Bab 12. Kurir Multitasking

1582 Words
Flora kembali buka. Jeje masih sibuk menerima telepon orderan. Sedangkan aku masih melanjutkan merangkai buket-buket. Ada orderan buket yang lumayan besar yang harus di selesaikan hari ini juga. Seorang bos sebuah perusahaan ritel ingin menghadiahi istrinya buket 100 tangkai mawar merah. Buket itu harus dikirim sore ini juga untuk perayaan pernikahan ke 35 tahun sekaligus pernikahan anak pertamanya ke 2. Fokusku benar-benar gak bisa terbagi. Sampai dihampir selesai mengerjakan buketnya, aku baru menyadari sesuatu yang ganjil hari ini. "Astaga, Je aku lupa kalau pak Minto kan gak masuk hari ini!" Seruku panik pada Jeje. Jeje yang juga sibuk, menatapku dengan matanya yang melebar. Dia lalu menegakkan tubuhnya dan mulai panik. "Astaga, iya lagi. Terus gimana nih? Apa customer kita suruh ambil di toko aja?" "Jangan! Kita kan udah klaim pesanan bakal diantar untuk member VIP." "Iya sih, tapi kan pak Minto gak ada." "Perlu bantuan?" Ujar seseorang yang aku tahu banget siapa. Dengan gaya santainya seperti biasa, Bhaga tiba-tiba muncul di balik pintu kaca Flora. Aku mengerutkan kening menatapnya dan teringat kalau kemarin kan kita sepakat untuk jadi teman. "Kamu gak kerja?" "Aku habis meeting di Cafe deket sini, terus mampir. Sama bawain buku yang kemarin kamu pengen baca." Meeting macam apa yang sepagi ini udah selesai? Oh dan aku juga gak nyangka kalau dia mengingat obrolan kita kemarin kalau aku ingin membaca salah satu buku karya John Green. Buku itu belum pernah k*****a sebelumnya dan sekarang dia bawakan buku itu. Judulnya Paper Town. Bhaga mengangkat buku itu dan menaikkan alisnya seolah bertanya 'Buku ini kan?'. Lalu diserahkan padaku. "Kok bisa..." "Aku udah punya lama buku itu. Baca aja." Meski agak gak enak dengan Bhaga yang selalu baik, kemarin beliin buku dan sekarang minjemin buku. Itungannya aku utang budi lagi gak sih sama dia? "Ehemm.... Temennya Iyas ya mas?" Tanya Jeje menyela. Bhaga hanya tersenyum dan mengangguk pada Jeje. Tapi selanjutnya, tatapan Jeje jadi berbinar begitu melihatku. Jangan bilang... "Aku Jeje mas, partner-nya Iyas." Ujar Jeje memperkenalkan diri. "Wah, kebetulan nih mas, sopir kita lagi gak masuk. Boleh gak mas minta tolong anterin buket yang baru dirangkai Iyas itu. Bentar lagi selesai." Tuh kan. "Je!" Tegurku. Masak Bhaga datang-datang dimintain tolong jadi kurir bunga sih? Jangan bilang juga Bhaga mau-mau aja. "Boleh." Ujar Bhaga dengan senyumnya yang lebar pada Jeje. Ih apaan sih. Jeje juga jadi senyum-senyum begitu lagi. Lagi-lagi, aku merepotkan Bhaga. Salah dia juga sih, pagi-pagi sudah datang ke sini tanpa kabar. Tapi sejak kapan pertemuan kita di awali dengan kabar-kabaran. Nomor aja gak menyimpan satu sama lain. Sejak setelah empat tahun kan, kita juga gak sengaja ketemu di pernikahan Aira. Selanjutnya apalagi. Seolah semua pertemuan ini ada yang mengatur. Konspirasi alam semesta? Entahlah. "Duduk dulu Ga." Tawarku padanya sembari aku menyelesaikan pekerjaan ini. *** Jika pak Minto memang profesional kurir bunga. Bhaga tentu gak. Walaupun hanya mengantar pesanan, tentu gak akan semudah itu. Dia juga gak punya pengalaman apapun kan jadi kurir? So, akhirnya aku ikut mengantar. Selain Jeje meyakinkan aku bisa meng-handle pesanan yang tersisa, nanti pasti Bhaga akan ribet melakukan sendiri. Ini bukan modus karena ingin ikut Bhaga ya. No! "Sorry banget Ga, jadi ngrepotin. Harusnya aku antar sendiri gak apa-apa sih." Bhaga di kursi kemudianya menoleh sebentar kepalanya lalu sesekali melihat ke depan. "It's oke. Lagian segede itu kamu bisa turuninnya?" "Ya paling nanti minta tolong satpam yang ada di gedung tempat acaranya." Hening. Bhaga fokus menyetir dan aku hanya diam. Tapi suasana hari ini lebih enakan daripada kemarin-kemarin yang aku merasa terjebak saat satu mobil dengan Bhaga. Atau mungkin ini efek karena kita udah mendeklarasikan kalau kita berteman? Lalu kira-kira topik apa yang pas untuk dua orang dewasa yang baru aja bilang akan berteman? Lalu kira-kira topik apa yang pas untuk dua orang dewasa yang baru aja bilang akan berteman kemarin? Ngobrolin selera musik? Makanan favorit? Atau kegiatan sehari-hari? Ah itu pasti aneh banget. Kita bukan anak ABG lagi yang musti cari tahu kesukaan satu sama lain kan? "Kamu sering nganterin paket bunga sendirian?" "Lumayan, dulu pas belum ada pak Minto, hampir tiap hari. Tapi dulu juga aku belum menawarkan produk buket yang segede ini. Jadi masih buket-buket yang kecil-sedang aja." Jelasku sembari melirik buket besar yang ada di belakang. Tak kusangka, Bhaga malah melihatku intens dan cukup lama. Apa ada kotoran di mataku? Atau ada biji cabai di gigiku? Sehingga Bhaga melihatku segitunya. "Kenapa?" Tanyaku membuatnya akhirnya berkedip. Untung di lampu merah. "Enggak." Tatapannya masih tertuju padaku. "Ternyata kamu lebih pemberani dari yang aku kira." Aku tertawa. "Bukan sindiran kan? Karena tempo hari kita sering ketemu saat aku terlihat lemah dan penakut?" Gantian Bhaga yang terkekeh sambil menggeleng, "No!" Tangan Bhaga mengusap puncak kepalaku. Memang sangat pelan, tapi aku sedikit terlonjak dan beringsut karena kaget. Lalu mungkin Bhaga mengerti, dia pun menarik tangannya kembali dan bilang maaf dengan lirih. Semua orang pasti akan bilang begitu ketika melihat aku yang dulu dan sekarang. Dulu, jelas apa yang aku butuhkan akan dipenuhi oleh suamiku. Mulai dari kebutuhan primer sampai supir. Jadi kemana-mana terbiasa sama supir. Tidak perlu kerja, cukup di rumah melayani segala kebutuhannya saja dan hidup enak. Aku gak pernah kekurangan apapun dari mulai barang hingga kasih sayang. Aku baru sadar kalau mau punya suami kita sekaya apapun, sebagai perempuan tidak ada salahnya menjadi mandiri. Jadi setelah cerai gak mungkin hanya berdiam diri di rumah dan gak melakukan apapun. Sementara, aku punya waktu dan mimpi yang harusnya masih bisa aku gapai. Gak ada kata terlambat kan untuk mewujudkan impian? Meski ada Sapta yang sudah pasti akan mencukupi kebutuhanku sebagai adiknya, tetap aja aku ngerasa gak enak. Apalagi Sapta udah punya istri dan anak. Tentu aku gak mau jadi bebannya juga. Peristiwa empat tahun lalu pun jadi penempa yang ampuh untuk aku memutuskan jadi pribadi yang lebih baik lagi. Aku memutuskan untuk tinggal sendiri, merintis usaha, dan melakukan apapun sendiri atas dasar kesadaran bahwa aku gak selamanya bisa menggantungkan orang lain. Usai sampai di gedung tempat acara itu di gelar. Aku dan Bhaga menurunkan rangkaian bunga itu berdua. Saat masuk, kami disambut langsung oleh pak Tomy dan istrinya. Mereka sangat serasi dengan gaun yang rapi dan elegan. "Selamat merayakan ulangtahun pernikahan ya bapak, ibu. Bahagia dan sehat selalu." Ucapku pada mereka. "Terimakasih banyak nak. Oh iya itu anak dan menantu saya." Arah pandangan kami semua tertuju pada pasangan yang baru saja turun dari tangga besar melingkar. Pasangan itu terlihat sama elegannya dengan orangtuangnya. Perempuannya cantik sekali dan lelakinya juga good looking. Sungguh pasangan yang serasi. Benar-benar Tuhan menciptakan pasangan yang sama kualitasnya. Tepuk tangan meriah menyambut kehadiran pasangan itu. Aku pun ikut tersenyum atas kegembiraan mereka. "Masya?!" Namun, tiba-tiba Bhaga menyebut nama seseorang perempuan. Usai ku amati, tatapan Bhaga tertuju pada pasangan perempuan yang jadi pusat perhatian itu. Apa Bhaga kenal dengan anak menantu pak Tomy ini? Meski hanya ku lihat dari samping, ekspresi Bhaga sangat kaget. Lalu ku lihat si perempuan yang di sebut Masya itu juga melihat Bhaga di sana. Tatapannya pun sama kagetnya, bahkan ia hampir terpeleset karena tidak fokus pada jalannya. Bhaga pun reflek memajukan badannya saat tahu Masya akan jatuh. Tapi disampingnya udah ada suaminya yang tanggap dan memeluk istrinya. Kira-kira apa ya hubungan Bhaga dan Masya ini? Mereka terlihat saling kenal satu sama lain. Atau mungkin mereka punya cerita masa lalu? Ah Entahlah. Aku gak mau terlalu ikut campur. Kami tidak mengikuti acaranya sampai selesai mengingat tujuan awalnya kan hanya mengantar bunga. Kalau aja gak menghormati pak Tomy dan istrinya untuk mengikuti acara, mungkin aku dan Bhaga udah pulang sejak tadi. Jadi, di pertengahan acara, aku pamit. Kasihan juga Jeje kalau ditinggal lama-lama. Lagipula, Setelah tatap-tatapan sama si Masya tadi, Bhaga jadi lebih diam. Aku menyimpulkan kalau dia gak nyaman. "Are you okay, Ga?" Tanyaku di dalam perjalanan pulang. Bhaga pun menoleh. "I'm okay Iyas." Jawabnya sambil tersenyum tipis. "Oh kirain kenapa. Aku bisa gantiin nyetir kalau kamu capek. Ya walau pelan-pelan sih aku nyetirnya." "Gak usah Iyas. Aku cuma agak ngantuk aja, semalam meeting sampai pagi tadi. Please ajak aku ngobrol aja." Aku terkekeh. "Aku agak merasa bersalah suruh kamu jadi kurir bunga hari ini. Ternyata kamu abis begadang." "No problem, aku seneng bisa bantu kamu." Sepanjang jalan pulang, akhirnya aku mencari topik untuk ngobrol dengan Bhaga sesuai permintaannya, supaya dia gak ngantuk. Ya meskipun hanya obrolan ringan dan receh. Seperti mendiskusikan kenapa tukang rujak men-display buahnya pake aquarium. Atau alasan kenapa ada orang yang percaya bumi datar dan bulat. Sampailah kami di rumah dan Bhaga juga mengikutiku turun. Dia malah jadi bantu-bantu aku dan Jeje di toko seharian. Meski sekedar mengambilkan bunga ini dan itu, alat ini dan itu. Bantu angkat telepon dari pelanggan dan lain-lain. Sisa hari itu Bhaga mau aja direpotkan oleh aku dan Jeje. "Aku gak tahu musti bayar kamu berapa. Multitasking banget soalnya." Ujarku sarkas sambil terkekeh. Bhaga yang duduk di teras menunggu aku beberes toko pun berdiri dan ikut tertawa. Dia pasti tahu kalau kalimatku ini hanya candaan. Mana mau juga dia dibayar. Tapi kalau mau pun aku malah bersyukur. "Udah selesai?" Aku mengangguk. Jeje memang aku suruh pulang lebih awal. Soalnya dia udah kerja keras sendirian tadi saat aku tinggal antar bunga dengan Bhaga. "Mau makan malam diluar?" Tawarnya. Aku melihat jam di tanganku. Pukul setengah 8 malam. Memang aku dan Bhaga belum sempat makan sejak tadi siang. Saking sibuknya. Jujur, aku agak males siap-siap untuk makan diluar. Badanku udah lengket dan pegel di beberapa bagian. "Emang kamu gak capek bantuin di toko seharian? Gimana kalau aku masakin yang simple aja?" Aku menaikkan kedua alis, bertanya. Dan tahu apa reaksinya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD