Bab 10. Monopoli

1350 Words
Belum pernah aku menemui orang yang gak sungkan-sungkan meminta sesuatu. Maksudnya kalau Anki dan Sapta aku bisa terima karena jelas mereka saudaraku. Apapun akan aku beri selagi aku punya dan mampu. Tapi Bhaga? Terkahir aku bilang kalau misal ketemu gak sengaja lagi, kita udah harus jadi orang asing yang gak saling kenal. Dan ucapanku itu sama sekali gak masuk ke telinga lalu dicerna otaknya dengan baik. Aku hampir menutup pintu. Untuk apa dia datang kesini? Bukankah semua udah jelas aku katakan kemarin? Sayangnya, dengan cekatan, tangannya menahan pintu itu. Lalu dia bilang maaf udah lancang memelukku malam itu. Matanya benar-benar menyiratkan rasa bersalah. Aku gak suka sikapnya yang tiba-tiba itu. Tapi aku juga gak bisa 100% menyalahkannya atas tindakan itu kalau nyatanya, aku membalas pelukan itu. Lalu ku sesali. Sangat kusesali. Oke, Aku memaafkannya dan bersepakat untuk melupakan itu. Dengan syarat kita harus melupakan semuanya dan gak perlu saling kenal lagi. Namun, alih-alih pulang ia malah meminta sarapan. Sesuatu yang harusnya dia malu melakukannya. Apa dia gak punya uang untuk sekedar beli bubur ayam atau lontong sayur? Atau dia bisa bikin sendiri kan menu-menu sederhana di rumahnya? Gak mungkin dong dia gak punya bahan pokok kayak telur, beras dan minyak. Cukup mengganjal pikiranku. Tapi lihat tampang dia yang mupeng melihat mangkuk overnight oats ditanganku, aku akhirnya menyuruhnya masuk meski dengan nada dan wajah yang jutek. Dia duduk manis di meja makan. Selain memaksa masuk untuk sekedar minta sarapan, dia ternyata juga membawa satu kantong plastik bening berisi ikan satu biji. Hah? Sebercanda apa semesta, sampai bisa mengirim sinyal dan pas kalau aku juga mau beliin temen buat Mumu, si ikan peliharaanku di kolam? Gak lucu! "Kamu ngapain bawa ikan?" Tanyaku yang masih sibuk mengiris strawberry untuk toping. "Random aja sih. Aku cuma kebetulan ingat dulu kamu memelihara ikan." Ya, dulu saat aku masih jadi suami mas Win, hari-hariku sepi di rumah seharian. Suatu saat, Bhaga datang membawakan rendang masakan dari mama terus tahu kalau aku sedang membersihkan aquarium ikan di depan rumah. Mungkin dari situ ia tahu aku suka dengan ikan. Ya entahlah. "Yas, kamu punya aquarium?" Aku berpikir. Di gudang ada tapi aku sangat malas mengambilnya karena bertumpuk dengan barang lainnya. "Adanya kolam." Kataku sambil melihat ke halaman samping. Bhaga mengangguk lalu beranjak dari kursinya dan mengambil ikan yang di bawanya ke sana. Saat aku perhatikan, rupanya dia menaruh ikan itu di kolam bersama Mumu. Ya, Mumu jadi ada temannya sekarang kan sebelum aku sempat membelikannya teman. Sepertinya lelaki itu sengaja membawa sesuatu yang bisa ditukar dengan semangkuk sarapan. Dan sekarang di hadapanku, dia memakan sarapan itu dengan lahap dan penuh antusias, sama seperti waktu dia makan sup buatanku waktu itu. Sejujurnya, Aku selalu senang kalau ada orang yang menyantap makanan buatanku dengan antusias. Tapi ini? Aku harus berpikir ulang. Bhaga menatapku di suapan terakhirnya. Aku agak gelagapan seperti orang yang baru saja ketahuan mencuri padahal baru melamun dan ngeliatin dia makan aja. Kalau dipikir-pikir, ngapain juga aku harus salting? "Kalau udah selesai sini mangkuknya." Ujarku mengambil mangkuk dari hadapannya. "Kamu boleh pulang." "Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat. 30 menit lagi buka. Bisa kamu siap-siap aja? biar aku yang nyuci mangkuknya." Ujarnya seraya berdiri dan mengambil alih mangkuk di tanganku. Tak segera beranjak, otakku masih nge-Freeze. Dia mau ngajak aku pergi? Bahkan dia gak minta persetujuanku dulu mau atau enggak. "Kalau aku gak mau?" "Yaudah, aku main di sini kalau kamu gak mau." Alisku terangkat dua-duanya heran dan geram. Ini orang keras kepalanya udah melebihi batu meteor yang jatuh ke bumi. "Aku gak ijinin." "Ya makanya pilih, mau pergi atau di rumah aja." Tukasnya dengan nada yang angkuh. "Ga..." Belum selesai protesku, dia udah pergi ke dapur untuk mencuci mangkuk. Kupikir dia berubah juga jadi lebih baik. Nyatanya sifat pemaksanya sama sekali gak berubah. Dia gak pernah menerima penolakan. "Aku sibuk hari ini dan kamu bisa pergi kalau urusanmu udah selesai!" Iya kan? Agendaku untuk me time hari ini tentu adalah kesibukan utamaku. Dan aku gak mau melewatkan itu. Kutinggalkan Bhaga yang masih mencuci mangkuk dan membaca di ruang tengah. Pokoknya gak ada yang bisa mengganggu me time ku. Ini waktu yang udah aku dambakan setelah beberapa hari banjir orderan buket. "Oke kalau gak mau pergi." Kata Bhaga yang berdiri di sebelah sofa memandangku. Aku tetap fokus membaca buku tanpa sedikitpun menoleh padanya. Aku cuekin aja dan anggap dia gak ada. Dan, kayaknya dia ngerti. Bhaga berjalan keluar rumah. Bagus deh kalau dia mau pulang. Tapi tiba-tiba... Bhaga masuk lagi dengan membawa sesuatu di tangannya lalu duduk di sebelahku. Aku gak tahu persis itu apa, tapi dari sudut mataku terlihat yang dibawanya itu sebuah box ukuran sedang. Karena dudukku terusik, aku menatapnya tajam. Dia hanya tersenyum dan mengangkat box itu di depanku. "Ayo main monopoli." Alisku terangkat dua-duanya dan mulutku terbuka lebar. Ya sekarang aku tahu kalau itu box Monopoli. Aku gak salah denger kan? Dia beneran mau ngajakin main monopoli? Seorang Bhaga mau main monopoli? Sedetik kemudian aku tertawa. "Bukannya dulu gak pernah mau diajak main? Gak bisa kan?" Dulu, setiap kumpul keluarga di rumah mas Win, kita selalu asyik main monopoli bersama keponakan dan sepupu. Bhaga yang selalu tidak mau ikut dengan alasan macam-macam, kita asumsikan dia gak bisa main. Dia lebih memilih duduk di pojokan sambil sibuk main ponsel atau mendekam di kamarnya. "Gak pernah main bukan berarti gak bisa." Katanya seraya membuka box itu dan mengelurkan isinya. Dia menarik tanganku untuk turun dan duduk di atas karpet. Agak terpaksa, aku mengikutinya. Semua sudah tertata rapi, bidak, dadu, uang-uangan, kartu dana umun dan kesempatan, kartu hak milik, miniatur rumah dan hotel dan tentunya di tengah-tengah aku dan Bhaga ada papan monopolinya. Bhaga menatapku dan mempersilakan aku memilih warna bidaknya. Melihat Bhaga yang sepertinya gak jago-jago amat, Sejujurnya, aku optimis jadi pemenang. Kita lihat saja nanti. Dia harus tahu, aku siapa. Bibirku tersenyum miring dengan nada khas sinetron di kepala. Haha... Lihat saja grandong. Kamu akan kalah! Permainan dimulai lima menit yang lalu, aku cukup pede dengan strategi mainku. Aset udah aku beli beberapa. Kini giliran dia yang mengocok dadu. Lalu memainkan bidaknya. "Dor! Sini bayar!" Teriakku saat bidak milik Bhaga berhenti tepat di tanah bangunan milikku. Bhaga dengan malas menghitung uangnya untuk diberikan padaku. Sementara aku cengar-cengir kegirangan. Strategiku memang gak pernah gagal. Permainan terus berlanjut. Aku sampai terpingkal saat Bhaga lagi-lagi berhenti di tanah milikku dan harus membayar denda. Dia pun juga tertawa pasrah karena sepertinya dia bakalan kalah. Aku pastikan dia kalah sih. "Nah! Sekarang kamu yang bayar, sini!" Todong Bhaga saat giliranku berhenti di tanah miliknya. Its okay, gak seberapa dan uangku masih banyak. "Nah!" "Sini bayar!" "Bayar lagi!" "Jual aja itu aset buat bayar. Sini cepet!" Sepertinya aku kena karma karena terlalu menggampangkan Bhaga. Di detik-detik terkahir, bidakku jadi sering berhenti di tanahnya dan terus-menerus membayar denda. Sampai aku harus menjual beberapa rumah dan hotel untuk menutupi hutangnya. Sial! Dan sekarang semua berbalik. Aku hampir bangkrut sementara dia semakin kaya. Kalau begini caranya aku bisa kalah. "Sayang sekali, Belgia punyaku. Jadi gimana? Nyerah?" "Hah! Kamu pasti curang nih." Kataku membela diri sambil menggebrak karpet di sebelahku. "Aku gak curang. Tapi cukup membuktikan kan? Kalau aku bisa main dan gak cupu seperti katamu dan para keponakan dan sepupuku." Diam sebentar, mengambil nafas dan oke, aku terima kali ini aku kalah. Tapi, Woy! Dimana Iyas yang disebut legend oleh keponakan dan sepupu Bhaga dulu?! Kemana kemampuanku itu? "Oke iya, aku akui aku kalah dan salah menilaimu." Kedua tanganku terangkat ke atas. Ya untuk kekalahan dan pengakuan kalau selama ini aku salah bilang kalau dia gak bisa main monopoli hanya karena dia gak pernah mau diajak main. Bhaga tersenyum puas dengan pengakuanku. Dia manggut-manggut. "Karna kamu kalah, itu artinya kamu harus memenuhi permintaanku." "Apaan sih! Gak ada ya perjanjian gitu di awal permainan. Gak mau!" Protesku. Memang tadi di awal gak ada pembicaraan tentang ini kan? Dia cuma ngajak main aja, gak bilang tuh kalau yang kalah harus mengabulkan permintaan yang menang. "Bukan karna aku menang. Tapi karena kamu harus menebus kesalahan karena udah salah berasumsi tentangku. So..." Bhaga melihat jam di pergelangan tangannya. "Masih ada 10 menit dan kamu bisa siap-siap." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD