastikan, karena secara random, ingatanku membawaku ke sana. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD