"Cek hotel kalian, saya merasa tidak nyaman dengan beberapa orang yang berkeliaran tidak jelas di sini."
Jesyca memejamkan matanya saat mendengar suara bariton pria tampan, dengan postur tubuh tegap tadi. 'Apa dia tidak percaya padaku?' Jesyca menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, dia benar-benar merasa tak berdaya saat ini.
Sementara itu di luar lemari, pria itu mengeringkan tubuhnya, lalu memakai bathrobe miliknya dan langsung menuju pintu yang sejak tadi terus diketuk dari luar.
Pria itu membuka pintunya dan dengan wajah dinginnya, dia menatap pada dua orang wanita yang tampak melihat-lihat ke bagaian dalam kamar.
"Ada apa?" tanya pria itu.
"Maaf, kami sedang mencari seseorang, wanita bule, cantik," ujar Risa.
"Apa kalian tidak tahu, lantai ini khusus president suit room, artinya bukan sembarangan orang yang datang dan memesan kamar di lantai ini!" ujar pria itu.
"Tapi--"
"Apa kalian mau berurusan denganku?" tanya pria itu lagi.
Risa dan Sista pun saling pandang, mereka bingung harus bagaimana. Mereka yakin, pria tampan di depannya, bukanlah pria sembarangan.
"Aku tidak tahu permasalahan kalian, tapi jika kalian tak mau mendengarkanku, aku pastikan kalian akan menyesal."
Risa dan Sista tampak terkejut, mereka yakin, Jesyca masuk ke kamar itu tadi. "Saya mau lihat dulu," ujar Risa, dia mencoba menerobos masuk ke dalam kamar.
Namun, dengan cepat tubuhnya terhuyung ke belakang. "Aku, bukan orang yang peduli jika harus memukul wanita!"
Sista langsung menahan lengan Risa, lalu memberi kode agar dia menyerah. Akhirnya, dua istri Pak Badar itu pun pamit untuk pergi.
Pria itu terlihat menghela napasnya lega, lalu ia menutup pintu kamarnya dan menguncinya.
Pria itu langsung menuju lemari tempat wanita berambut pirang itu bersembunyi. Ia membukanya membuat seseorang yang sedang bersembunyi itu terlihat terkejut.
"Keluarlah, kau aman sekarang!"
Jesyca pun menelan paksa salivanya, ragu-ragu dia keluar dari dalam lemari itu dan langsung melihat ke sekelilingnya.
"Teri--" ucapan Jesyca terhenti saat tiba-tiba sebuah kain menutupi wajahnya.
"Pakai itu!" ujar pria itu.
Jesyca pun mengambil kain itu, seketika gadis itu mengerutkan keningnya, sebuah kemeja berwarna putih.
"Setidaknya itu lebih baik dari apa yang kau pakai saat ini!" ujar si pria yang menurut Jesyca terlihat begitu karismatik, tampan, atletis, dan Jesyca yakin, dia pria baik.
"Terima kasih Tuan," ucap Jesyca.
Pria itu tidak menjawab, dia terlihat menuju ranjang dan duduk di sana lalu mengambil ponselnya.
Sementara Jesyca, dia melihat ke sekelilingnya, gadis itu langsung menuju sebuah pintu yang diyakini merupakan pintu kamar mandi.
Masuk ke dalam kamar mandi, Jesyca langsung meletakkan kemeja putih yang diberikan oleh pria baik tadi ke tempat yang kering, dia menatap pantulan dirinya di cermin, sangat berantakan dengan pakaian yang begitu seksi dan juga robek.
"Ya Tuhan, aku malu sekali."
Kemudian, gadis itu teringat dengan sentuhan pria tambun tadi, dia pun memejamkan matanya, lalu menggelengkan kepalanya, merasa jijik dengan tubuhnya sendiri.
Jesyca segera pergi menuju shower, dia menyalakannya dan mengguyur tubuhnya di sana, dia harus membersihkan jejak-jejak sentuhan pria tambun tadi, dia gosok dengan keras kedua lengan dan bahunya.
Sedangkan di luar kamar mandi, pria tadi baru saja membuka pintu kamar dan seorang pelayan masuk mendorong troli berisi makanan yang dipesannya.
"Tunggu dulu," ujar pria itu.
Kemudian, pria itu melihat makanan yang dia pesan sebelumnya, dia pikir cukuplah untuk dirinya dan juga wanita yang sedang berada di dalam kamar mandi tadi.
"Ya sudah, jika nanti aku butuh sesuatu, aku akan hubungi kalian!" ujar pria itu.
"Terima kasih Tuan," ucap pelayan setelah mendapatkan tip dari pria itu, kemudian pelayan itu pun pergi.
Pria dengan mata coklat dan rambut hitam itu kemudian melihat ke arah pintu kamar mandi, terdengar suara gemericik air dari sana, dia yakin wanita tadi saat ini pasti sedang mandi.
"Apa yang menimpanya?" gumam pria itu bertanya pada dirinya sendiri.
"Apa yang kau pikirkan, kau tak pernah peduli pada siapapun sebelumnya, apalagi wanita, apa kau merasa kasihan padanya, kau kasihan? Astaga apa yang kau pikirkan?" Pria itu terlihat heran dengan apa yang dilakukan oleh dirinya sendiri.
"Bagaimana jika ini semua sandiwara dari orang yang berusaha menjatuhkan ku?"
Pria itu menggeleng, dia tak melihat kelicikan di mata gadis itu yang berwarna biru.
Tidak lama kemudian, Jesyca pun keluar dari kamar mandi, gadis itu sudah mengenakan kemeja putih milik pria penolongnya tadi, sedikit kebesaran, namun itu cukup nyaman untuknya, daripada dka harus memakai pakaian kurang bahan dan tipis tadi yang telah robek di salah satu bagiannya, setidaknya kemeja itu menutupi seluruh tubuhnya hingga sebatas lutut.
Kemudian Jesyca pun bingung harus bersikap bagaimana, saat ini dia melihat ke arah pria yang tengah menikmati makanannya, perlahan dia beranikan diri untuk melangkahkan kaki telanjangnya itu menghampiri pria tadi, dia harus mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih atas bantuannya Tuan."
Pria itu hanya melirik sekilas pada wajah Jesyca yang sudah terlihat segar, rambutnya sudah sedikit kering, mungkin pria itu pikir, Jesyca sudah memakai hair dryer tadi, lalu tatapan pria itu beralih pada perut Jesyca yang baru saja berbunyi dan langsung dipeluk perutnya, gadis itu pikir dengan cara seperti itu, perutnya akan berhenti berbunyi.
"Kau lapar?" tanya pria itu.
Jesyca tak menjawab, dia hanya menunduk malu, mau menjawab tidak, nyatanya perutnya sudah lebih dulu menjawab dengan suara yang jauh lebih nyaring dari sebelumnya.
"Makanlah, itu masih ada spaghetti yang belum aku makan," ucap pria itu.
Jesyca dengan ragu-ragu menatap pada sepiring spaghetti yang masih utuh, dia pikir kapan pria itu memesannya.
"Jangan berpikir macam-macam, aku memesan makanan itu jauh sebelum kau datang, cepat makan," ujar pria penolong itu.
"Tidak usah Tuan, saya--"
Ucapan Jesyca terpotong oleh pria tadi.
"Kalau mau pergi, belum tentu orang-orang itu sudah pergi dari hotel ini, atau mereka masih menunggumu di luar," ujar pria itu membuat Jesyca pun akhirnya memikirkan kembali apa yang baru saja ia niatkan.
"Makan dulu, tenang saja, aku tak akan macam-macam padamu!" Pria itu terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapannya membuat keraguan di hati Jesyca hilang sudah.
Akhirnya gadis itu mengambil sepiring spaghetti itu, dia masih berdiri, bingung harus duduk di mana, dia yang baru saja merendahkan tubuhnya berniat duduk di lantai, tiba-tiba tertahan oleh ucapan pria yang menolongnya tadi.
"Masih ada tempat duduk di sini, makanlah di atas," ujar pria itu.
"Tapi--"
"Kau bukan pelayanku, duduk di atas!" perintah pria itu dengan tegas.
Akhirnya dengan ragu dan tak enak hati, Jesyca berjalan menuju sofa lain di tempat itu, dia duduk di sana dan memulai makan spaghetti pemberian pria penolong tadi.
Baru satu suap, Jesyca tak bisa menahan air matanya, dia menangis membuat pria tadi langsung menoleh ke arahnya.
"Apa terlalu pedas?" tanya pria itu.
Jesyca menggelengkan kepalanya. "Tidak Tuan, aku hanya sedang bersyukur, akhirnya aku bisa terbebas dari peristiwa yang menakutkan tadi," jawabnya.
Pria bermata coklat tadi pun mengerutkan keningnya, ia cukup tertarik dengan cerita apa yang terjadi sebenarnya pada wanita di depannya.
"Siapa namamu?" tanya pria itu.
Jesyca terdiam, dia menggigit bibir dalamnya. "Namaku ... Jesyca," jawab Jesyca.
Pria itu pun menganggukan kepalanya. "Jecyca," gumamnya.
"Kalau Tuan, maaf jika aku lancang, tapi siapa nama Tuan?"