7. Kenapa Peduli?

1046 Words
"Maaf, kalau Tuan tidak mau menyebut nama Tuan, tidak apa." Jesyca menghela napasnya panjang, rasanya pria di depannya begitu dingin. Tetapi, dengan dia yang mau membantunya, itu menandakan bahwa pria yang tengah duduk di depannya adalah seseorang yang baik hati. Jesyca pun menunduk, memulai makannya kembali, sampai kemudian dia mendengar suara bariton yang menyebut sebuah nama, janda kembang itu pun segera menatap pada pria tampan di depannya. "Arron Diaz, kau bisa memanggilku Arron," ucap pria berahang tegas di depan Jesyca, pria itu menyebut namanya, tanpa menatap padanya. Jesyca terdiam, garis tegas pada wajah pria yang baru saja mengenalkan namanya sebagai Arron Diaz mengingatkannya pada sosok Papa angkatnya di masa lalu. Dimas Maxim Leicester. "Makanlah," ucap Arron. "Ah ya." Jesyca makan dengan rasa canggung, sesekali dia melirik pada pria yang masih mengenakan bathrobenya. Beberapa saat kemudian, Arron lebih dulu menyelesaikan makanannya membuat Jesyca tak enak hati. 'Sepertinya dia tidak nyaman dengan keberadaanku,' ucap Jesyca saat melihat Arron memasuki kamar mandi. Jesyca kembali menghela napasnya panjang, teringat dengan kejadian yang hampir saja merusak masa depannya. "Ya Tuhan, terima kasih karena Engkau mau mengabulkan doa'ku." Tak lama kemudian, Jesyca menyelesaikan makannya. Dia bingung harus bagaimana, dia bahkan tak tahu ada di mana dia. Yang jelas, dia yakin masih di Kalimantan. Jesyca bangkit dari duduknya, kembali melihat ke arah kamar mandi yang masih terdengar suara gemericik air sejak tadi. 'Dia sedang apa, aku pikir, dia sudah mandi sejak aku datang ke kamar ini?' tanya Jesyca di dalam hatinya. Jesyca berjalan menuju pintu, mencoba mengintip dari lubang intip. Tak ada yang bisa dia lihat selain dinding kamar lain di depan kamar mewah itu. "Aku harus pulang, tapi kemana? Aku takut mereka menjualku lagi, ke rumah Mama Elvi, dia juga pasti akan marah padaku." Arron yang rupanya sudah keluar dari kamar mandi, melihat wanita yang tengah berjinjit di belakang pintu, hal yang membuat kemeja putih yang dikenakan oleh Jesyca semakin naik dan menampilkan paha ramping nan mulus miliknya. Arron berpura-pura batuk hingga menarik perhatian Jesyca, wanita itu langsung berbalik dan terkejut mendapati Arron hanya mengenakan boxer dan menggosok rambut basahnya dengan handuk. "Mau pulang?" tanya Arron. "Ah, em maaf, tapi ini di mana, ya?" tanya Jesyca. "Balikpapan," jawab Arron. Jesyca pun terdiam, setidaknya butuh 2 jam ke Samarinda, lalu ke rumah Mama Elvi, kurang dari satu jam jika ditempuh dengan motor. 'Tapi, ijazahku ada di rumah Pak Baron, bagaimana ya?' Jesyca benar-benar bingung harus bagaimana sekarang. "Istirahat saja dulu malam ini, di sini, kita tidak tahu, apa mereka yang menculikmu masih di luar atau tidak," ujar Arron. Pria itu menuju ranjang, duduk di tepinya, lalu menggosok rambut basahnya dengan handuk, juga mengeringkan dengan hair dryer. Jesyca pun bingung, dia sama sekali tak tahu harus bagaimana, dan mau ke mana? Wanita itu kemudian memberanikan diri untuk mendekati Arron di dekat ranjang, dia berdiri dan dengan ragu-ragu dia berkali-kali mencoba untuk berbicara. Namun, bibirnya selalu mengatup sebelum mengeluarkan suara seperti kehendaknya. "Kenapa?" tanya Arron. "Maaf, apa besok aku boleh meminjam uangmu?" tanya Jesyca. "Aku harus pulang ke rumah mereka, untuk ambil tas dan ijazahku, itu sangat penting bagiku." "Mereka, siapa?" tanya Arron. Hingga kemudian Arron berpikir bahwa dia belum mendengar cerita dari wanita yang ditolong olehnya. "Kau belum cerita apapun, jika kau mau aku tolong, kau harus cerita, masih baik aku tidak berprasangka buruk padamu," ucap Arron. Jesyca pun mengangguk, dia pikir benar kata Arron, kemudian wanita itu duduk kembali di sofa, begitupun Arron yang kembali duduk di hadapan Jesyca menanti cerita dari gadis yang ditolong olehnya. Kemudian, Jesyca menarik napasnya panjang, dia berpaling, malu jika harus melihat pria yang hanya memakai boxer itu. Jesyca pun mulai ceritanya, dari dia yang baru pulang setelah kelulusannya, lalu dipaksa menikah oleh ibu tirinya karena hutang ayahnya, dan sampai suaminya meninggal sebelum satu jam setelah menikahinya dan peristiwa kebaikan ketiga istri lain suaminya yang hanya pura-pura, hingga apa yang terjadi semalam yang mana Arron sama-sama mengetahuinya. "Siapa suamimu?" tanya Arron. "Aku, tidak tahu namanya, tapi mereka memanggilnya Pak Baron," jawab Jesyca. Arron pun sedikit terkejut, namun kemudian dia mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu di sana. "Ya sudah, istirahatlah, kau bisa tidur di sofa ini," ujar Arron sambil berdiri. "Sofa? Tidak di ranjang?" tanya Jesyca. Arron pun mengerutkan keningnya. "Kau mau menggodaku?" tanya Arron. "Tidak, tapi bukannya dalam keadaan seperti ini, seharusnya seorang pria menawarkan ranjangnya, sementara dia tidur di sofa?" tanya Jesyca. Mendengar alasan Jesyca, Arron menyeringai. "Nasib baik kau masih aku tolong!" Setelah itu, Arron menuju ranjang dan merebahkan dirinya di sana. Jesyca menghela napasnya, dia pikir keadaannya akan sama seperti dalam drama atau serial yang dia tonton. Kemudian, wanita itu langsung duduk di ranjang dan menaikkan kakinya di sana, dia benar-benar merasa lelah hari ini, lelah fisik, hati dan pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan besok? Kemana aku harus pergi?" gumam Jesyca. Arron yang tadinya sudah memejamkan matanya, kembali membuka netra coklat itu setelah mendengar suara gumaman Jesyca, pria itu menghela napasnya perlahan dan kembali memejamkan matanya. 'Kenapa aku peduli?' *** Hingga pagi menjelang, Arron terbangun lebih dulu, dia melihat pada Jesyca yang tidur dengan kaki menjuntai ke bawah, terlihat begitu kepayahan, pria itu lalu menghampiri Jesyca dan dengan hati-hati membopong gadis berambut pirang itu menuju ranjang dan merebahkannya di sana. Pria itu lalu menuju kamar mandi untuk membuang hajatnya. Sampai Arron keluar dari kamar mandi, dan berganti pakaian olah raga, Jesyca masih belum terbangun. Pria itu keluar dari kamar, takut dua wanita yang semalam mencari Jesyca datang lagi, Arron memilih membawa serta kunci kamar bersamanya. Arron pergi menuju ruang gym. Dia akan berolah raga di sana. Alat pertama yang pria itu tuju adalah treadmill. Dia berjalan santai di sana, kemudian sibuk dengan ponselnya sesaat dan menyimpan kembali benda persegi panjang itu, dengan earphone di telinganya, dia menelpon seseorang. "Kau sudah dapatkan hasilnya?" tanya Arron pada seseorang di seberang teleponnya. "Ya, jadi apa dia orang yang sama?" "Oh, tidak hanya ada satu hal saja, kalian bereskan sesuai prosedur, sita semua asetnya!" Hanya itu yang Arron katakan sebelum dia berniat mengakhiri panggilan teleponnya. Namun dia urungkan saat teringat satu hal. "Apa Helen sudah dapatkan pengganti asisten pribadi untukku?" tanya Arron lagi. "Bagus, kalau begitu, batalkan, aku sudah dapatkan orangnya!" Arron mengakhiri panggilan telepon itu. Dia terus berjalan di treadmill, heran dengan dirinya sendiri, kenapa dia bisa seyakin itu untuk menjadikan Jesyca asisten pribadinya. "Apa dia mau?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD