Bab 11. Zuppa soup

1568 Words
"Ga! Sebenernya kamu mau ngajakin kemana?" Bhaga sepertinya punya bakat untuk membuat orang mengikuti apa maunya. Dengan segala cara, dia bisa bikin aku ganti baju dan pergi dengannya siang ini. Aku masih kesel. Apa hal ini bisa di kategorikan hipnotis atau gendam? Kalau iya, mumpung aku sadar, kayaknya bisa dilaporin polisi. Eh tapi percuma sih lapor polisi. Gak bakal ditanggapi juga. Kasus yang lebih serius dari ini kan lebih banyak. Mana sekarang dari basemen Mall aku harus mengikutinya berjalan. Jauh banget lagi, ah. Lama gak ke Mall, sekalinya ke Mall aku kaya berasa di lautan manusia, dan jelas bikin aku gak nyaman. "Ada festival Kuliner di atrium Mall ini. Kita hunting makanan enak." "Aku diet." Ujarku cuek. "Masak sih?" Tanyanya berhenti sebentar dan melihat ekspresiku. "Jangan diet, nanti kurus." Lanjutnya. Lah, apa urusannya dengan dia? Mau aku kurus atau gendut, itu urusan aku dong! Kok dia ngatur? "Yaudah, gak apa-apa. Tapi ada Zuppa soup yang enak banget di sini." Yaelah Zuppa soup doang, dinikahan juga banyak dan gak kalah enak kan? Benar aja. Bhaga berhenti di salah satu stand Zuppa soup paling ujung. "Hai Rif!" Sapa Bhaga pada lelaki yang ada di balik stand. "Weih, Bhaga!" Orang yang dipanggil Rif itu menghampiri Bhaga, tos dan saling memeluk ringan. Seperti dua orang teman yang berteman akrab pada umumnya. "Datang juga. Pasti liat di grub ya?" "Yes." Lelaki bernama Rif itu melihatku di balik punggung Bhaga. Dia tersenyum dan mengatakan sesuatu dengan lirih "Eh, baru lagi nih Ga?" Tapi masih bisa ku dengar. Bhaga memukul bahu Rif karena... Entahlah, mungkin perkataannya yang kurang sopan? Kata 'Baru lagi' ini kaya seolah-olah Bhaga pernah beberapa kali membawa cewek dihadapan Rif ini. Dan aku adalah salah satu orang baru yang Bhaga bawa dihadapan Rif. Apakah sebanyak itu pacar Bhaga? Tapi cowok mapan dan matang kayak Bhaga siapa yang gak kepincut sih? Cuma aku doang kayaknya. Bhaga membalikkan badannya ke arahku. "Yas, kenalin. Ini Arif dulu rekan kerja, sekarang dia bangun bisnis kuniner. Rif, ini Iyas." Aku maju mensejajari Bhaga untuk menjabat tangan Arif. Mau gimanapun, Bhaga kan berniat baik mengenalkan aku pada temannya dan aku gak mungkin bersikap seenaknya. "Iyas." "Arif. Oh ayo silakan duduk dulu." Seusai berjabat tangan, Arif mempersilakan duduk di kursi bangku berjejer di depan stand. "Kayak biasa ya Ga? Zuppa cheese, Dua?" Tanyanya pada Bhaga dan yang ditanyai mengangguk. Dari gestur yang terlihat sih sepertinya Bhaga sering mengunjungi kedai milik Arif ini. Sampai sang pemilik udah hafal menu apa yang biasanya Bhaga pesan. Ya jenis keakraban aku dan Aira, semacam itu mungkin. "Duduk." Tahu-tahu Bhaga udah menarik kursi, menyuruhku duduk. Dan aku menurut. Lagi. Karena dari awal aku bilang sedang diet, aku pun gak langsung memakan Zuppa soup cheese yang baru datang itu. Tapi asap beraroma gurih perlahan membelai hidungku, membaur dengan penciumanku hingga membuatku tak punya iman karena tergoda. Apalagi, Bhaga dengan hikmat menikmati setiap suapannya di depan mataku. Aku menelan ludah. Diet apanya? Nyatanya aku menyantap juga Zuppa ini sampai tandas dan tak tersisa. Stupid Iyas! Tapi ini enak sumpah. "Enak kan?" Aku mengangguk antusias di suapan terakhir. Saat aku mendongak, lalu mendapati Bhaga tersenyum puas melihatku, saat itu pula aku menelan semua sisa zuppa yang masih di dalam mulut sekaligus. "Wah, thankyou ya kalian udah dateng dan icip-icip," Untung Arif datang, jadi aku gak jadi tersedak karena menelannya terlalu banyak. "Oh iya boleh minta tolong gak bikin video testimoni? 15 detik aja. Boleh ya?" Saat Arif bersiap mengeluarkan ponsel dengan gestur merekam, aku baru sadar bahwa Bhaga udah menggeser kursinya di dekatku supaya bisa muat ke dalam frame ponsel Arif. "Gimana rasa Zuppa soupnya?" Arif memancing dengan pertanyaan. "Seperti biasa, Zuppa soupnya memang selalu enak! Istimewa." Jawab Bhaga lugas. Arif melihat ke arahku, menunggu responku. "Enak, mantap!" Ya, aku memang mengakui bahwa Zuppa soupnya memang beneran mantap kalau perlu pake z dan t. Tapi aku bingung harus menjelaskan secara detailnya seperti apa, terus juga agak aneh sih bicara di depan kamera. Aku gak terbiasa. Jadi aku hanya menjawab secara singkat. "Udah? enak dan mantap aja?" Sahut Bhaga kemudian. Kayaknya dia juga memancing supaya aku bicara enaknya dan mantabnya dimana. Arif tersenyum dan terus merekam. Sedangkan aku bingung menjelaskannya bagaimana. "Y..ya enak rasanya, terus mantap porsinya lumayan besar. Ehm... Kejunya juga melimpah. Yah pokonya itu." Arif menurunkan ponselnya, "Oke, sekali lagi makasih ya udah dateng. Kapan-kapan mampir ya ke kedai yang di Kota baru." "Sip!" "Oh iya, aku tinggal dulu ya, kayaknya Geri butuh bantuan." Arif pamit sambil menunjuk rekannya di dalam outlet yang kuwalahan melayani pelanggan. Tinggallah aku dan Bhaga yang masih duduk berdempetan. "Pulang?" Tanyanya pelan, dan karena jarak kita begitu dekat, hembusan nafasnya sampai tepat di telingaku. Aneh. Agak menggelitik lalu spontan menjauhkan kepalaku. "Iyalah pulang, kamu udah mengacaukan me time ku hari ini!" Tegasku, lalu aku buru-buru beranjak dari kursi. Bhaga tertawa kecil, seolah dia senang bisa jadi pengacau hariku. "Gak mau beli apa lagi gitu mumpung di Mall?" "Enggak" "Nonton?" "Enggak" "Toko buku?" "Boleh." Mendengar kata toko buku, aku langsung mengiyakan. Udah lama aku gak ke toko buku. Sebenarnya, ada buku-buku yang ingin aku beli, tapi akhir-akhir ini terlalu sibuk dan gak ada waktu untuk pergi ke toko buku. Beli online bisa sih, tapi rasanya akan beda ketika kita milih langsung dan membayarnya di kasir. Ada kepuasan tersendiri. Jadi boleh deh. Toko bukunya satu lantai di atas atrium. Setelah sampai, aku dan Bhaga berpencar. Aku ke kanan dan dia ke kiri. Aku mulai mencari rak buku yang aku maksud. Bhaga? Entahlah. Pilihan buku-buku yang jadi wistlist ini udah di tangn, sangat menggiurkan segera untuk dibaca. Satu per satu aku baca summary di balik bukunya. Total ada tiga buku yang ada di tanganku, siap untuk di bayar. "Kamu suka buku self improvement?" Tanya Bhaga yang tiba-tiba muncul. "Lumayan. Dibaca malam-malam." "Lupa, kamu kan punya masalah tidur. Sampai sekarang masih?" Lupa juga bahwa Bhaga memang tahu kebiasaanku waktu menginap di rumah mantan mertua suka mengambil minum malam-malam dan mendapati Bhaga masih main game di ruang tengah. "Udah banyak berkurang. Aku berusaha keras mengubah polanya. Finally, aku berhasil." "Good!" Alisku terangkat satu. Setelah bertemu Bhaga lagi, dia sering mengapresiasi perubahanku dengan kata 'good'. Harus aku akui, Bhaga yang sekarang juga berubah jadi lebih baik. Dia terlihat friendly dan ramah dan juga, dari pengakuan Arif tadi, Bhaga bukan lagi cowok yang kaku dan gak tersentuh. Buktinya dia bawa cewek beberapa kali di depan Arif kan? Itu artinya, Bhaga bisa juga menjalin hubungan dengan perempuan dengan sikapnya yang pemaksa begitu, ku pikir dia masih jadi penghuni Goa yang gelap. "Kamu tahu? gak semua orang suka perubahan." Kata Bhaga saat sedang berjalan menuju kasir. Aku menyipitkan mata, mencerna perkataan Bhaga. "Aku gak yakin, but I think mostly, yes. Mereka gak suka ada keluar dari zona nyaman." Bhaga mengangguk. "Perubahan adalah sesuatu yang pasti. Tapi jelas gak mudah karena selalu ada yang harus dikorbankan; kenyamanan, kemapanan, fokus, dan keyakinan." Jeda sejenak, Bhaga menatapku "Aku gak tahu seberapa berat kamu melalui proses itu. Aku salut sama kamu." Aku tertawa sumbang mendengarnya memujiku seperti itu, "Everything has changed, right?" Dan obrolan pun berlanjut sampai menuju parkiran dan dalam perjalanan pulang. Awalnya aku hanya menanggapi obrolannya seperti biasa, tapi topik-topik yang dia lontarkan membuatku jadi lebih banyak bicara. Dari situ aku sadar, bahwa ternyata Bhaga punya wawasan yang luas. Aku malah merasa ciut dan gak ada apa-apanya. Mobil Bhaga mengantarku sampai depan gerbang. Aku yang meminta dan memang gak berniat menyuruhnya mampir. Selain udah sore, aku kan di rumah hanya sendiri. Masukin cowok sore-sore adalah pilihan buruk. Tahu kan kehidupan orang kompleks? Pagi sih mereka sibuk beraktivitas masing-masing. Sore? Pasti banyak yang lagi bersantai nunggu kang sate lewat sambil data transfer di depan rumah. Ya, data transfer tercepat alias bergosip. Walaupun aku gak begitu peduli dengan selentingan gak jelas. Tapi itu jelas mempertaruhkan reputasi Flora yang baru aku rintis. Gak lucu kalau belum apa-apa usahaku trust-nya turun cuma karena berita janda yang masukin cowok ke rumah sore-sore. Aku bersiap untuk turun dan mengucapkan rasa terimakasih. "Makasih Ga, ikan, Zuppa soup sama bukunya. Aku baru tahu kamu juga interest sama buku self improvement, dan makasih perspektif barunya." "Sama-sama." Tanganku udah hampir membuka pintu saat kurasakan Bhaga menahan lenganku satunya, lalu dilepas. "Yas." Aku menoleh dan menaikkan kedua alis. Penasaran kenapa dia memanggilku. "Aku tahu sejarah hubungan kita sebagai mantan kakak dan adik ipar mungkin bikin kamu gak nyaman awalnya. Tapi kalau boleh, mau gak kita temanan aja?" "Teman ya?" Tanyaku memastikan, lelaki di depanku ini mengangguk sekali dan tegas. Jika aku boleh jujur, dari dulu sampai sekarang, Bhaga sebenarnya adalah orang yang baik. Terlepas dari dia adalah keluarganya mas Win. Kalau tadi dia salut sama perubahan hidupku, aku juga salut sama perubahannya, sekarang dia lebih manusiawi, ramah dan humble. Obrolan ngalor-ngidul kita tadi gak disangka nyambung. Ya tipe-tipe orang yang asyik untuk jadi teman. Jadi apa bisa aku berteman dengan Bhaga? Terlepas dari semua yang terjadi. Masalah yang udah lalu memang harusnya aku ikhaskan dan tinggalkan untuk bisa menjalani hidup yang lebih baik. Rasanya lelah juga terus-terusan membuat Bhaga seperti orang yang ikut bersalah empat tahun lalu dan aku terus memupuk dendam pada keluarganya termasuk dirinya. Gak! Gak boleh begitu. Udah seharusnya aku berdamai dengan keadaan, berdamai dengan hidup, dan berdamai dengan diriku sendiri. Apa salahnya, memaafkan segala yang terjadi. Memang rasanya sulit jika dari sudut pandang empat tahun lalu. Tapi kalau aku gak lakukan dari sekarang, bagaimana aku bisa berdamai dan hidup dengan tenang? "Yas?" Bhaga membuyarkan pikiranku. "Oke, kita... temenan." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD